Mahasiswa S2 Supervisi Pendidikan Islam
BAB I
PENDAHULUAN
Allah SWT telah menurunkan kitab
suci al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya sampai akhir zaman. Keberadaan
al-Qur’an tak terbatas oleh ruang dan waktu. Ketidakterbatasannya inilah
menjadi suatu kunci kemukjizatan al-Qur’an.
Sisi
kemukjizatan al-Qur’an juga terlihat pada ayat-ayat yang berhubungan dengan
pendidikan. Pendidikan sebagai upaya untuk memanusiakan manusia, secara
universal “terlukis” jelas dalam isi kandungan al-Qur’an. Kandungan nilai-nilai
pendidikan ini hanya dapat diketahui oleh sebagian dari manusia yang memiliki
kapasitas dan kapabilitas yang memadai.
Adapun
diantara ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung nilai-nilai pendidikan tersebut
adalah tertera dalam al-Qur’an surat Luqman ayat 13 dan Ash-Shaffat ayat 102.
Di dalam ayat tersebut mengisahkan tentang konsep dialogis antara seorang ayah
dengan putranya dalam memberikan pelajaran.
Pada makalah ini akan dibahas
tentang penafsiran al-Qur’an dari berbagai metode pada beberapa waktu yang
lalu. Diantaranya ialah tafsir fi zhilalil Qur’an Sayid Qutub, tafsir tematik Muhammad
al-Ghazali, tafsir an-Nuur Hasby Ash-Shiddieqy dan tafsir al-Mishbah M. Quraish
Shihab.
Dalam penyajian penafsiran ini,
penulis memadukan dengan penafsiran yang dikorelasikan dengan konsep pendidikan
pada masa kini. Hal ini mengingat kondisi zaman yang berubah drastis dan
sosiokultural masyarakat yang cenderung cepat berubah. Penafsiran al-Qur’an
tidak boleh kalah cepat dengan perkembangan dunia pendidikan.
Dengan demikian, penafsiran
ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan pendidikan, dapat memberikan solusi
dan kontribusi yang baik dalam perkembangan dunia pendidikan. Upaya ini kian
terus berlanjut dan berkembang, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan,
kebudayaan dan khazanah sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianut. Konon lagi
dalam hal pendidikan seorang anak, yang hidupnya memiliki pandangan jauh ke
depan dari dunia kekinian.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penafsiran QS. Luqman Ayat 13
Artinya:
Dan
(ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran
kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Ada
beberapa kitab tafsir yang memberi penafsiran al-Qur’an surat Luqman ayat 13.
Diantaranya ialah tafsir fi zhilalil Qur’an Sayid Quthb menafsirkan bahwa
pengarahan Luqman terhadap anaknya dengan nasihat tersebut mengandung hikmah
kebijaksanaan. Nasihat tersebut tidak mengandung tuduhan, akan tetapi
mengandung persoalan ketauhidan. [1]
Kebijaksanaan
orang tua (ayah) terhadap anaknya menjadi sebuah keteladanan ketika seorang
anak telah dewasa. Persoalan ketauhidan adalah hal yang sangat penting dalam
kehidupan seorang anak sebelum ia mengetahui hal perkara lainnya. Sebagai orang
tua wajib menanamkan nilai ketauhidan (keesaan) Allah dengan benar kepada
anaknya.
Dalam
Tafsir Tematik Muhammad Ghazali menjelaskan bahwa pesan (wasiat) diteruskan
berkenaan dengan sikap kepada kedua orang tua, karena kedua orang tua merupakan
jalan bagi keberadaan manusia. [2]
Seorang
anak sejatinya membalas budi baik orang tua yang telah melahirkan dan
mengasuhnya hingga beranjak dewasa. Meskipun kasih dan sayang orang tua tak
sanggup dibalas dengan apapun, setidaknya kita tidak pernah menyakiti hati
keduanya.
Dalam
Tafsir an-Nuur Hasby Ash-Shiddieqy menafsirkan bahwa kedudukan (fungsi) ayah
adalah memberi pelajaran kepada anak-anaknya dan menunjuki mereka kepada
kebenaran dan menjauhkan mereka dari kebinasaan. [3]
Sebab seorang ayah bertanggung jawab dalam kehidupan anaknya.
