PERAN WANITA DALAM ISLAM
Oleh
Suriani, S. Ag
BAB
I
PENDAHULUAN
Kondisi wanita
pada masyarakat kuno sungguh sangat memprihatinkan, tidak mempunyai kebebasan,
tertindas dan terdzalimi, bahkan tidak dianggap sebagai makhluk manusia, tetapi
hanya seonggok najis yang dapat dicampakkan dan dibuang sesuai keinginan. Mereka dianggap malapetaka dan aib yang dapat
menghancurkan martabat dan kewibawaan suku, dengan menguburkan dan membakarnya
hidup-hidup dianggap sebagai pahlawan penyelamat ummat dari kemerosotan
moral.
Islam
turun menuntun kepada jalan keselamatan.
Wanitapun merasakan keagungan Islam dengan diangkat derajatnya. Wanita
memanfaatkan kebebesan itu sebagai lahan mencari ridha Allah, Tuhan semesta
alam, pembebas manusia dari kedzaliman.
Sejarah
telah mencatat betapa banyak wanita muslimah yang telah memainkan peran dan
ikut andil dalam menyebarkan agama Allah dengan mengorbankan seluruh harta
benda serta jiwa dan raganya. Tidak dapat diragukan peran wanita ini menjadikan
sumber ilmu pengetahuan sebagai tolak ukur serta uswatun hasanah bagi generasi
penerus ummat.
Untuk
mendapatkan kejelasan terhadap uraian di atas, maka penulis akan menuangkan
pembahasannya melalui makalah ini tentang Peran
Ideal Wanita dalam Islam. Dalam mendapatkan
informasi dan data-data terhadap penulisan makalah ini, penulis menelaah
berbagai bahan dan sumber melalui kajian pustaka dengan mengoleksi dan
menganalisa terhadap buku-buku yang terkait dengan makalah tersebut.
BAB
II
STATUS
PEREMPUAN DALAM SEJARAH
A.
Perempuan
dalam masyarakat kuno
Dihampir setiap
pojok dunia yang berpenghuni,
masyarakat zaman lampau
menganggap status perempuan lebih
rendah daripada status laki-laki.
Di Athena, status perempuan disamakan dengan status budak, istri-istri dipingit
di rumah, tidak memiliki pendidikan dan tidak memiliki hak apapun. Di Roma
kuno, posisi hukum perempuan betul-betul rendah, pertama menjadi bawahan
ayahnya atau saudara laki-lakinya, untuk kemudian menjadi bawahan suami yang memegang kendali atas
istrinya.
Di negeri Persia hukuman tidak diterapkan melainkan
bagi wanita. Bahkan apabila kesalahan dilakukan terus menerus oleh seorang
wanita, maka tiada halangan untuk menyembelihnya. Tatkala haid, wanita di usir
ke tempat yang jauh dari kota dan tidak boleh berhubungan dengan siapapun..
Dalam masyarakat China pada umumnya manusia hidup
dalam kerusakan dan kebiadaban. Masyarakat lebih dekat kepada masyarakat
binatang daripada masyarakat manusia. Mereka berzina tanpa tabu dan malu,
sehingga banyak anak-anak yang di ketahui ibunya , akan tetapi tidak di ketahui
siapa bapaknya.
Nasib para wanita di Negeri India tidak lebih baik
daripada di Yunani ataupun Romawi meskipun negeri ini punya kelebihan dalam hal
pengetahuan dan kemajuan sejak dahulu. Wanita selalu dibebani sebagai budak
bagi ayah, suami dan anak-anaknya. Pada umumnya masyarakat India memiliki
keyakinan bahwa wanita adalah sumber kesalahan dan penyebab kemunduran akhlak
maupun mental. Sehingga mereka mengharamkan wanita dalam hak-hak pemerintahan
dan warisan. Bahkan mereka tidak memiliki hak hidup setelah suaminya mati,
sehingga dia harus mati di hari kematian suaminya dan di bakar hidup-hidup
bersama suami dalam satu tempat pembakaran.
Adapun wanita dalam pandangan agama Nasrani
digambarkan sebagai biang dari kemaksiatan, akar dari kejahatan dan dosa.
Wanita adalah salah satu pintu jahanam bagi laki-laki, karena merekalah yang
mendorong dan membawa laki-laki untuk berbuat dosa. Itulah pandangan mereka
dalam satu sisi. Pada sisi lain mereka memiliki pemahaman bahwa berhubungan
badan antara laki-laki dan perempuan adalah najis sekalipun telah menikah.
Sehingga mereka memandang bahwa hidup sebagai biarawati lebih terpuji.
Sementara wanita dalam pandangan Arab jahiliah tidak
jauh beda dengan wanita-wanita dalam
pandangan Roma, Yunani, Yahudi dan Nasrani. Kondisi wanita pada bangsa Arab
sebelum Islam berada dalam puncak kehinaan sehingga sampai pada keterbelakang,
kemunduran, dan kelemahan yang sudah tidak layak lagi di sandang oleh makhluk
yang bernama manusia. Mereka tidak berhak atas warisan, dan tidak mengenal
batas untuk menikah. Seorang wanita boleh digauli sampai sepuluh laki-laki,
setelah hamil dan melahirkan laki-laki itu di panggil kembali untuk di pilih
siapa yang berhak menerima atau yang mirip dengan anak tersebut. Di antara adat
jahiliyah Arab yang paling buruk adalah mengubur anak perempuan hidup-hidup,
karena untuk menjaga kehormatan dan takut mendapat aib serta kemiskinan.
Begitulah kondisi kaum wanita masa lampau di seluruh Negara sebelum datang
cahaya Islam.[1]
B.
Status Perempuan Menurut Islam
Islam
memelihara wanita dengan penuh perhatian yang menyeluruh, meninggikan
kedudukannya, mengkhususkan dengan kemuliaan dan kebaikan. Islam adalah agama
yang pertama sekali menetapkan bahwa laki-laki dan wanita diciptakan dari asal
yang satu, karena itu laki-laki dan perempuan dari sisi kemanusiaan
kedudukannya sejajar. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ
اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا
وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ
بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً -١
Artinya:”Hai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari jiwa yang satu,
dan dari padanya Allah menciptakan pasangannya dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi
kamu”. (An-Nisa’: 1)
Sejak awal Islam telah menempatkan
bahwa perempuan sama dengan laki-laki dalam masalah kemampuan dan kedudukan. Islam
tidak mengurangi sedikitpun haknya sebagai perempuan. Perintah dalam Islam
tidak sebatas memelihara hak wanita dalam kehidupan saja, tetapi Islam
menganjurkan untuk berbuat baik kepada mereka yang masih kecil. Rasul
bersabda,”siapa yang dikaruniai anak perempuan dan ia berbuat baik, maka mereka
akan menjadi tirai (selamat) dari neraka”. Rasulullah Saw juga memerintahkan
untuk mengajari wanita sebagaimana sabdanya,”Siapa saja lelaki yang mempunyai
putri lalu mengajarinya dan baik pengajarannya, lalu mengajarkan adab-adab dan
baiklah adabnya ….maka baginya dua pahala….[2]”
Dari penjelasan tersebut, Islam
telah menetapkkan wanita mempunyai otoritas harta secara tersendiri dan
sempurna sebagaiman lelaki. Baginya hak untuk menjual dan membeli, menyewa dan
menerima bayaran, mewakilkan dan menghibahkan, tidak ada larangan atas semua
itu selagi mempunyai kemampuan dan mengerti. Demikianlah seorang muslimah yang
terhormat hidup mendapatkan kemuliaan yang suci dalam naungan pengajaran dan
peradaban Islam yang paripurna.[3]
BAB III
PERAN IDEAL PEREMPUAN DALAM ISLAM
A.
