Oleh: Zulkhairi
Mahasiswa S2 Supervisi Pendidikan Islam
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah kitab suci sebagai sumber ajaran Islam yang pertama. Kitab yang dipandang paling suci
oleh kaum muslim dan merupakan penutup kitab-kitab samawi, ia selain sebagai
sumber hukum syariah, al-qur’an juga sebagai mukjizat terbesar yang diterima Rasul dan
menjadi sumber bagi berbagai ilmu pengetahuan.
Al-Qur’an merupakan suatu mukjizat abadi
dan diturunkan oleh Allah kepada kaum yang memiliki tingkat intelektualitas
yang melebihi umat-umat sebelumnya. Keabadian itu tampak jelas sekali dari
sifatnya yang lintas waktu, yang menerobos waktu masa silam dan masa depan.
Dengan perantara mukjizat, Allah
mengingatkan manusia bahwa para rasul itu merupakan utusan yang mendapat
dukungan dan bantuan dari Allah. Mukjizat yang telah diberikan kepada Rasul
tersebut memainkan peranannya untuk mengatasi kepandaian kaumnya di samping
membuktikan bahwa
kekuasaan Allah berada di atas
segala-galanya.
Di lain sisi ada perbedaan
paham-paham yang muncul di kalangan Muktazilah dan Syia’ah, dalam memahami kemukjizatan Al-Qur’an. Dan
akan dijelaskan lebih rinci pada bab berikutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Mukjizat
Kata mukjizat
terambil dari kata bahasa Arab اَعْجَزَ )a’jaza( yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu. Pelaku
(yang melemahkan ) dinamai mu’jiz dan bila kemampuannya melemahkan pihak
lain amat menonjol sehingga mampu membungkap lawan maka ia dinamakan mu’jizat.[1]
I’jaz (Kemukjizatan) adalah
menetapkan kelemahan. Kelemahan menurut pengertian umum ialah ketidakmampuan
mengerjakan sesuatu, lawan dari kemampuan. Apabila kemukjizatan telah terbukti, maka
nampaklah kemampuan mu’jiz (sesuatu yang melemahkan). Yang dimaksud
dengan I’jaz dalam pembicaraan ini adalah menampakkan kebenaran
Nabi dalam pengakuannya sebagai
seorang Rasul dengan menampakkan kelemahan orang Arab untuk menghadapi
mu’jizatnya yang abadi yaitu Al-Qur’an.[2]
Sementara
pakar agama Islam mendefinisikan mukjizat adalah sesuatu
hal atau peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seseorang yang mengaku nabi.
Sebagai bukti kenabiannya yang ditantang kepada orang-orang yang ragu untuk
melakukan atau mendatangkan hal serupa, namun mereka tidak mampu melayani
tantangan itu.
Kemampuan
para Nabi dan Rasul dalam memperlihatkan mukjizat ini tidak
terjadi setiap saat. Mereka hidup sehari-hari tunduk pada hukum alam benda, makan, minum, istirahat, gembira dan sebagainya sebagaimana lumrahnya manusia. Namun pada
saat-saat tertentu kemampuan ini muncul dengan izin Allah.
Jadi mukjizat adalah suatu kelebihan yang diberikan Allah
kepada Rasulnya sebagai bukti pegangan atas kenabian untuk menghadapi setiap
permasalahan yang dihadapi oleh kaumnya atau bagi orang yang ragu.
B.
Syarat-syarat
mukjizat
Adapun syarat-syarat mukjizat sebagai berikut:
1.
Hal atau peristiwa yang luar biasa.
Hal-hal yang sering terjadi
seperti peristiwa-peristiwa alam walaupun menakjubkan kejadiannya tidak dikatakan mukjizat, karena kejadian tersebut sering terjadi dan
dipengaruhi oleh sebab akibat.
2.
Terjadi atau dipaparkan oleh seseorang yang
mengaku nabi.