Sedangkan
dalam Tafsir al-Mishbah M. Quraish Shihab menekankan tentang metode pendidikan
yang penuh kasih sayang orang tua kepada anaknya, bukan dengan membentak. [4] Agaknya
hal semacam ini kurang diperhatikan oleh orang tua pada zaman sekarang.
Luqman
adalah seorang manusia pilihan yang namanya dikisahkan dalam al-Qur’an. Kisah
yang diabadikan adalah mengenai pendidikan yang diberikan oleh Luqman kepada
anaknya. Dalam masalah ini kita tidak mengkaji tentang siapa Luqman, dimana ia
tinggal, atau apa latar belakang keilmuannya. Namun yang ingin kita petik dari
kisah Luqman adalah mencakup substansi makna pendidikan yang dilakukannya dan
interpretasi yang sesuai untuk masa kehidupan dunia kekinian.
Metode
Luqmanul Hakim dengan anaknya ini dinisbatkan oleh ulama ilmu jiwa modern
dengan “metode pendidikan dengan nasehat”. Metode ini harus diiringi dengan
metode “pendidikan dengan teladan”. Keteladanan yang baik merupakan
satu-satunya sarana untuk mewujudkan tujuan nasehat yang dimaksud. Jika
seandainya Luqman tidak mempunyai teladan yang baik, maka nasehat tidak akan
membekas kepada anaknya dalam jangka waktu yang lama. [5]
Hendaknya
orang tua menjadi teladan (uswah) dalam kehidupan anaknya. Hidupkan nilai-nilai
agama pada diri, keluarga dan lingkungan tempat si anak dibesarkan. Jangan
hanya menyuruh anak untuk shalat, sedangkan orangtuanya asik dengan pekerjaan.
Bahkan tak jarang orang tua secara tidak sengaja telah mengajarkan kebohongan
kepada anaknya.
Pada
ayat diatas, Luqman memberi pelajaran awal secara khusus kepada anaknya
mengenai ketauhidan. Ketauhidan memiliki nilai lebih dan merupakan basic
(dasar) dalam segala keilmuan. Semestinya pula pada pendidikan modern sekarang.
Konsep tauhid mendapat perhatian besar oleh pelaku pendidikan. Nilai-nilai
ketauhidan harus diajarkan sejak kecil dengan berbagai cara dan disesuaikan
dengan tingkatan usia seorang anak. Jika hal ini dilaksanakan secara sistematis
dan kontinyu, maka akan menjadi bekal paling berharga bagi seorang anak dalam
kehidupan dunianya.
Panggilan
Luqman kepada anaknya, “hai anakku”, mencirikan ungkapan yang indah dan
tulus dari seorang ayah kepada si buah hatinya. Sebagaimana pula telah
dianjurkan dalam syariat agama Islam yang menjadikan kewajiban bagi orang tua
untuk memberi nama (panggilan) yang indah kepada anaknya. Karena nama juga
sebagai do’a dan akan terus melekat pada diri seorang manusia.
Luqman
menasehati anaknya agar tidak mempersekutukan Allah, karena hal tersebut
merupakan kezaliman (dosa) yang besar. Mempersekutukan Allah disini memiliki
artian yang sangat sensitif. Terkadang tanpa disadari, kemusyrikan telah ada
ditengah-tengah kita. Konon lagi pada era teknologi yang semakin canggih.
Esensi dari kemusyrikan kian gencar merongrong umat Islam. Tanpa ampun, segenap
Muslim dari berbagai jenjang usia terlena dalam buaian indah yang terbungkus
dengan kenikmatan semu.
Oleh
karena itu, hendaknya orang tua dapat mendidik anaknya sesuai dengan konsep
pendidikan keislaman. Setidaknya ada tiga hal pokok yang ditawarkan dalam
penafsiran al-Qur’an surat Luqman ayat 13 yaitu sebagai berikut:
1. Memanggil
anak dengan panggilan yang indah dan penuh kasih sayang.
2. Mengedepankan
konsep musyawarah dalam setiap suruhan atau larangan dan menggunakan argumen
yang logis dan tepat. [6]
3. Menanamkan
nilai ketauhidan (keesaan) Allah SWT yang benar kepada sang anak.