Peran Istri-Istri Rasulullah dalam Islam
1. Khatijah Binti Khuwailid
Di dalam dunia Islam. Khatijah bin
Khuwailid di kenal, sebagai wanita terhormat, seorang pengusaha multinasional
yang sangat cerdas dan agung serta dijuluki Ath-Tahirah,
yakni yang bersih dan suci. Rasulullah Saw, membuat empat buah garis seraya
berkata: Tahukan kalian apakah ini?, mereka menjawab: Allah dan Rasulnya lebih mengetahui. Nabi saw bersabda:
“Sesungguhnya wanita ahli surga yang
paling utama adalah Khatijah binti Khuwailid. Fatimah binti Muhammad saw,
Maryam binti ‘Imran dan Asiyah binti Mazahi”.[4]
Selama bertahun-tahun Khatijah mendampingi Muhammad saw, membina
keluarga yang penuh ketentraman dan kebahagiaan. Salah satu sumbangan paling
penting Khatijah untuk memajukan Islam adalah penentraman hati yang dia berikan
kepada Nabi saw saat beliau pertama kali menerima wahyu melalui malaikat Jibril
di Gua Hira’. Itu adalah pengalaman yang membuat Nabi saw diliputi rasa gugup
dan menggigil ketakutan. Ketika pulang,
beliau masih diliputi oleh perasaan takut dan ketika masuk ke rumah beliau minta kepada Khatijah untuk
menyelimutinya dengan kain. Setelah beberapa saat, ketika mental beliau sudah
tenang kembali, beliau menceritakan seluruh pengalaman itu kepada Khatijah,
dengan mengungkapkan rasa takut bahwa jiwanya terancam. Khatijah langsung
menyakinkan dan menenangkannya dengan mengatakan,”itu tidak mungkin. Tuhan
pasti tidak akan pernah meninggalkanmu. Kamu berbuat baik kepada sanak
keluargamu, selalu membantu kaum lemah, menghibur hati orang yang keletihan,
selalu menyambut siapa saja yang datang ke rumahmu, dan mengatakan hal yang
benar.[5]
Begitu
juga pengorbanan beliau bersama Rasul, tatkala orang-orang Quraisy mengumumkan
pemboikotan mereka kepada kaum muslimin untuk menekan dalam bidang
politik,ekonomi, dan kemasyarakatan dan mereka tulis naskah pemboikotan
tersebut kemudian mereka tempel pada dinding ka’bah, Khatijah tidak ragu untuk
bergabung dengan kaum muslimin bersama dengan kaumnya Abu Thalib dan beliau
tinggalkan kampung halaman, kemewahan, dan beliau sumbangkan seluruh hartanya
untuk perjuangan suaminya tercinta. Sungguh Khatijah telah mengorbankan
segalanya demi tegaknya agama Allah sampai akhir hayat dalam usia 65 tahun.
Ya
Allah ridhailah Khatijah binti Khuwailid, As-Sayyidah
At-Thahirah. Seorang istri yang setia dan tulus, mukminah mujahidah di
jalan diennya dengan seluruh apa yang dimilikinya dari pembendaan dunia. Semoga
Allah memberikan balasan yang paling baik karena jasa-jasanya terhadap Islam
dan kaum muslimin.
2. Sa’udah binti Zum’ah ra
Dia adalah ummul
mukminin Saudah bintu Zama’ah bin Qois bin Abdu Syams bin Abdu Wudd
Al-Amiriyyah ra. Ibunya adalah Syamusy
bintu Qois bin Zaid An-Najjariiyyah. Dia adalah wanita yang dinikahi oleh
Rasulullah saw
sepeninggal Khadijah ra, kemudian menjadi istri
satu-satunya bagi Rasulullah saw sampai Rasulullah saw
masuk berumah tangga dengan Aisyah. Dia termasuk golongan wanita yang agung dan
mulia nasabnya. Tergolong para wanita yang cerdas akalnya. Perawakannya tinggi
dan besar.
Ketika Saudah sudah tua Rasulullah
berniat hendak mencerainya, maka Saudah berkata kepada Rasulullah, “Wahai
Rasulullah janganlah Engkau menceraikanku. Bukanlah aku masih menghendaki
laki-laki, tetapi karena aku ingin dibangkitkan dalam keadaan menjadi istrimu,
maka tetapkanlah aku menjadi istrimu dan aku berikan hari giliranku kepada
Aisyah.” Maka Rasulullah mengabulkan permohonannya dan tetap menjadikannya
salah seorang istrinya sampai Rasulullah meninggal.
Sebagai seorang janda, Saudah merasa
mendapat kehormatan dan kemuliaan besar menjadi istri Rasulullah. Ia merawat
putri Rasulullah Ummu Kaltsum dan Fatimah Al-Zahra dengan baik layaknya anak
sendiri. Sedangkan Zainab Dan Rukayyah saat itu sudah menikah. Saudah memiliki
kelembutan, tutur kata yang baik dalam menyelesaikan urusan rumah tangga.
Setelah beberapa bulan tinggal bersama kelurga Rasulullah, turun wahyu Allah
yang memerintahkan Rasul supaya menikahi Aisyah (putri Abubakar) dalam usianya
10 tahun dengan mas kawin 500 dirham. Namun sebelumya Rasul telah bertunangan
ketika Aisyah berusia 6 tahun.
Sebagai istri yang berpegalaman,
tidak ada kecemburuan sedikitpun kepada Aisyah sekalipun Rasul membuat kamar
bersebelahan dengannya. Bahkan Saudah sering membantu urusan Aisyah. Saudah
termasuk deretan istri-istri Rasulullah yang menghafal dan menyampaikan
sunnah-sunnah Rasulullah. Hadis-hadisnya diriwayatkan oleh para imam yang
terkemuka seperti Ahmad, Bukhari, Abu Dawud dan Nasai. Saudah meninggal di
akhir kekhilafan Umar di Madinah tahun 54 Hijriyah. Sebelum dia meninggal, dia
mewasiatkan rumahnya kepada Aisyah. Semoga Allah meridhainya dan membalasnya
dengan kebaikan yang melimpah.[6]
3.
Aisyah Binti Abu Bakar
Aisyah adalah isteri Nabi saw yang paling dicintai
oleh beliau diantara isteri-isterinya. Ayah Aisyah adalah Abu bakar Sidiq yang
merupakan sahabat Rasulullullah tatkala berada dalam gua dan teman dalam
menyebarkan dakwah serta menyertainya saat berhijrah. Allah Taala telah
menganugerahinya dengan segala hal yang didambakan wanita dalam kehidupan ini,
yaitu tubuh yang mulus, wajah yang cantik dan mempesona serta kepintaran yang
luar biasa. Beliau dinikahi oleh Rasulullah
saw atas perintah dari Allah sebagai penghibur setelah wafatnya Khatijah, sesudah
mengawini Saudah.
Dalam kehidupan berumah tangga inilah Aisyah menjadi
guru bagi setiap wanita di seluruh alam sepanjang sejarah. Beliau adalah sebaik-baik isteri yang bergaul
dengan suaminya, mendatangkan kebahagian di hati suami dan menyingkirkan apa
yang menyusahkannya takkala berdakwah di jalan Allah. Aisyah seorang perempuan
yang sangat cerdas diantara isteri-isteri Nabi saw dan jauh lebih muda daripada
Nabi saw kira-kira 50 tahun . Dengan
kemampuan daya ingatnya yang luar biasa, dia dapat terus menyampaikan secara
detail segala hal yang telah dipelajari
dari Nabi saw selama hubungan akrab mereka.
Tak mengherankan setengah abad dia dapat menjalankan peran yang sangat
informative (menjadi radio perekam yang hidup untuk ummat). Tidak hanya wanita yang menjadi muridnya
tetapi juga kaum lelaki menimba ilmu darinya, seperti Abdullah ibnu Abbas
seorang sahabat yang sangat terkenal dan salah satu mufassir terbaik. Begitu juga banyak sahabat dan tabiin lainnya
yang memperoleh pengetahuan agama dari seorang perempuan muslim.[7]
Setelah
Rasulullah saw meninggal, Ummu Mukminin
semakin berperan dalam kehidupan kaum muslim. Diantaranya, keterlibatannya
dalam mendakwahkan agama Allah dengan melaksanakannya periwayatan Rasul,
menjawab berbagai persoalan kaum wanita dan mengajari mereka dengan berbagai
persoalan agama. Termasuk para sahabat ikut meminta nasehat dari beliau seperti
Umar bin Khatab, tatkala Abu Lu’lu’ orang Majusi hendak menusuknya dengan
tombak. Umar merasa dia akan berpisah
dengan dunia dan mengatakan pada anaknya pergilah ke rumah Aisyah dan mintalah
izin kepadanya agar aku dikuburkan bersama Rasulullah saw dan Abubakar. Aisyah
menjawab silahkan, itu merupakan sebuah kehormatan dan sampaikan salamku kepada
Umar.[8]
Demikian peran Aisyah yang begitu besar dalam dunia Islam,
yang tercatat kira-kira 2210 hadist yang diriwayatkannya dan turut mengisi
lembaran sejarah hingga beliau wafat pada malam selasa 17 Ramadhan 57 Hijrah
disaat beliau berumur 66 tahun.[9]
4.