Tidak mustahil terjadi hal-hal di luar
kebiasaan pada diri siapapun. Namun apabila bukan dari seoranga yang mengaku
nabi, maka ia tidak dinamai mukjizat. Boleh jadi sesuatu yang luar biasa tampak
pada diri seorang yang kelak bakal
menjadi nabi, inipun tidak dinamai mukjizat tetapi irhas.
3.
Mengandung tantangan terhadap yang meragukan kenabian
Tentu saja
tantang ini harus berbarengan dengan pengakuannya sebagai nabi, bukan sebelum atau sesudahnya. Di sisi lain,
tantangan tersebut harus pula sejalan dengan ucapan sang nabi.
4.
Tantangan tersebut tidak mampu atau gagal
dilayani.
Bila yang ditantang berhasil melakukan hal
serupa, maka ini berarti bahwa pengakuan sang penantang tidak terbukti. Perlu
digarisbawahi di sini bahwa kandungan tantangan harus benar-benar dipahami oleh
yang ditantang. Bahkan untuk lebih membuktikan kegagalan mereka, biasanya aspek
kemukjizatan masing-masing nabi adalah hal-hal yang sesuai dengan bidang
keahlian umatnya.[3]
C.
Tujuan dan peranan mukjizat
Tujuan mukjizat adalah untuk melemahkan orang
yang menantang kenabian dan juga berperanan sebagai bukti kebenaran para nabi.
Keluarbiasaan yang tampak atau terjadi melalui mereka itu diibaratkan sebagai ucapan Tuhan: “apa yang dinyatakan
sang nabi adalah benar. Dia adalah utusanKu dan buktinya adalah Aku melakukan
mukjizat itu” [4]
Walaupun dilihat dari segi pengertian bahasa
bahwa mukjizat itu melemahkan orang yang
menantang kenabian, namun di sisi lain
mukjizat itu dinampakkan oleh Allah melalui para nabi pilihan-Nya untuk
membuktikan kebenaran ajaran ketuhanan yang bawa oleh masing-masing nabi
terhadap umatnya.
D.
Pembagian mukjizat
Mukjizat
yang diberikan Allah kepada Rasul-rasulNya
sangat tergantung pada tantangan yang mereka hadapi dalam menyiarkan
risalah Allah kepada kaumnya. Setiap Rasul disamping diberikan wahyu mereka
juga dibekali kekuatan dengan hal-hal luar biasa yang dapat menegakkan hujjah
atas manusia sehingga mereka mengakui kelemahannya serta tunduk dan taat
kepadaNya.
Menurut
M. Quraisy
Shihab, mukjizat dapat dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu:
1.
Mukjizat yang
bersifat material indrawi yang tidak kekal selamanya.
Mukjizat nabi-nabi terdahulu kesemuanya
merupakan jenis pertama. Mukjizat mereka bersifat material dan indrawi dalam
arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan
atau dijangkau langsung lewat indra oleh masyarakat tempat nabi tersebut
menyampaikan risalahnya. Mukjizat yang
bersifat material ini berakhir dengan
wafatnya masing-masing nabi. Contohnya: Perahu nabi Nuh yang dibuat atas
petunjuk Allah sehingga mampu bertahan
dalam situasi ombak dan gelombang yang maha dahsyat.
Mukjizat
jenis kedua hanya dapat dipahami dengan
akal, karena sifatnya yang demikian, ia tidak dibatasi oleh suatu tempat atau
masa tertentu. Al-Qura’an merupakan
mukjizat yang bersifat logis dan dapat dijangkau oleh setiap orang yang
mempergunakan akalnya dimana dan kapanpun.
Kebanyakan
mukjizat rasul-rasul
terdahulu adalah bersifat hissiyyah (indrawi), karena kondisi umat Islam saat
itu belum mencapai ketinggian dalam bidang pengetahuan dan pemikiran. Mu'jizat
pada masa nabi Muhammad disaat kejayaan ilmu pengetahuan hingga hari kiamat
adalah bersifat aqliyah (rasional).