B. Penafsiran QS. Ash-Shaffat Ayat 102
فَلَمَّا بَلَغَ
مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي
أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ
سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Artinya:
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur
sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku
sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah
apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan
kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
Dalam
Tafsir Tematik Muhammad Ghazali mentafsirkan bahwa Ibrahim adalah sosok seorang
yang telah tua dan disuruh untuk menyembih putra satu-satunya yang paling
dicintainya. Ibrahim adalah hamba yang saleh tidak akan mampu mendurhakai Allah
SWT. Sehingga mimpinya yang datang dari Allah tersebut disampaikan kepada
anaknya Ismail. Dan Ismail merespon agar ayahnya melaksanakan apa yang
diperintah oleh Allah SWT. [7]
Disini
tergambar jelas bahwa orang tua dan anaknya merupakan sosok penghuni syurga dan
selalu berjihad dijalan-Nya. Meskipun ajal menjemput didepannya. Realita jihad
atau pengorbanan untuk zaman ini, hendaknya diaplikasikan dengan mengarahkan
anak kepada jalan yang diridhai-Nya.
Dalam
Tafsir an-Nuur Hasby Ash-Shiddieqy menjelaskan tentang doa Ibrahim agar
dikarunia seorang putra. Dan Allah memberi karunia tersebut. Pada saat tiba
masanya, Allah menagih janji Ibrahim untuk menyembelih putranya. Dan Ismailpun
dengan suka rela menerima taqdir yang akan menimpanya itu. Pada diri Ismail
memang terpancar penghayatan iman yang benar dan penyerahan diri yang sempurna,
serta sabar dan rela kepada ketetapan Allah dengan sepenuh-penuhnya. [8] Dan
disini Allah menguji iman keduanya sehingga mencapai derajat yang sangat
mulia.
M.
Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menyebutkan bahwa ketinggian akhlak dan
sopan santun seorang anak itu tidak terlepas dari sang ayah. Pastilah sang ayah
telah menanamkan dalam hati dan benak anaknya tentang keesaan Allah dan sifat-sifat-Nya
yang indah serta bagaimana seharusnya bersikap kepada-Nya. Sikap dan ucapan
sang anak yang direkam oleh ayat ini adalah buah dari pendidikan tersebut. [9]
Hal
ini ada kaitannya dengan QS. Luqman ayat 13 yang memberi sinyal tentang peran
nasehat orang tua kepada anaknya tentang ketauhidan. Ismail bagaikan sosok lain
yang menjelma dari putra Luqman atas hasil didikan tauhidnya. Sehingga disini
kita menemukan korelasi yang erat antara kedua ayat tersebut.
Menurut kajian penulis QS. Ash-Shaffat:102
memberikan keteladanan sosok seorang ayah dan seorang anak yang sangat beriman,
taat dan taqwa kepada Allah SWT dan sabar dalam menghadapi cobaan. Dalam
kehidupannya hanya Allah sajalah yang menjadi power dan yang maha
segala-galanya. Keimanan, ketaatan, ketaqwaan dan kesabaran kesabaran Ibrahim
dan putranya Ismail tersebut hendaknya menjadi spirit bagi kita dalam
pendidikan anak dalam konteks kekinian.
C. Nilai Pendidikan Dalam QS. Luqman: 13 dan
Ash-Shaffat: 102
Dalam mendidik seorang anak (khususnya anak
perempuan), orang tua harus memperhatikan unsur-unsur pokok agar berhasil dalam
pendidikannya, yaitu: [10]
1.
Memilih pasangan hidup berdasarkan pertimbangan agama dan akhlaknya.
2.
Ibu dan bapak harus pasangan muslim.
3.
Berwawasan (pendidikan).
4.
Orang tua harus menjadi teladan yang baik dan contoh yang tepat dalam
semua aspek kehidupan.
5.
Orang tua harus memiliki sifat kasih sayang, cinta kasih dan kelembutan
tanpa berlebihan.
6.
Orang tua harus memiliki sifat tawadhu’, jujur dan menepati janji.
7.
Orang tua harus menjauhkan diri dari kebiasaan sering mencela, menegur
dan mencari kekurangan anak.
8.
Orang tua harus mencari waktu yang tepat untuk memberi pengarahan dan
menyampaikan pesan yang baik.
9.
Orang tua harus selalu mendoakan kebaikan bagi anak, bukan mendoakan
keburukan.
