DARI MENEJER MENJADI PEMIMPIN PENGAJARAN:
PERUBAHAN PERAN KEPALA SEKOLAH
Syarwan
Ahmad
(Dosen
Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry)
Instructional
leadership is a concept in which principal’s management emphases on academic or
instructional improvement. It is the principal leadership siding with academic
affairs. Conventionally, school principals play the role as managers or
administrators. Whereas the role of instructional leadership is delegated to
other parties such as vice principal for curriculum affairs. Most educators and
scholars agree that instructional leadership needs to be practiced if effective
schools are to be realized. To be an instructional leader, it is necessary for a
principal to have expertise in curriculum, instruction and assessment. Since
most principals lack of skills on instructional leadership practices,
instructional leadership training for principals is badly needed.
Kata kunci: Kepemimpinan Pengajaran; Kepemimpinan Instruksional;
Perubahan Peran Kepala Sekolah.
Pendahuluan
Telah sering kita dengar bahwa kepala sekolah melakonkan banyak peran dalam
satu hari, menjadi menejer, pengatur, pemimpin pengajaran dan pemimpin
kurikulum. Merupakan tindakan yang wajar kalau kepala sekolah harus menyulap
antara berbagai peran ini. Sering, lebih banyak perhatian diberikan kepada
tugas-tugas administratif dan manajerial. Sedangkan tugas kepemimpinan pengajaran biasanya didelegasikan
kepada pihak lain sesuai dengan hirakhi administratif. Sesungguhnya urusan
utama sekolah adalah belajar mengajar. Peran pemimpin sekolah sebagai pemimpin
pengajaran (instructional leader) merupakan konsep yang relatif baru yang muncul di awal 1980an yang meminta
kepada perubahan fokus manajemen kepala sekolah, dari kepala sekolah sebagai
menejer atau pengatur menjadi pemimpin pengajaran atau pemimpin akademik, atau sering
juga disebut dengan istilah pemimpin instruksional. Perubahan ini banyak
dipengaruhi oleh penelitian yang menemukan bahwa sekolah-sekolah efektif
biasanya memiliki kepala sekolah yang menekankan pentingnya kepemimpinan
pengajaran yang dalam bahasa Inggris sering disebut dengan istilah instructional
leadership.[1] Kemudian,
pada paruh pertama 1990an, “perhatian terhadap kepemimpinan pengajaran sedikit goyah,
diganti oleh pembahasan-pembahasan menyangkut MBS (Manajemen Berbasis Sekolah)
dan kepemimpinan fasilitatif (facilitative leadership)”.[2]
Baru-baru ini, kepemimpinan kepala sekolah telah kembali difokuskan pada standar akademik.
Sementara sebagian besar para sarjana pendidikan akan setuju bahwa kepemimpinan
pengajaran sangat mendesak dalam perwujudan sekolah-sekolah efektif. Sayang, hal
itu jarang dipraktekkan. Contohnya, diantara banyak tugas yang dijalankan
kepala sekolah, hanya 10 % waktu didedikasikan bagi pelaksanaan kepemimpinan
pengajaran.[3] Bahkan
sampai sekarang, para pemimpin sekolah terus mencari keseimbangan dalam peran
mereka sebagai menejer dan pemimpin pengajaran. Menarik untuk diperhatikan, diantara
alasan yang dikemukakan kenapa penekanan kurang diberikan pada kepemimpinan
pengajaran adalah karena kurangnya pelatihan yang mendalam untuk peran kepala
sekolah sebagai pemimpin pengajaran, tidak cukupnya waktu untuk menjalankan
aktivitas pengajaran (instructional activities), meningkatnya kertas kerja dan harapan
masyarakat bahwa peran kepala sekolah adalah sebagai menejer.[4]
- Mendefinisikan Kepemimpinan Pengajaran
Kepemimpinan pengajaran berbeda dari tugas kepala sekolah sebagai pengatur atau
menejer dalam banyak hal. Para kepala sekolah yang membanggakan diri mereka
sebagai menejer biasanya terlalu fokus dengan tugas–tugas administratif yang
ketat dibandingkan dengan kepala sekolah yang berperan sebagai pemimpin
pengajaran. Peran yang terakhir melibatkan penentuan tujuan-tujuan (goals) yang
jelas, pengalokasian sumberdaya untuk
pengajaran (instruction), pengurusan kurikulum, pemantauan rencana pembelajaran
(lesson plans), dan evaluasi para guru. Singkat kata,
kepemimpinan pengajaran adalah aksi-aksi yang seorang kepala sekolah lakukan,
atau delegasikan kepada oaring lain, untuk
meningkatkan pembelajaran siswa.[5]