E.
Mukjizat bi al-sharfah
Mukjizat bi al-sharfah adalah
kemukjizatan Al-Qur’an yang pahami oleh sebahagian
orang (tokoh) yang berasal dari golongan Muktazilah dan Syi’ah dengan
memalingkan pengertian mukjizat Al-Qur’an. Mereka berpendapat bahwa
kemukjizatan Al-Qur’an itu bukan datang Al-Qur’an itu sendiri melainkan Allah
yang melemahkan kamampuan orang yang hendak menantang Al-Qur’an itu.
Abu Ishaq Ibrahim an-Nizam dan pengikutnya
dari kaum Syi’ah seperti al-Murtada berpendapat, kemukjizat Al-Qur’an adalah
dengan cara sirfah (pemalingan). Arti sirfah
dalam pandangan Nizam ialah bahwa Allah memalingkan orang-orang Arab
untuk menantang Al-Qur’an, padahal sebenarnya mereka mampu menghadapinya. Maka
pemalingang inilah yang luar biasa (mukjizat). Sedangkan sirfah menurut
pandangan Murtada ialah, bahwa Allah telah mencabut dari mereka ilmu-ilmu yang
diperlu untuk menghadapi Al-Qur’an agar mereka tidak mampu membuat seperti Al-Qur’an.[6]
Pendapat di atas mengenai sirfah ditolak oleh
Al-Qur’an sebagai berikut:
قُل لَّئِنِ اجْتَمَعَتِ الإِنسُ
وَالْجِنُّ عَلَى أَن يَأْتُواْ بِمِثْلِ هَـذَا الْقُرْآنِ لاَ يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ
وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيراً {الاسراء: ٨٨}
Artinya:
Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul
untuk membuat yang serupa (dengan) al-Quran ini, mereka tidak akan dapat
membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama
lain.” (Q.S. Al-Isra [17]: 88)
Dari penolakan firman Allah di atas dapat
dipahami bahwa, kemukjizat Al-Qur’an itu benar-benar datang dari zat Al-Qur’an
itu sendiri, bukan disebabkan dari yang lainnya.
F.
Sisi kemukjizat Alqur’an
1.
Gaya bahasa
Al-Qur’an mencapai tingkat tertinggi dari segi
keindahan bahasanya, sehingga membuat kagum bukan saja orang-orang mukmin,
tetapi juga orang-orang kafir. Berbagai riwayat
menyatakan bahwa tokoh-tokoh kaum musyrik sering secara
sembunyi-sembunyi berupaya mendengar
ayat-ayat Al-Qur’an yang dibaca oleh
kaum muslim. Kaum muslimin di samping
mengagumi keindahan bahasa Al-Qur’an, juga mengagumi kandungannya serta
meyakini bahwa ayat-ayat Al-Qur’an adalah petunjuk kebahagian dunia
dan akhirat.[7]
2.
Susunan kalimat
Susunan kalimat demi kalimat dalam Al-Qur’an
jauh lebih tinggi, bagus kualitas dibandingkan
dengan hasil karya-karya penyair dan sastrawa yang lain. Al-Qur’an muncul dengan uslub yang
begitu indah dan mengagumkan bagi orang yang membacanya.
Dalam AL-Qur’an, misalnya banyak ayat yang
mengandung tasybih (penyerupaana) yang disusun dalam bentuk sangat indah lagi
mempesona, jauh lebih indah dari pada apa yang dibuat oleh para penyair dan
sastrawan. Dapat dilihat pada salah satu contoh
dalam surat Al Qari’ah [110] ayat 5 Allah berfirman:
وَتَكُونُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنفُوشِ {القارعة: ٥}
Artinya:
“Dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang di hambur-hamburkan.” (Q.S.
Al-Qari’ah [110]: 5)
Bulu yang dihambur-hamburkan sebagai gambaran
dari gunung-gungung yang telah hancur lembur berserakan bagian-bagiannya.