Hafsah Bin Umar
Beliau
adalah putri dari Umar bin Khattab, seorang sahabat agung yang melalui perantaraan beliaulah Islam
memiliki wibawa. Hafsah adalah seorang wanita yang masih muda dan berparas
cantik, bertakwa dan termasuk wanita yang disegani. Beliau juga istri Nabi saw
yang sangat berjasa dalam Islam.
Hafsah
mengisi hidupnya sebagai seorang ahli ibadah, rajin saum dan juga shalat. Manakala
Rasulullah saw telah menghadap Allah dan Abubakar menggantikan beliau menjadi
khalifah, maka Hafsahlah satu-satunya wanita yang di percaya di antara ummahatul mukminin termasuk Aisyah di
dalamnya, untuk menjaga mushaf Al-Qur’an yang menjadi pedoman seluruh umat Islam
di dunia.
Hafsah
wafat pada masa Mu’awiyah bin Abu Sufyan setelah memberikan wasiat kepada
saudaranya yang bernama Abdullah dengan wasiat yang telah diwasiatkan oleh
ayahnya. Semoga Allah meridhai beliau karena beliau telah menjaga Al-Qur’an
Al-Karim, dan beliau adalah wanita yang di sebut jibril sebagai shawwamah da qauwwamah dan istri Nabi
saw di jannah.[10]
5. Zainab
Binti Khuzaimah
Diantara para istri Nabi, nama
Zainab binti Khuzaimah bukanlah nama yang terkenal. Beliau hanya menikmati
kebersamaan bersama Nabi dalam rentang waktu yang sangat pendek. Hanya beberapa
bulan, tidak sampai setengah tahun. Setelah suaminya, Abdullah bin Jahsy, gugur
di Medan Uhud, Rasulullah menyuntingnya pada 4 H. Dengan mahar 400 dirham,
sahlah pernikahan mulia itu. Pada saat itu, istri Rasulullah adalah Saudah, Aisyah
dan Hafshah, putri dua sahabat beliau. Yang mengherankan, kehadirannya sebagai
orang kesekian dalam rumah tangga itu tidak membuat istri-istri Rasullulah
sebelumnya cemburu. Kerendahan hati Zainab dan ketidak-inginannya bersaing
dengan istri Rasulullah sebelumnya membuat segalanya menjadi tenang. Beliau
senantiasa mengisi waktunya dengan shalat dan beribadah dan tentunya sedekah.
“Bakatnya” menjadi seorang dermawan
semakin terasah demi melihat budi pekerti Nabi yang jauh lebih dermawan. Rasa
sayang Zainab bintu Khuzaimah kepada kaum fakir miskin semakin menguat.
Bagaimana tidak, setiap saat ia menyaksikan kasih sayang yang memancar deras
dari hati Rasulullah, beliau selalu menekankan kepada segenap kaum muslimin
agar bershodaqah kepada orang-orang miskin hingga mencapai tahap itsar
(mendahulukan kebutuhan orang lain daripada kebutuhan sendiri).
Disebut sebagai Ibunda rakyat miskin
atau ummul masakin, bukan lain karena beliau sangat penyantun terhadap orang
miskin. Sifat belas kasih dan dermawan serta kebiasaan menyantuni fakir miskin
sudah ada bahkan sejak sebelum masuk islam. Setelah islam menyinari hatinya,
jiwa penyantunnya semakin bersinar. Ditambah lagi, di saat awal-awal islam,
rata-rata yang masuk adalah kalangan bawah dari strata sosial. Hal ini membuat
beliau semakin bersemangat memberi segala yang beliau miliki. Namun, beliau tidak
lama merasakan kebahagian rumah tangga Nabi. Allah memanggilnya hanya beberapa
bulan setelah pernikahan. Rasulullah teramat sedih dengan wafatnya Zainab. Ada
kemiripan yang dimiliki Zainab dengan Khadijah. Pertemuan ini demikian singkat
sehingga Imam adz-Dzahabi menyatakan, bahkan beliau tak sempat meriwayatkan
satu hadits pun dari Nabi. Beliau adalah istri Rasulullah yang meninggal di
Madinah untuk pertama kalinya. Rasulullah menguburkannya di Baqi’.
Kebersamaan beliau dengan Nabi
sebagai istri memang sebentar. Akan tetapi kebersamaan beliau dengan Islam
sudah sangat lama. Beliau termasuk as sabiqunal awalun, yang pertama
kali masuk islam. Kelompok pelopor dakwah islam yang dipuji Allah dalam
firman-Nya :
“Orang-orang yang terdahulu lagi
yang pertama-tama (masuk islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
Allah menyediakan bagi mereka jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang
besar” (At-Taubah : 100)
Dua gelar paling mulia untuk wanita
di dunia didapatkannya. Ummul Masakin, Ibunda orang-orang miskin. Sebuah gelar
yang menyiratkan kasih sayang seorang ibu kepada golongan lemah. Gelar yang
melambangkan kedermawanan yang tulus.[11]
6. Ummu Salamah
Dia adalah wanita yang suci,
berhijab, dan terhormat. Terkenal cerdas, pandai, memiliki pandangan tajam, dan
pemahaman yang mendalam. Namanya Hindun binti Abu Umayyah bin Mughirah.
Berasal dari keluarga yang mulia dan terpandang dari Bani Makhzum. Ayahnya
adalah seorang tokoh Quraisy yang dikenal sangat dermawan dan pemurah. Hindun
adalah sepupu pedang Allah, Kholid bin Walid. Sekaligus sepupu Abu Jahal bin
Hisyam. Dia termasuk wanita yang pertama kali hijrah. Sebelum menjadi
istri Nabi SAW, ia menikah dengan saudaranya yang shalih, Abu Salamah bin Abdul
Asad Al Makhzum. Pernikahannya dikarunia putra dan putri: Zainab, Salamah,
Umar, dan Durrah.
Dalam Perang Badar, Abu Salamah ra.
menjadi salah satu pahlawan. Setahun kemudian, terjadi Perang Uhud dan Abu
Salamah terkena anak panah dan mengalami luka yang serius. Namun selang
beberapa waktu, pada awal Muharram tahun 4 Hijriah, Rasulullah menunjuk
Abu Salamah untuk memimpin pasukan Sarriyah melawan kabilah Arab
yang mencoba menyerang kaum muslimin. Abu Salamah dan pasukannya berhasil
membawa kemenangan. Tapi luka saat Perang Uhud kambuh sehingga tak lama setelah
itu ia meninggal dunia. Ummu Salamah ra. Pernah terlibat dalam beberapa
peristiwa yang menunjukkan kecerdasan pikiranya. Salah satu peristiwa
tersebut terjadi dalam kasus Hudaibiyah. Dalam peristiwa tersebut, terjadi
perjanjian damai antara Nabi SAW dan kaum musyrikin Mekkah. Salah satu pasal
perjanjian menyatakan bahwa jika ada orang dari kalangan musyrik Mekkah yang
datang kepada Nabi (untuk bergabung), maka Nabi harus menolak dan
mengembalikannya kepada kaum musyrik. Sebaliknya, jika ada seorang muslim yang
ingin bergabung dengan kaum musyrik maka kaum musyrik boleh menerimanya.
Hal ini membuat para sahabat Nabi
merasa sangat sedih dan kecewa. Bahkan, Umar bin khattab memprotes keputusan Rasulullah.
Ia menanyakan mengapa pihak muslimin bersedia direndahkan kaum musyrik. Rasulullah
hanya menjawab, “Sesungguhnya aku adalah utusan Allah dan aku tak mungkin
mendurhakaiNya. Allah akan menolongku.” Namun Umar tak puas dengan jawaban
tersebut.
Setelah selesai menandatangani
perjanjian damai dengan kaum musyrik Rasulullah berkata kepada para sahabatnya
untuk menyembelih hewan kurban dan bercukur rambut. Namun, saat itu tidak ada
satupun sahabat yang berdiri dan melaksanakan perintah beliau, padahal Rasul
mengulangi perintahnya sebanyak tiga kali. Ketika melihat gejala itu, Rasul
masuk kemah dan menemui Ummu Salamah. Beliau menceritakan kejadian tersebut
kepadanya. Ummul Mukminin faham bahwa suaminya sedang membutuhkan masukkan
untuk mencari solusi.