Secara umum, dalam pendidikan anak hendaknya
disediakan sarana yang tepat bersifat lunak (software) agar berhasil dan tidak
sia-sia. Al-Maghribi merumuskan tiga hal utama sarana tersebut, yaitu:
1.
Pendidikan keteladanan.
2.
Bimbingan dan nasehat.
3.
Sering bercerita (kisah) pada anak.
4.
Mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa dan kejadian.
5.
Mendidik melalui pembiasaan anak untuk melakukan kebaikan.
6.
Memanfaatkan waktu kosong dengan kebaikan.
7.
Memberi motivasi kepada anak .
8.
Balasan (hadiah) dan sanksi yang sewajarnya kepada anak. [11]
Dengan
kedua rumusan konsep pendidikan diatas, orang tua dapat memberikan yang terbaik
dalam kehidupan kepribadian anaknya. Hanya saja perlu pengontrolan yang lebih
intensif dan komprehensif demi agar tetap istaqamah pada diri anak. Dalam hal
ini, peran pemerintah juga sangat penting dalam menciptakan lingkungan yang
baik dan berpendidikan.
Adapun
pendidikan aqidah (tauhid) merupakan hal yang paling pokok diajarkan kepada
anak. Perkara ketauhidan merupakan dasar sebelum mengajarkan perkara-perkara
lainnya. Disinilah letak keteladanan orang tua terhadap anaknya harus
diperhatikan. Tanpa sadar, transfer value ini sedang dan akan terus
terjadi pada disi si anak.
Orang
tua yang baik tentu akan menanamkan nilai-nilai moral yang baik kepada anaknya.
Ia akan mengusahakan berbagai cara dan meluangkan waktu yang khusus bagi
pendidikan anaknya. Sebab sang anak akan menjadi penerus perjuangan hidup
keturunannya kelak. Jika baik masa depan si anak, maka akan baik sejarah hidup
orang tuanya. Demikian pula sebaliknya, jika suram masa depan si anak, maka
gunjingan akan menimpa garis keturunan keluarganya.
Dalam
tulisan ini, penulis ingin memberikan sedikit masukan kepada para pembaca.
Khususnya yang telah menjadi seorang ayah atau ibu dari putra dan putrinya.
Umumnya kepada stakeholder pendidikan. Utamakan perhatian pada
pendidikan moral pada seorang anak.
Pendidikan
moral merupakan hal yang urgen dan paling mendasar dalam kehidupan anak.
Jangan samakan pola pendidikan kita yang Islami dengan pola pendidikan barat.
Islam telah mengajarkan umatnya melalui Rasul dan Kitabnya. Nabi Muhammad SAW
sendiri mengakui dalam sabdanya bahwa, tujuan beliau diutus ke atas muka bumi
ini, adalah untuk memperbaiki akhlak (moral) manusia. (A-Hadits)
Atas
semua uraian dan argumentasi di atas, marilah kita semua berperan aktif dalam
pendidikan ketauhidan Islami dan moral bangsa. Sebab nasib bangsa ke depan,
sangat ditentukan oleh generasi muda sekarang. Kita jangan larut pada masa
lalu, tetapi berupayalah untuk meraih masa depan yang gemilang. Dengan konsep
strategi baru akan menghasilkan pemikiran baru dalam menghadapi kehidupan dunia
yang penuh tantangan, dan bersiap menuai kehidupan akhirat yang penuh
kebahagiaan. Insya Allah.
Namun
demikian, penafsiran ini tidak mutlak keberadaanya. Bisa saja akan berubah
sesuai dengan perkembangan dinamika keilmuan dan kebudayaan. Kita masih
dituntut untuk berusaha membuat interpretasi rasional atau berusaha keras untuk
mengungkap rahasia-rahasia dibalik pernyataan ayat-ayat dan menyimpulkannya
untuk menjadi satu dasar yang utuh dengan cara mencontoh metode dialogis
al-Qur’an yang universal. [12]
Kita dapat mengaitkan dengan kondisi
alam kekinian dan menjadikannya sebagai motivator utama dalam memajukan peradaban
al-Qur’an dan kesesuaian dengan perkembangan umat masa kini (tajdidiyah).
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dalam
QS. Luqman ayat 13 mengandung pesan bahwa dalam mendidik anak, seorang ayah
harus memiliki keteladanan yang baik, mengedepankan prinsip musyawarah dan
penuh kasih sayang. Isi nasehat yang paling utama adalah mengenai pendidikan ketauhidan
(keesaan) Allah SWT.