Kadangkala Al-Qur’an mengarah untuk menyatakan bahwa kedua unsur tasybih,
yakni musyabbah (yang diserupakan dan musyabbah bih (yang
diserupakan dengannya) itu mempunyai sifat indrawi yang sama. [8]
3.
Hukum ilahi yang sempurna
Al-Qur’an merupakan kitab yang mengandung
aturan-aturan pokok yang disampaikan kepada umat manusia berupa akidah, akhlak,
muamalah, undang-undang politik, sosial, dan kemasyarakatan, serta hukum-hukum
ibadah.
Apabila pokok-pokok ibadah wajib diperhatikan, akan diperoleh kenyataan
bahwa Islam telah memperluaskan dan
menganekaragamkannya serta meramunya menjadi ibadah maliyah, seperti
zakat dan sedekah. Ada juga yang berupa ibadah amaliyah sekaligus ibadah
badaniyah seperti berjuang di jalan Allah.
Tentang akidah, Al-Qur’an mengajak umat
manusia pada akidah yang suci dan
tinggi, yakin beriman kepada Allah yang maha Agung; menyatakan adanya nabi dan
rasul serta memercayai semua kitab samawi.
Dalam bidang undang-undang, Al-Qur’an telah
menetapkan tentang kaedah-kaedah mengenai perdata, pidana politik, dan ekonomi.
Mengenai hukum international, Al-Qur’an telah menetapkan dasar-dasarnya yang
paling sempurna dan adil, baik dalam keadaan damai maupun perang.[9]
4.
Ketelitian redaksi
Al-Qur’an juga mempunyai
ketelitian dalam redaksinya, Yaitu:
a. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan antonimnya. Salah satu
contoh: “Al-Hayah” (hidup) dan “Al-Maut” (mati), masing-masing sebanyak 145 kali. Dan
lain-lain.
b.
Keseimbangan
jumlah bilangan kata sinonimnya/makna yang dikandungnya. Salah satu
contohnya: “Al-harts” dan “Az-zira’ah” (membajak/bertani),
masing-masing 14 kali.
c.
Keseimbangan antara jumlah bilangan kata
dengan jumlah kata yang menunjukan kepada akibatnya. Contonyah: “Al-Infaq”
(infaq) dan “Ar-Ridha” (kerelaan), masing-masing 73 kali.
d.
Keseimbangan antara jumlah bilangan kata
dengan kata penyebabnya. Contohnya: “Al-Israf” (pemborosan) dan “As-Sur’ah”
(ketergesaan), masing-masing 23 kali
5.
Berita tentang hal-hal yan gaib
Kemukjizat Al-Qur’an terletak pada
pemberitaannya tentang hal-hal gaib yang akan datang yang tak dapat diketahui
kecuali dengan wahyu, dan pada
pemberitaannya tentang hal-hal
yang sudah terjadi sejak penciptaan makhluk, yang tidak mungkin dapat
diterangkan oleh seorang ummy yang tidak pernah berhubungan dengan ahli
kitab.[10]
Salah satu contoh berita-berita gaib yang ada
dalam Al-Qur’an adalah berita Fir’un, yang mengejar Nabi Musa yang pernah
diceritakan dalam surat Yunus ayat 92:
فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلْفَكَ آيَةً وَإِنَّ كَثِيراً
مِّنَ النَّاسِ عَنْ آيَاتِنَا لَغَافِلُونَ
{يونس: ٩٢}
Artinya:
“Maka pada hari
ini Kami selamatkan jasadmu agar engkau
dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang setelahmu, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengindahkan tanda-tanda (kekuasaan) Kami.” (Q. S. Yunus
[10]: 92)
Pada ayat itu
ditegaskan bahwa badan Fir’un akan diselamatkan Tuhan untuk menjadi pelajaran
generasi bagi berikutnya. Tidak seorang pun mengetahui hal tersebut, karena
telah terjadi sekitar 1.200 S. M. Pada
awal abad ke-19, tepatnya tahun 1898, ahli purbakala Loret menemukan di lembah
raja-raja Luxor Mesir, satu mumi yang
dari data-data sejarah terbukti bahwa ia adalah Fir’un yang bernama Muniftah
dan yang pernah mengejar Nabi Musa a.s. Selain itu pada tanggal 8 Juli 1908,
Eliot Smith mendapat izin dari pemerintah untuk membuka pembalut-pembalut
Fir’un tersebut. Apa yang ditemukan adalah salah satu jasad utuh, seperti yang
diberitakan oleh Al-Qur’an melalui Nabi yang ummi (tidak pandai membaca
membaca dan menulis). [11]
6.