Di sinilah Ummu Salamah menggunakan
perannya dengan sangat baik. Wanita cerdas dan berpikiran matang ini
menyelamatkan para sahabat dari berbuat durhaka kepada Rasulullah. Dia berkata,
“Wahai Nabi Allah, apakah engkau ingin para sahabatmu mengerjakan perintahmu?
Keluarlah, dan jangan berbicara dengan siapapun sebelum engkau menyembelih
hewan kurbanmu dan memanggil pencukur untuk mencukur rambutmu.
”Perhatikan bahasa Ummu Salamah.
Dimulai dengan sebuah pertanyaan agar Rasulullah sempat berfikir sejenak, baru
kemudian melanjutkan menyampaikan sarannya. Beliau sangat memahami kondisi
psikologis Rasulullah yang siap mengubah sikapnya, apabila arah pandangan
perempuan (istrinya tersebut) lebih benar. Rasulullah pun mengikuti saran Ummu
Salamah. Beliau keluar tanpa bicara dengan siapapun sampai menuntaskan semua
yang disarankan istrinya. Ketika para
sahabat melihat beliau melakukannya, maka mereka langsung bangkit. Mereka
menyembelih hewan kurban masing-masing dan mencukur rambut sesama mereka. Berkat
pandangan Ummul Mukminin, Ummu Salamah, para sahabat selamat dari
bermaksiat kepada Nabi. Dan perjanjian Hudaibiyah berakhir dengan Fathu Mekkah.
Kemenangan kaum muslimin.
Sebagian besar perempuan percaya
pada pemikiran bahwa musyawarah dan memberikan usul menunjukkan pada perhatian
dan kepeduliannya. Inilah salah satu bentuk keteladanan bahwa kecerdasan dan
kebijakan seorang Istri dalam menyampaikan pendapat bisa memperbesar keyakinan
dan kekuatan suami.[12]
7. Zainab Binti Jahsy
Dia adalah Ummul Mu’minin, Zainab bintu Jahsy bin Riab bin Ya’mar bin Shabirah bin Murrah
Al-Asadiyyah. Ibunya adalah Umaimah bintu Abdul Muthallib bin Hasyim, bibi
Rasulullah dari pihak ayahnya. Sebelum Nabi saw. menikah dengan Zainab binti
Jahsy, putri bibinya Amimah binti Abdul Muthalib itu adalah istri anak
angkatnya Zaid bin Haritsah. Proses pernikahan mereka, Allah abadikan di dalam
surat Al Ahzab ayat: 37, yaitu:
وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ
وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي
نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَن تَخْشَاهُ
فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَراً زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَراً
وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولاً -٣٧-
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada
orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah
memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada
Allah", sedang kamu Menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan
menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak
untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap
Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan diasupaya tidak ada
keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat
mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada
isterinyadan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi”. (QS. Al-Ahzab: 37)
Maka Allah nikahkan Zainab dengan
Nabi-Nya melalui nash Kitab-Nya tanpa wali dan tanpa saksi. Dan Zainab biasa
membanggakan hal itu di hadapan Ummahatul Mukminin (istri-istri Nabi) yang
lain, dengan mengatakan, “Kalian dinikahkan oleh Allah dari atas
Arsy-Nya.” (Diriwayatkan oleh Zubair bin Bakar dalam Al-Muntakhob
min Kitab Azwajin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 1:48 dan Ibnu Sa’d dalam Thabaqah
Kubra, 8:104-105 dengan sanad yang shahih). Aisyah berkata, “Zainab
binti Jahsyi yang selalu menyaingiku di dalam kedudukannya di sisi Rasulullah,
tidak pernah aku melihat wanita seperti Zainab dalam hal kebaikan agamanya,
ketaqwaannya kepada Allah, kejujurannya, silaturrahimnya, dan banyaknya
shadaqahnya.”[13]
8. Juwairiyah Binti al-Harits
Juwairiyah dilahirkan empat belas
tahun sebelum Nabi hijrah ke Madinah, sebelum memeluk islam beliau bernama
Burrah. Nama lengkapnya adalah Juwairiyah binti al-Harits bin Abi Dhiraar
bin Habib bin Aid bin Malik bin Judzaimah bin Musthaliq bin Khuzaah. Ayahnya,
al-Harits, adalah pemimpin kaumnya yang masih musyrik dan menyembah berhala
sehingga Juwairiyah dibesarkan dalam kondisi keluarga seperti itu. Tentunya dia
memiliki sifat dan kehormatan sebagai keluarga seorang pemimpin. Dia adalah
gadis cantik yang paling luas ilrnunya dan paling baik budi pekertinya di
antara kaumnya. Kemudian dia menikah dengan seorang pemuda yang bernama Musafi’
bin Shafwan. Dibawah komando al-Harits bin Abi Dhiraar, orang-orang munaflk
berniat menghancurkan kaum muslimin. Al-Harits sudah mengetahui kekalahan
orang-orang Quraisy yang berturut-turut oleh kaum muslimin. Al-Harits
beranggapan, jika pasukannya berhasil mengalahkan kaum muslimin, mereka dapat
menjadi penguasa suku-suku Arab setelah kekuasaan bangsa Quraisy. Al-Harits menghasut
pengikutnya untuk memerangi Rasulullah dan kaum muslimin. Akan tetapi, kabar
tentang persiapan penyerangan tersebut terdengar oleh Rasulullah, sehingga
beliau berinisiatif untuk mendahului menyerang mereka.
Dalam penyerangan tersebut, Aisyah
r.a. turut bersama Rasulullah, yang kemudian meriwayatkan pertemuan Rasulullah
dengan Juwairiyah setelah dia menjadi tawanan. Perang antara pasukan kaum
muslimin dengan Banil-Musthaliq pun pecah, dan akhirnya dimenangkan oleh
pasukan muslim. Pemimpin. mereka, al-Harist, melarikan diri, dan putrinya
Juwainiyah tertawan di tangan Tsabit bin Qais al-Anshari. Begitu mengetahui
dirinya menjadi tawanan, Juwairiyah mengajukan keinginannya untuk membebaskan
diri kepada Tsabit dan Rasulullah saw.
Rasulullah kemudian membuat
Juwairiyah tercengang, namun wajahnya berseri-seri. Betapa tidak, selain
Rasulullah sendiri yang akan membayar tebusan, Rasulullah pun melamarnya.
Dengan senyuman, Juwairiyah menerima pinangan Rasulullah, lalu memeluk Islam. Mendengar
putrinya berada dalam tawanan kaum muslimin, al-Harits bin Abu Dhirar
mengumpulkan puluhan unta dan dibawanya ke Madinah untuk menebus putrinya.
Sebelum sampai di Madinah dia berpendapat untuk tidak membawa seluruh untanya,
dan menyembunyikan dua ekor unta yang terbaik. Lalu dia pergi ke Madinah dan
menemui Rasulullah. Maka Nabi saw bersabda:"Bagaimana pendapatmu
seandainya anakmu disuruh memilih diantara kita, apakah anda setuju?. "Baiklah",
katanya. Kemudian ayahnya mendatangi Juwairiyah dan menyuruhnya untuk memilih dirinya
dengan Rasulullah maka Juwairiyah menjawab,"Aku memilih Allah dan
Rasul-Nya."