2. Dalam
QS. Ash-Shaffat ayat 102 mengandung pesan bahwa seorang ayah harus menanyakan
(berdialog) dengan anaknya tentang kehidupan masa depan putranya. Seorang ayah
memberi arahan plus-minus terhadap jalan pilihan kehidupan putranya
tersebut berdasarkan perintah Allah SWT.
B. Saran-saran
Islam
telah memberi pandangan dan teladan pendidikan dalam kitab suci al-Qur’an.
Hendaknya kita dapat meneladani sejarah pendidikan kedua sosok ayah (Luqmanul
Hakim dan Ibrahim AS) yang tertera dalam al-Qur’an tersebut. Semoga kita semua
menjadi muslim yang peduli terhadap pendidikan Islam kekinian.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anul Karim
Al-Maghribi, Begini Seharusnya
Mendidik Anak, terj. Zaenal Abidin, Jakarta: Darul Haq, 2004
Hannan Athiyah Ath-Thuri, Mendidik
Anak Perempuan Di Masa Remaja, terj. Aan Wahyudin, Jakarta: Sinar Grafika,
2007
Husain Mazhahiri, Pintar Mendidik Anak,
terj. Segaf Abdillah Assegaf dan Miqdad Turkan, Jakarta: Lentera, 2002
M.
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002
Muhammad Al-Ghazali, Al-Qur’an Kitab
Zaman Kita: Pengaplikasian Pesan Kitab Suci Dalam Konteks Masa Kini, terj.
Masykur Hakim dan Ubaidillah, Bandung: Pustaka Mizan 2008
Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Tafsir
An-Nuur, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000
Sayid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil
Qur’an di Bawah Naungan al-Qur’an, jilid 9, terj. As’ad Yasin, dkk,
Jakarta: Gema Insani Press, 2004
Syaikh Hasan Hasan Manshur, Metode
Islam Dalam Mendidik Remaja, terj. Abu Fahmi Huaidi, Jakarta: Mustaqiim,
2002
Syaikh Muhammad Ghazali, Tafsir Tematik
Dalam Al-Qur’an, terj. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2005
[1] Sayid Quthb, Tafsir Fi
Zhilalil Qur’an di Bawah Naungan al-Qur’an, jilid 9, terj. As’ad Yasin,
dkk, Jakarta: Gema Insani Press, 2004, hal. 164
[2] Syaikh Muhammad Ghazali, Tafsir
Tematik Dalam Al-Qur’an, terj. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2005, hal. 385
[3] Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Tafsir
An-Nuur, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000, hal. 3207
[4]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002, hal.
127
[5] Syaikh Hasan Hasan Manshur, Metode
Islam Dalam Mendidik Remaja, terj. Abu Fahmi Huaidi, Jakarta: Mustaqiim,
2002, hal. 158
[6] Husain Mazhahiri, Pintar
Mendidik Anak, terj. Segaf Abdillah Assegaf dan Miqdad Turkan, Jakarta:
Lentera, 2002, hal. 216
[7]
Syaikh Muhammad Ghazali, Tafsir
Tematik Dalam Al-Qur’an, …, hal. 424
[8]
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy,
Tafsir An-Nuur, …, hal. 3470
[9]
M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Mishbah…, hal. 63
[10] Hannan Athiyah Ath-Thuri, Mendidik
Anak Perempuan Di Masa Remaja, terj Aan Wahyudin, Jakarta: Sinar Grafika,
2007, hal. 329-360
[11] Al-Maghribi, Begini
Seharusnya Mendidik Anak, terj. Zaenal Abidin, Jakarta: Darul Haq, 2004,
hal. 367-388
[12] Muhammad
Al-Ghazali, Al-Qur’an Kitab Zaman Kita: Pengaplikasian Pesan Kitab Suci
Dalam Konteks Masa Kini, terj. Masykur Hakim dan Ubaidillah, Bandung:
Pustaka Mizan 2008, hal. 55
Izin share bahannya pak?
BalasHapusOh yach dulu ngambil S2 SPI nya dmn yach pak? Apa progr beasiswa Kemenag RI? Makasih
izin copy njiih pak
BalasHapus