Isyarat-isyarat ilmiah
Di dalam Al-Qur’an banyak ditemukan
kalimat-kalimat yang menunjukan
isyarat-isyarat keilmiahan, sebagai contoh yang terdapat berikut ini:
a. Cahaya matahari bersumber dari dirinya dan cahaya bulan merupakan pantulan,
sebagaiman yang dijelaskan firman Allah:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ
الشَّمْسَ ضِيَاء وَالْقَمَرَ نُوراً وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُواْ عَدَدَ السِّنِينَ
وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللّهُ ذَلِكَ إِلاَّ بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ
يَعْلَمُونَ {يونس: ٥}
Artinya:
“Dia-lah yang
Menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dia-lah yang Menetapkan
tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan
(waktu). Allah tidak menciptakan demikian itu melainkan dengan benar. Dia
Menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.”
(Q.S. Yunus [10]: 5).
b. Kurangnya oksigen pada ketinggian dapat menyesakkan nafas. Hal itu
diisyaratkan oleh firman Allah:
فَمَن يُرِدِ اللّهُ أَن يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإِسْلاَمِ وَمَن يُرِدْ
أَن يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقاً حَرَجاً كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاء
كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ {الانعام: ١٢٥}
Artinya:
Barangsiapa Dikehendaki Allah akan mendapat hidayah
(petunjuk), Dia akan Membukakan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barangsiapa
Dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia Jadikan dadanya sempit dan sesak,
seakan-akan dia (sedang) mendaki ke langit. Demikianlah Allah Menimpakan siksa
kepada orang-orang yang tidak beriman.
(Q.S. Al-An’am [6]: 125)
c. Perbedaan sidik jari manusia, sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah:
بَلَى قَادِرِينَ عَلَى أَن نُّسَوِّيَ بَنَانَهُ {القيامة: ٤}-
Artinya:
“(Bahkan) Kami mampu Menyusun (kembali) jari jemarinya
dengan sempurna.” (Q.S. Al-Qiyamah [75]: 4)
d. Aroma/bau manusia berbada-beda, sebagaimana diisyaratkan firman Allah:
وَلَمَّا فَصَلَتِ الْعِيرُ قَالَ أَبُوهُمْ إِنِّي لَأَجِدُ رِيحَ يُوسُفَ لَوْلاَ
أَن تُفَنِّدُونِ {يوسف:٩٤ }
Artinya:
“Dan ketika kafilah itu telah keluar (dari negeri Mesir),
ayah mereka berkata, “Sesungguhnya aku mencium bau Yusuf, sekiranya kamu tidak
menuduhku lemah akal (tentu kamu membenarkan aku).” (Q.S. Yusuf [12]: 94).
e. Masa menyusui ideal dan masa kehamilan kehamilan minimal, sebagaimana
diisyaratkan firman Allah:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ
أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
–{البقرة: ٢٣٣ }
Artinya:
“Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua
tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah
menanggung nafkah dan pakaian mereka...” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 233).
f. Adanya nurani (superego) dan bawah sadar manusia, sebagaimana diisyaratkan
firman Allah:
بَلِ الْإِنسَانُ عَلَى نَفْسِهِ
بَصِيرَةٌ - وَلَوْ أَلْقَى مَعَاذِيرَهُ
{القيامة:١٤ -١٥ }-
Artinya:
“Bahkan manusia menjadi saksi atas dirinya
sendiri,
dan meskipun dia mengemukakan
alasan-alasannya.”