Setelah itu Rasul menanyakan perihal
dua ekor unta yang disembunyikan. Mendengar pertanyaan itu Al Harits langsung
terperangah, hatinya terguncang hingga tampak bingung. Lalu ia berkata,
"Demi Allah, kau benar-benar utusan Allah. Tak ada yang tahu masalah ini
selain Allah." Ia lalu masuk Islam, dan secara serentak diikuti seluruh
kaumnya. Setelah Rasulullah Saw meninggal dunia, Juwairiyah mengasingkan diri
serta memperbanyak ibadah dan bersedekah di jalan Allah dengan harta yang
diterimanya dari Baitul-Mal. Ketika terjadi fitnah besar berkaitan dengan
Aisyah, dia banyak berdiam diri, tidak berpihak ke mana pun. Juwairiyah wafat
pada masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan sekitar tahun 56 H, pada
usianya yang keenam puluh. Dia dikuburkan di Baqi’, bersebelahan dengan
kuburan istri-istri
Rasulullah yang lain. Semoga Allah rela
kepadanya dan kepada semua istri Rasulullah Saw.[14]
9. Ummu Habibah
Ummu Habibah dilahirkan tiga belas tahun sebelum kerasulan
Muhammad. Dengan nama Ramlah binti Shakhar bin Harb bin Uinayyah bin Abdi
Syams. Ayahnya dikenal dengan sebutan Abu Sufyan. Ibunya bernama Shafiyyah
binti Abil Ashi bin Umayyah bin Abdi Syams, yang merupakan bibi sahabat
Rasulullah, yaitu Utsman bin Affan r.a.. Sejak kecil Ummu Habibah terkenal
memiliki kepribadian yang kuat, kefasihan dalam berbicara, sangat cerdas, dan
sangat cantik. Dalam perjalanan hidupnya, Ummu
Habibah banyak mengalami penderitaan dan cobaan yang berat. Setelah memeluk
Islam, dia bersama suaminya hijrah ke Habasyah. Di sana ternyata suaminya
murtad dari agama Islam dan beralih memeluk Nasrani. Suaminya kecanduan minuman
keras, dan meninggal tidak dalam agama Islam.
Dalam kesunyian hidupnya, Ummu Habibah selalu diliputi kesedihan
dan kebimbangan karena dia tidak dapat berkumpul dengan keluarganya sendiri di
Mekah maupun keluarga suaminya karena mereka sudah menjauhkannya. Allah tidak
akan membiarkan hamba-Nya dalam kesedihan terus-menerus. Ketika mendengar
penderitaan Ummu Habibah, hati Rasulullah sangat tergerak sehingga beliau
rnenikahinya dan Ummu Habibah tidak lagi berada dalam kesedihan yang
berkepanjangan. Hal itu sesuai dengan firman Allah bahwa: Nabi itu
lebih utama daripada orang lain yang beriman, dan istri-istri beliau adalah ibu
bagi orang yang beriman.
Keistimewaan Ummu Habibah di antara
istri-istri Nabi lainnya adalah kedudukannya sebagai putri seorang pemimpin
kaum musyrik Mekah yang memelopori pertentangan terhadap dakwah Rasulullah dan
kaum muslimin, yaitu Abu Sufyan. Setelah Rasulullah wafat, Ummu Habibah hidup
menyendiri di rumahnya hanya untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah.
Dalam kejadian fitnah besar atas kematian Utsman bin Affan, dia tidak berpihak
kepada siapapun. Bahkan ketika saudaranya, Mu’awiyah bin Abu Sufyan berkuasa,
sedikit pun dia tidak berusaha mengambil kesempatan untuk menduduki posisi tertentu.
Dia juga tidak pernah menyindir Ali bin Abi Thalib lewat sepatah kata pun
ketika bermusuhan dengan saudaranya itu. Dia pun banyak meriwayatkan hadits
Nabi yang kemudian diriwayatkan kembali oleh para sahabat. Di antara hadits
yang diriwayatkannya adalah: “Aku mendengar Rasulullah bersabda,
“Barang siapa yang shalat sebanyak dua belas rakaat sehari
semalam, niscaya Allah akan membangun baginya rumah di surga.’ Ummu Habibah
berkata, “Sungguh aku tidak pernah meninggalkannya setelab aku mendengar dari Rasulullah
saw.” (HR. Muslim)
Ummu Habibah wafat pada tahun ke-44
hijrah dalarn usia tujuh puluh tahun. Jenazahnya dikuburkan di Baqi’ bersama
istri-istri Rasulullah yang lain. Semoga Allah memberinya kehormatan di
sisi-Nya dan menempatkannya di tempat yang layak penuh berkah. Amin.[15]
10. Raihanah binti Zaid ra
Ada pula yang memasukkan nama
Raihanah binti Zaid An-Nasraniah di antara istri-istri Nabi saw. Raihanah binti
Zaid An-Nasraniah ada juga yang menyatakan Al-Qurazhiah yakni dari kalangan
Yahudi bukan Nasrani. Ia merupakan tawanan pada waktu perang Bani Quraizhah.
Saat itu ia adalah tawanan Rasulullah, kemudian Rasulullah saw memerdekakannya
dan menikahinya. Rasulullah menceraikannya sekali kemudian ruju (kembali)
kepadanya. Sebagian ulama berpendapat bahwa Raihanah adalah budak Rasulullah
yang digauli oleh beliau dan terus menjadi budaknya hingga Rasulullah wafat.
Oleh Karena itu, dia termasuk
budak-budak Nabi dan bukan termasuk istri-istrinya. Al-Waqidi lebih cenderung
kepada pendapat yang pertama, yakni ia merupakan istri Nabi. Pendapatnya
disetujui oleh Syarifuddin Ad-Dimyathi. Ia mengatakan bahwa Rasulullah mendatangi Raihanah dan berkata,
“Jika kamu suka, aku akan membebaskanmu lalu menikahimu. Jika kamu suka, aku
akan menjadikanmu sebagai budakku. Dia menjawab, “Ya Rasulullah, aku lebih suka
menjadi budakmu, hal itu lebih meringankan bagiku dan bagimu”. Pendapat inilah
yang lebih kuat meurut para ahli ilmu. Menjadi budak atau dinikahi Rasul adalah
kebanggaan bagi wanita manapun.[16]
11. Shafiyyah binti Huyay
Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab bin
Sa’yah bin Amir bin Ubaid bin Kaab bin al-Khazraj bin Habib bin Nadhir bin
al-Kham bin Yakhurn, termasuk keturunan Harun bin Imran bin Qahits bin Lawi bin Israel bin Ishaq bin Ibrahim. Ibunya
bernama Barrah binti Samaual darin Bani Quraizhah. Shafiyyah dilahirkan sebelas
tahun sebelum hijrah, atau dua tahun setelah masa kenabian Muhammad. Shafiyah
telah menjanda sebanyak dua kali, karena dia pernah kawin dengan dua orang
keturunan Yahudi yaitu Salam bin Abi Al-Haqiq (dalam kisah lain dikatakan
bernama Salam bin Musykam), salah seorang pemimpin Bani Qurayzhah, namun rumah
tangga mereka tidak berlangsung lama.
Kemudian suami keduanya bernama
Kinanah bin Rabi' bin Abil Hafiq, ia juga salah seorang pemimpin Bani Qurayzhah
yang diusir Rasulullah. Dalam Perang Khaibar, Shafiyah dan
suaminya Kinanah bin Rabi' telah tertawan, karena kalah dalam pertempuran
tersebut. Dalam satu perundingan Shafiyah diberikan dua pilihan yaitu
dibebaskan kemudian diserahkan kembali kepada kaumnya atau dibebaskan kemudian
menjadi isteri Muhammad, kemudian Safiyah memilih untuk menjadi isteri
Muhammad. Shafiyah memiliki kulit yang sangat
putih dan memiliki paras cantik, menurut Ummu Sinan Al-Aslamiyah,
kecantikannya itu membuat cemburu istri-istri Muhammad yang lain. Bahkan ada
seorang istri Muhammad dengan nada mengejek, mereka mengatakan bahwa mereka
adalah wanita-wanita Quraisy bangsa Arab,
sedangkan dirinya adalah wanita asing (Yahudi). Bahkan suatu ketika Hafshah
sampai mengeluarkan lisan kata-kata, ”Anak seorang Yahudi” hingga menyebabkan
Shafiyah menangis. Muhammad kemudian bersabda, “Sesungguhnya engkau adalah
seorang putri seorang Nabi dan pamanmu adalah seorang Nabi, suamimu pun juga
seorang Nabi lantas dengan alasan apa dia mengejekmu?” Kemudian Muhammad
bersabda kepada Hafshah, “Bertakwalah kepada Allah wahai Hafshah!” Selanjutnya
manakala dia mendengar ejekan dari istri-istri Nabi yang lain maka diapun
berkata, “Bagaimana bisa kalian lebih baik dariku, padahal suamiku adalah
Muhammad, ayahku (leluhur) adalah Harun dan pamanku adalah Musa?”
Muhammad menikahi Shafiyyah dan kebebasannya
menjadi mahar perkawinan dengannya. Pernikahan Muhammad dengan Shafiyyah
didasari beberapa landasan. Shafiyyah telah mernilih Islam serta menikah dengan
Muhammad ketika ia memberinya pilihan antara memeluk Islam dan menikah dengan
beliau atau tetap dengan agamanya dan dibebaskan sepenuhnya. Ternyata Shafiyyah
memilih untuk tetap bersama Muhammad, Selain itu, Shafiyyah adalah putri
pemimpin Yahudi yang sangat membahayakan kaum muslim.
Salah satu bukti cinta Shafiyyah
kepada Muhammad terdapat pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Saad dalarn
Thabaqta-nya tentang istri-istri Nabi yang berkumpul menjelang beliau wafat.
Shafiyyah berkata, “Demi Allah, ya Nabi, aku ingin apa yang engkau derita juga
menjadi deritaku.” Istri-istri Rasulullah memberikan isyarat satu sama lain.
Melihat hal yang demikian, beliau berkata, “Berkumurlah!” Dengan terkejut
mereka bertanya, “Dari apa?” Beliau menjawab, “Dari isyarat mata kalian
terhadapnya. Demi Allah, dia adalah benar.” Setelah Muhammad wafat, Shafiyyah
merasa sangat terasing di tengah kaum muslimin karena mereka selalu
menganggapnya berasal dan Yahudi, tetapi dia tetap komitmen terhadap Islam dan
mendukung perjuangan Muhammad. Ketika terjadi fitnah besar atas kematian Utsman
bin Affan, dia berada di barisan Utsman. Selain itu, dia pun banyak
meriwayatkan hadits Nabi. Dia wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abi
Sufyan dalam usia 50 tahun. Marwan bin Hakam menshalatinya, kemudian
menguburkannya di Baqi’.[17]
12. Mariah binti al-Qibtiah
Tentang
nasab Mariyah, tidak banyak yang diketahui selain nama ayahnya. Nama lengkapnya
adalah Mariyah binti Syama’un dan dilahirkan di dataran tinggi Mesir yang
dikenal dengan nama Hafn. Ayahnya berasal dan Suku Qibti, dan ibunya adalah
penganut agarna Masehi Romawi. Setelah dewasa, bersarna saudara perempuannya,
Sirin, Mariyah dipekerjakan pada Raja Muqauqis. Rasulullah saw. mengirim surat
kepada Muqauqis melalui Hatib bin Baltaah, rnenyeru raja agar memeluk Islam.
Raja Muqauqis menerima Hatib dengan hangat, namun dengan ramah dia menolak
memeluk Islam, justru dia mengirimkan Mariyah, Sirin, dan seorang budak bernama
Maburi, serta hadiah-hadiah hasil kerajinan dari Mesir untuk Rasulullah. Di
tengah perjalanan Hatib rnerasakan kesedihan hati Mariyah karena harus
rneninggalkan kampung halamannya. Hatib rnenghibur mereka dengan menceritakan
Rasulullah dan Islam, kemudian mengajak mereka merneluk Islam. Mereka pun
menerirna ajakan tersebut.
Rasulullah
teläh menerima kabar penolakan Muqauqis dan hadiahnya, dan betapa terkejutnya
Rasulullah terhadap budak pemberian Muqauqis itu. Beliau mengambil Mariyah
untuk dirinya dan menyerahkan Sirin kepada penyairnya, Hasan bin Tsabit.
Istri-istri Nabi yang lain sangat cemburu atas kehadiran orang Mesir yang
cantik itu sehingga Rasulullah harus menitipkan Mariyah di rumah Haritsah bin
Nu’man yang terletak di sebelah rnasjid.
Allah
menghendaki Mariyah al-Qibtiyah melahirkan seorang putra Rasulullah setelah
Khadijah r.a. Betapa gembiranya Rasulullah mendengar berita kehamilan Mariyah,
terlebih setelah putra-putrinya, yaitu Abdullah, Qasim, dan Ruqayah meninggal
dunia. Mariyah mengandung setelah setahun tiba di Madinah. Kehamilannya membuat
istri-istri Rasul cemburu karena telah beberapa tahun mereka
menikah, namun tidak dikaruniai
seorang anak pun. Rasulullah menjaga kandungan istrinya dengan sangat
hati-hati. Pada bulan Dzulhijjah tahun kedelapan hijrah, Mariyah melahirkan
bayinya yang kemudian Rasulullah memberinya nama Ibrahim demi mengharap berkah
dari nama bapak para nabi, Ibrahim a.s.. Lalu beliau memerdekakan Mariyah
sepenuhnya. Kaum muslimin menyambut kelahiran putra Rasulullah saw. dengan
gembira.
Akan
tetapi, di kalangan istri Rasul lainnya api cemburu tengah membakar, suatu
perasaan yang Allah ciptakan dominan pada kaum wanita. Rasa cemburu sernakin
tampak bersamaan dengan adanya pertemuan Rasulullah saw. dengan Mariyah di
rumah Hafshah sedangkan Hafshah tidak berada di rumahnya. Aisyah mengungkapkan
rasa cemburunya kepada Mariyah, “Aku tidak pernah cemburu kepada wanita kecuali
kepada Mariyah karena dia berparas cantik dan Rasulullah sangat tertarik
kepadanya. Ketika pertama kali datang, Rasulullah menitipkannya di rumah
Haritsah bin Nu’man al-Anshari, lalu dia menjadi tetangga kami. Akan tetapi,
beliau sering kali di sana siang dan malam. Aku merasa sedih. Oleh karena itu,
Rasulullah memindahkannya ke kamar atas, tetapi beliau tetap mendatangi tempat
itu. Sungguh itu lebih menyakitkan bagi karni.” Di dalam riwayat lain dikatakan
bahwa Aisyah berkata, “Allah memberinya anak, sementara kami tidak dikaruni
anak seorang pun.”
Beberapa
orang dari kalangan golongan munafik menuduh Mariyah telah melahirkan anak
hasil perbuatan serong dengan Maburi, budak yang menemaninya dari Mesir dan
kemudian menjadi pelayan bagi Mariyah. Akan tetapi, Allah membukakan kebenaran
untuk diri Mariyah setelah Ali ra. menemui Maburi dengan pedang terhunus.
Maburi menuturkan bahwa dirinya adalah laki-laki yang telah dikebiri oleh raja.
Pada usianya yang kesembilan belas bulan, Ibrahim jatuh sakit sehingga
meresahkan kedua orang tuanya. Mariyah bersama Sirin senantiasa menunggui
Ibrahim. Suatu malarn, ketika sakit Ibrahim bertambah parah, dengan perasaan
sedih Nabi saw. bersama Abdurrahman bin Auf pergi ke rumah Mariyah. Ketika
Ibrahim dalam keadaan sekarat, Rasulullah saw. bersabda, “Kami tidak dapat
menolongmu dari kehendak Allah, wahai Ibrahim.”Tanpa beliau
sadari, air mata telah bercucuran. Ketika Ibrahim meninggal dunia.
Setelah
Rasulullah wafat, Mariyah hidup menyendiri dan hidupnya hanya untuk beribadah
kepada Allah. Dia wafat lima tahun setelah wafatnya Rasulullah, yaitu pada
tahun ke-46 hijrah, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah
sendiri yang menyalati jenazah Sayyidah Mariyah al-Qibtiyah, kemudian
dikebumikan di Baqi’. Semoga Allah menempatkannya pada kedudukan yang mulia dan
penuh berkah. Amin.[18]
13.
Maimunah binti Harits ra
Nama lengkap Maimunah adalah Barrah
binti al-Harits bin Hazm bin Bujair bin Hazm bin Rabiah bin Abdullah bin Hilal
bin Amir bin Sha’shaah. Ibunya bernama Hindun binti Aus bin Zubai bin Harits
bin Hamathah bin Jarsy. Dalam keluarganya, Maimunah termasuk dalam tiga
bersaudara yang memeluk Islam. Ibnu Abbas meriwayatkan dari Rasulullah,
“Al-Mu’minah adalah tiga bersaudara, yaitu Maimunah, Ummu-Fadhal, dan Asma’.”
Maimunah dilahirkan enam tahun sebelum masa kenabian, sehingga dia mengetahui
saat-saat orang-orang hijrah ke Madinah. Dia banyak terpengaruh oleh peristiwa
hijrah tersebut, dan juga banyak dipengaruhi kakak perempuannya, Ummul-Fadhal,
yang telah lebih dahulu memeluk Islam, namun dia menyembunyikan keislamannya
karena merasa bahwa lingkungannya tidak mendukung.