(Q.S. Al-Qiyamah [75]: 14-15)
g. Yang merasakan nyeri adalah kulit:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ بِآيَاتِنَا سَوْفَ نُصْلِيهِمْ نَاراً كُلَّمَا نَضِجَتْ
جُلُودُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُوداً غَيْرَهَا لِيَذُوقُواْ الْعَذَابَ إِنَّ اللّهَ
كَانَ عَزِيزاً حَكِيماً –{النساء:٥٦ }-
Artinya:
“Sungguh, orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami,
kelak akan Kami Masukkan ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami
Ganti dengan kulit yang lain, agar mereka merasakan azab. Sungguh, Allah Maha
Perkasa, Maha Bijaksana.” (Q.S An-Nisa’ [4]: 56)
BAB
III
KESIMPULAN
Mukjizat adalah suatu keistimewaan atau
keluarbiasaan yang dapat mengalahkan dan menghadapi setiap bentuk tantangan
yang dihadapkan padanya serta bukti kebenaran dari ajaran-ajaran nabi terdahulu
sampai Nabi Muhammad.
Mu'jizat dapat dibagi menjadi dua
bagian, pertama mu'jizat hissiyah (indrawi) yaitu mu'jizat para nabi terdahulu sebelum
nabi Muhammad, yang hanya berlaku dengan masa dan zaman ketika mereka ada. Kedua mu'jizat aqliyah (rasional
dapat dibuktikan oleh akal sesuai dengan perkembangan
masa yaitu Al-Qur'an.
Kemukjizat Al-Qur’an dapat dilihat
dari sisi gaya bahasa, susunan kalimat, kesempurnaan hukum ilahi, ketelitian
redaksi, juga ada berita-berita yang
gaib yang diinformasikan, dan
terdapat syarat-syarat ilmiah yang tidak habis dikaji sepanjang masa.
Kesemuanya sisi rangkaian kemukjizatan itu merupakan satu kesatuan yang
menambahkan kesempurnaan Al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Manna Khalil
al-Qaththan, Pembahasan ilmu Al-Qur'an 2, Jakarta: Rieneka Cipta,1995
M.Quraish
Shihab, Mu'jizat Al-Qur'an ditinjau aspek kebahasaan isyarah ilmiah dan gaib,
cet.IV, Bandung: Mizan, 1998.
---------------------, Membumikan Alqur’an, bandung,
Mizan, 1992
Rosihan Anwar, Ulumul Al-Qur’an, Bandung, Pustaka
Setia, 2012.
Muhammad Kamil Abdushshamad, Mukjizat Ilmiah dalam Al-Qur’an, Akbar,
2003.
M.Ali Ash-Shabuni, Studi Ilmu Al-Qur'an,
Bandung: Pustaka Setia, 1999
[1]
M.Quraish S, Mu'jizat al-Qur'an ditinjau aspek kebahasan isyarah ilmiah dan gaib (Bandung: Mizan, 1998), hal.
23
[2]
Manna K Q, Studi ilmu-ilmu
al-Qur'an, (Jakarta: K1, 2002), hal. 371
[3] M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an,
bandung, mizan, 2006, Hal. 24-25
[5]
M.Quraish
S, Mu'jizat…,hal.35
[6] Manna K. Q. Studi Ilmu-ilmu Qur’an,
Hal. 375
[7] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an,
Mizan,1992, Hal. 23
[8] Rosihan Anwar, Ulum Alqur’an,
Pustaka Setia, Bandung, 2012, Hal. 149
[9] Rosihan...Hal. 195
[10] Manna K. Q. Studi Ilmu-ilmu Qur’an,
Hal. 376
[11] Quraish Shihab, Membumikan...Hal.
31
Tidak ada komentar:
Posting Komentar