Tentang suaminya, banyak riwayat
yang memperselisihkannya, namun ada juga kesepakatan mereka tentang asal-usul
suaminya yang berasal dan keluarga Abdul-Uzza (Abu Lahab). Sebagian besar
riwayat mengatakan bahwa nama suaminya adalah Abu Rahm bin Abdul-Uzza, seorang muysrik
yang mati dalam keadaan syirik. Suaminya meninggalkan Maimunah sebagai janda
pada usia 26 tahun. Setelah suaminya meninggal, dengan leluasa Maimunah dapat
menyatakan keimanan dan kecintaannya kepada Rasulullah. Sehingga dengan suka
rela dia menyerahkan dirinya kepada Rasulullah untuk dinikahi.
Pada tahun berikutnya, setelah perjanjian
Hudaibiyah, Rasulullah bersama kaum muslimin memasuki Mekah untuk melaksanakan
ibadah umrah. Sesuai dengan isi perjanjian Hudaibiyah, Nabi diizinkan untuk
menetap di sana selama tiga hari, namun orang-orang Quraisy menolak permintaan
Nabi. Kesempatan itu digunakan Rasulullah untuk melangsungkan pernikahan dengan
Maimunah. Setelah pernikahan itu, beliau dan kaum muslirnin rneninggalkan
Mekah. Maimunah mulai memasuki kehidupan rumah tangga Rasulullah dan beliau
menempatkannya di kamar tersendiri. Maimunah memperlakukan istri-istri beliau
yang lain dengan baik dan penuh hormat dengan tujuan mendapatkan kerelaan hati
beliau semata.
Tentang Maimunah, Aisyah
menggambarkannya sebagai berikut. “Demi Allah, Maimunah adalah wanita yang baik
kepada kami dan selalu menjaga silaturahmi di antara kami.” Dia dikenal dengan
kezuhudannya, ketakwaannya, dan sikapnya yang selalu ingin mendekatkan diri
kepada Allah. Riwayat-riwayat pun menceritakan penguasaan ilmunya yang luas. Pada masa pemerintahan Khalifah Mu’awiyah bin
Abi Sufyan, bertepatan dengan perjalanan kembali dari haji, di suatu tempat
dekat Saraf, Maimunah merasa ajalnya menjelang tiba. Ketika itu dia berusia delapan puluh tahun, bertepatan dengan
tahun ke-61 hijriah. Dia dimakamkan di tempat itu juga sebagaimana wasiat yang
dia sampaikan. Menurut sebagian riwayat, dia adalah istri Nabi yang terakhir
meninggal. Semoga Allah memberi tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.[19]
B. Peran Istri-Istri Sahabat Dalam Perkembangan
Islam
1.
Ummul Kultsum Binti Ali Bin Abi Thalib
Beliau
adalah anak dari Ali bin Abi Thalib, orang yang petama kali masuk Islam dari
golongan anak-anak, memiliki kedudukan yang tinggi dan posisi yang luhur di
sisi Rasulullah saw. Beliau juga putri ratu wanita ahli jannah, Fatimah binti Rasulullah saw, sedangkan kedua
saudaranya adalah pemimpin pemuda ahli jannah dan penghibur hati Rasulullah saw.
Dalam lingkungan yang mulia seperti inilah pada zaman Rasulullah saw Ummu
Kaltsum dilahirkan, tumbuh, berkembang dan terdidik hingga menjadi isteri dari amirul mukminin Umar bin Khatab
Al-Faruq. Tatkala khalifah Umar bin Khatab, yang ketika itu beliau sebagai gubernur,
melalukan ronda pada suatu malam untuk mengawasi rakyatnya, maka sampailah pada
satu rumah yang ketika itu terdengar suara rintisan seorang perempuan yang
sedang merasakan kesakitan karena mau melahirkan. Dengan segera beliau pulang
memanggil isterinya agar membantu persalinan perempuan tersebut.
Di dalam dunia Islam beliau adalah teladan bagi
gadis muslimah yang tumbuh di atas dien dan sekaligus merupakan wanita pertama yang
menjadi bidan sebagai panutan bagi seluruh muslimah Islam.[20]
2. Asma’
binti Yaziz bin Sakan
Beliau
adalah seorang ahli hadist yang mulia, memiliki kecerdasan, dien yang bagus dan
ahli argumen sehingga beliau dijuluki sebagai “juru bicara wanita”.
Diantara yang paling istimewa yang dimiliki oleh Asma’ r.a. kepekaan
inderanya dan kejelian perasaannya serta kehalusan hatinya. Selebihnya dalam
segala sifat sebagaimana yang dimiliki oleh wanita-wanita Islam yang lain,
yaitu tidak terlalu lunak atau manja dalam berbicara, tidak merasa hina, tidak
mau dianianya, wanita yang pemberani dan
beliau menjadi contoh yang baik dalam banyak medan peperangan.
Asma’
sangat aktif dalam mengikuti setiap pengajaran Rasulullah saw dan tidak
segan-segan bertanya kepada Rasulullah saw tentang tata cara thaharah bagi
wanita yang baru selesai haid. Karena
itu beliau dipercaya oleh kaum muslimah sebagai wakil mereka untuk berbicara
dengan Rasulullah saw tentang persoalan sekitar wanita.
Semoga
Allah merahmati Asma’ binti Yazid dan memuliakan dengan hadist yang telah
beliau riwayatkan dan dengan pengorbanan yang telah beliau usahakan, dan telah
beramal dengan sesuatu yang dapat dijadikan pelajaran bagi yang lain demi
memperjuangkan tegaknya ad-dien.
3.
Asy-Syifa’ Binti Al-Harits
As-Syifa’
termasuk wanita yang cerdas dan utama, seorang ulama di antara ulama di dalam Islam
dan tanah yang subur bagi ilmu dan iman. Beliau di kenal sebagai guru dalam
membaca dan menulis sebelum datangnya Islam, sehingga tatkala beliau masuk Islam,
beliau tetap memberikan pengajaran kepada wanita-wanita muslimah. Oleh karena
itu beliau di sebut,”guru wanita pertama
dalam Islam”
Di antara wanita yang dididik oleh
As-Syifa’ adalah Hafsah binti Umar bin Khattab, istri dari Rasulullah saw.
As-Syifa’ juga ahli ruqyah di masa jahiliyah, maka tatkala Islam dan berhijrah
beliau berkata kepada Rasulullah saw,”
aku adalah ahli ruqyah di masa Jahiliiyah dan aku ingin memperlihatkannya
kepada anda”, maka Nabi saw bersabda “ajarkanlah
hal itu kepada Hafsah”. Diantara
yang termasuk doa ruqyah yaitu,”Ya Allah
rabb manusia, yang maha menghilangkan penyakit sembuhkanlah karena Engkau maha
penyembuh dan tiada yang dapat menyembuhkan selain Engkau” sembuh yang tidak
terjangkit penyakit lagi.”[21]
Begitulah peran Asy-Syifa’ dalam Islam
dengan segala macam kebaikan ilmu dan dien menjadi uswah hasanah bagi setiap
gadis di dalam Islam. Semoga Allah merahmatinya dan menempatkan beliau ditempat
yang layak di sisi-Nya.[22]
Demikian
sekilas uraian tentang peran wanita dalam Islam dan masih banyak lagi yang lain
yang tidak mungkin disebutkan. Banyak kejadian telah diceritakan dalam Islam
pada saat para perempuan menyumbangkan jasa mereka yang amat berharga dalam medan
peperangan, seperti perawatan bagi pejuang yang sakit, memberikan air,
menyiapkan makanan, memelihara barang-barang bawaan, yang dilakukan oleh Ummu
Athiyah. Bahkan Ummu Sulaim tidak segan-segan mengangkat sebilah pisau untuk
merobek perut orang kafir dalam Perang
Hunain. Shafiyyah binti Abdul muthalib membunuh orang Yahudi yang
mematai-matai demi musuh Islam selama Perang
Persekutuan. Sejumlah perempuan sahabat Nabi saw seperti Nusaibah binti
Ka’ab, Ummu Athiyyah al-Anshariyyah dan Rabi’ binti al-Mu’awwaz iku bersama
laki-laki dalam perjuangan bersenjata melawan penindasan dan ketidakadilan.
Umar bin Khattab juga pernah mengangkat al-Syifa, seorang perempuan cerdas dan
terpercaya untuk menjadi manager pasar di Madinah.[23]
Begitu
pula Sumayyah ummu Ammar bin Yasir, seorang perempuan yang pertama kali gugur
mempertahankan keimanannya. Dia dianiaya secara kejam dan akhirnya di bunuh
oleh musuh Allah Abu Jahal. Ummu habibah, ummu Abdillah bin Abi Hatsmah, Asma
binti Umais, dan perempuan-perempuan lain yang ikut berhijrah pertama kali ke Ethiopia mencari suaka politik. Asma
binti Abu Bakar yang berani mengantarkan makanan kepada Nabi saw di gua Tsur, ketika semua orang takut
berhubungan dengan Nabi saw.[24]
Sejarah telah mencatat, sejumlah peran wanita dalam ilmu
pengetahuan, seperti Rufadah Aslamiyah, Ummu Muta’, Ummu Kabshah, Hamnah binti
Jahsh, Mu’adhah, Umaimah, Ummu ziyad,Rubayyi binti Muawiyah, yang terkenal
dalam bidang kedokteran dan spesialis bedah. Begitu pula dalam memperoleh
penghasilan, wanita juga turut andil dalam mencari nafkah, seperti yang
dicontohkan Saudah Istri Nabi yang memiliki keahlian menyamak kulit hewan
sebagai penghasilannya. Kemudian juga Qailah, seorang pedagang yang menjual dan
membeli barang-barang untuk dipasarkan.[25]
Demikian peran wanita-wanita dalam Islam dalam menyumbangkan hasil karyanya
untuk generasi penerus di masa yang akan datang, demi kemaslahatan umat dunia
dan akhirat.
PENUTUP
Rasulullah saw melakukan proses perombakan
besar-besaran terhadap cara pandang dunia terhadap wanita pada masa lampau.
Kehadiran beliau dalam situasi seperti ini menjadi harapan bagi kaum wanita
karena Islam yang diperkenalkan oleh beliau berisi pembebasan terhadap kaum
tertindas, mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kesetaraan.
Status wanita pada zaman Rasulullah saw dapat
dilihat pada keterlibatan mereka dalam sejumlah peran-peran penting yang
memiliki makna historis-monumental. Tegak dan tersebarnya Islam tidak terlepas
dari peran wanita-wanita yang beliau cintai dan para istri serta anak sahabat
yang rela mengorbankan segenap kemampuan jiwa dan raga untuk Islam. Peranan
mereka ini akan menjadi sumbangan yang tidak ternilai dalam perkembangan ilmu
dan teknologi di masa sekarang. Dari merekalah kita mengenal Islam yang
sebenarnya. Semoga para mujahidah Islam ini mendapat tempat yang paling mulia
di sisi-Nya. Amin
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman
Umairah, Rijaalun wa Nisaa’un Anzalallahu
fiihim Qur’aana, (terj. Salim Basyarahil & M. Shihabuddin, Jakarta,
Gema Insani Press, cet.1, 2000
Abi
Syifa’ Al-Hakim, Perbedaan Wanita
Pertentangan Jiwa dan Tubuh, Bandung, Ikhtiar Publishing, cet.1, 2005
Jalaluddin
Rakhmat, Islam Aktual, Bandung,
Mizan, cet.III, 1991
Hasan Baharun, Islam Esensial, Jakarta, Pustaka Amani, cet.I,
1998
Hasbi Indra,
dkk, Potret Wanita Shalehah, Jakarta. Penamadani, cet.2, 2004
Imam
Az-zabidi, Shahih Al-Bukhari, (terj.Ahmad Zaidun), Jakarta, Pustaka Amani,
cet.I, 2002
Mahmud
Mahdi Al-Istambuli Musthafa Abu An Nashr Asy Syalabi, Nisaa’ Haular Rasul, (terj. Abu Umar Abdillah), Solo. At-Tiban,
1988
Mufidah
Ch, Psikologi Keluarga Islam berwawasan
gender, Malang, UIN-Malang Press, cet.I, 2008
Muhammad
Nasib Ar-Rifa’i, Taisiru al-Alliyul Qadir
li Ikhtishari, Tafsir ibnu Katsir, (terj. Shihabuddin), jilid I, Jakarta,
Gema Insani Press, cet.I, 1999
Muhammad
Sharif Chaudhori, Women Right in Islam,
(terj. Ahmad shihabul Millah), Bandung, mujahid Press, cet.I 2005
Maulana
Wahiduddin Khan, Woman Between Islam and
Western Society, (terj. Abdullah
Ali), Jakarta Serambi Ilmu Semesta, cet.I, 2001
Nurhidayati,
Dinamika Perempuan Aceh Dalam Lintasan
Sejarah, B. Aceh, Yayasan Pena, cet. I 2007,
Ragil
As-Sirjani, Madza Qaddamal Muslimuna
lil’Alam Ishamaatu al-Muslimin fi al-Hadharah al-Insaniah, (terj.Masturi
Irham), Jakarta, Al-Kausar, cetI, 2011
Syaikh
Imad zaki Al-Barudi, Tafsir Wanita,
(terj. Samson Rahman), Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, cet.V, 2008
Syaikh
Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury, Sirah
Nabawiyah, (terj.Kathur Suhardi), Jakarta, Pusta Al-kautsar, cet.I, 1997
Yusuf
Qardlawi, Ketika Wanita Menggugat Islam,
Jakarta, Teras, cet.I, 2004
[1] Mahmud Mahdi Al
Istanbuli & Musthafa Abu An Nashr Asy Syalabi, Nisaa’ Haular Rasul, (terj. Abu Umar Abdillah, Solo, At-Tiban, hal.
19-26
[2] HR. Al-Bukhari
dari Aisyah, Kitab Al-Adab, Bab Rahmah
Al-Walad wa Taqbilahu wa Ma’anaqatahu (2629)
[3] Raghib
As-Sirjani, Madza Qaddamal Muslimuna
lil’Alam ishamaatu al-Muslimin fi al-Hadharah al-Insaniyah, (terj.sonif
& Masturi Irham, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2011,
hlm. 77
[4] Ibnu Katsir, as-Sirah an- Nabawiyah 1, hlm. 386
[5] Jaluddin
Rakhmat, Islam Aktual, Bandung,
Mizan, cet.III, 1991, hlm. 196
[6]
Hasbi Indra, dkk. Potret Wanita Shalehah, Jakarta, Penamadani, cet.II,
2004, hlm.29
[7] Maulana
Wahiduddin Khan, Women Between Islam and
Western Society (terj.Abdullah Ali), Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, Cet
I.2001. hlm.164
[9]Mahmud Mahdi Al
Istanbuli & Musthafa Abu An Nashr Asy Syalabi, Nisaa’ Haular Rasul (terj.AbuUmar Abdillah), Bogor, At-Tiban, hlm.
53
[10] Ibid, hlm. 57
[11]
Hasbi Indra,dkk, hal. 37
[12]
Mahmud Mahdi, hal. 58
[13]
Ibid, hal. 72
[14] Hasbi Indra, dkk, hlm. 45
[15]
Ibid, hlm. 47
[16] Ibid, Hlm. 51
[17] Mahmud Mahdi istambuli, Hlm. 77
[18] (Dinukil dari buku Dzaujatur-Rasulullah SAW,
karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh, [ed. Indonesia: Istri
Rasulullah, Contoh dan Teladan, penerjemah: Ghufron Hasan, penerbit Gema Insani
Press, Cet. Ketiga, Jumadil Akhir 1420H)]
[19]
Hasbi Indra Hlm. 56-57
[20] Ibid.hlm.163
[21] Diriwayatkan
oleh Abu Daud dalam Ath-Thibb, bab
Ruqyah, No.3887.
[22] Mahmud Mahdi Al
Istambul & Musthafa Abu An Nashr Asy Syalabi, hlm. 204-206
[23] Yusuf Qardlawi, Ketika
Wanita Menggugat Islam, Jakarta, Teras, cet.I, 2004, hlm. 36
[24] Nurhidayati, Dinamika
Perempuan Aceh Dalam Lintasan Sejarah, B. Aceh, Yayasan Pena, cet. I 2007, hlm. 76,
[25] Muhammad Sharif Chaudhori, Women Right in Islam, (terj. Ahmad shihabul Millah), Bandung,
mujahid Press, cet.I 2005, hlm 139-147
Tidak ada komentar:
Posting Komentar