Pemimpin pengajaran memprioritas atau mengutamakan kualitas pengajaran sebagai
prioritas utama sekolah dan berusaha untuk mewujudkan visi itu menjadi
kenyataan. Menurut Hoy dan Hoy sekolah-sekolah dibangun untuk proses belajar
mengajar, kegiatan lainnya hanya merupakan penunjang bagi terlaksananya
kegiatan belajar mengajar dengan baik.[6]
Sekarang, definisi kepemimpinan pengajaran telah meluas kepada keterlibatan
yang lebih dalam ke urusan utama persekolahan, yaitu belajar mengajar. Perhatian
telah berubah dari mengajar ke pembelajaran, dan sebagian orang telah mengusulkan istilah
“pemimpin pembelajaran” sebagai pengganti "pemimpin pengajaran." [7] The National Association
of Elementary School Principals mendefinisikan kepemimpinan pengajaran sebagai "memimpin
komunitas belajar".[8] Konsep komunitas belajar
adalah para staf (guru) bertemu secara regular untuk
mendiskusikan pekerjaan mereka, bekerja bersama-sama untuk memecahkan masalah, berefleksi
tentang pekerjaan mereka, dan bertanggungjawab terhadap apa yang mereka
pelajari. Mereka beroperasi dalam jaringan keahlian yang saling berbagi dan
melengkapi bukannya dalam hirarkhi atau isolasi. Orang di dalam komunitas
belajar “memiliki masalah” dan menjadi agen-agen bagi solusinya. Pemimpin
pengajaran juga memprioritaskan pembelajaran sesama guru; menentukan
harapan-harapan yang tinggi; menciptakan budaya belajar yang terus menerus bagi
guru dan menggalang dukungan komunitas untuk keberhasilan sekolah. Blase dan
Blase, mengekpresikan kepemimpinan pengajaran dengan tingkah laku khusus
seperti memberi saran-saran, memberi masukan (feedback), menawarkan model pembelajaran
yang efektif, meminta pendapat, mendukung kolaborasi, menyediakan kesempatan
pengembangan profesional, dan memberi penghargaan atau pujian atas pengajaran yang
efektif. [9] Hallinger menyarankan
kepala sekolah sebagai pemimpin pengajaran menciptakan lingkungan sekolah
dimana guru dapat mengajar lebih efektif dan siswa dapat belajar lebih baik.[10] Fidler berargumen bahwa kepemimpinan
pengajaran merupakan “kepemimpinan kurikulum” sebab menurutnya kepala sekolah
adalah pihak yang paling tepat untuk mengkoordinasi, mengintegrasikan,
mengimplementasikan dan mensupervisi program pengajaran agar dapat memastikan
hasil (outcomes) apa yang diharapkan tercapai.[11]
- Pengetahuan dan Pemimpin Pengajaran
Terkandung di dalam konsep
seorang pemimpin pengajaran adalah gagasan dimana pembelajaran harus diprioritaskan, sementara
semua yang lain berkisar pada peningkatan pembelajaran yang tidak dapat
disangkal merupakan kharakteristik dari usaha pendidikan manapun. Dengan
demikian untuk memiliki kredibilitas sebagai pemimpin pengajaran, kepala
sekolah harus juga guru yang mengajar (practicing teacher). Contohnya, di
Inggris, kebanyakan kepala sekolah menghabiskan rata-rata 20% dari waktu mereka
di dalam seminggu untuk mengajar.[12]
Para pemimpin pengajaran perlu mengetahui apa yang berlangsung di ruangan
kelas; menyaksikan langsung proses pembelajaran. Sering, para kepala sekolah
tidak berkomunikasi dengan apa yang terjadi di tingkat ruangan kelas dan tidak
sanggup mengantisipasi beberapa masalah yang guru dan siswa hadapi. Manfaatnya
adalah untuk menyorot isu-isu pengajaran dari perspektif ketika mereka menjadi
guru. Para kepala sekolah perlu bekeja lebih dekat dengan siswa, mengembangkan
teknik dan metode pembelajaran sebagai alat untuk mengetahui perspektif guru
dan untuk membangun dasar yang di atasnya keputusan-keputusan kurikulum dirumuskan.
Juga, seorang kepala sekolah yang mengajar memperkuat keyakinan bahwa "satu-satunya
maksud persekolahan adalah untuk melayani kebutuhan pendidikan siswa."[13]
Whitaker mengidentifikasikan empat keahlian penting kepemimpinan pengajaran.[14]
- Pertama, mereka harus menjadi penyedia sumber belajar (resource provider). Tidak cukup bagi kepala sekolah hanya mengetahui kekuatan dan kelemahan para guru mereka, tetapi juga harus menyediakan sumber belajar, mengakui bahwa guru menginginkan untuk diakui dan dihargai apa yang mereka telah kerjakan dengan baik.
- Kedua, mereka harus menjadi sumber pengajaran (instructional resource). Guru menganggap kepala sekolah mereka sebagai sumber informasi tentang tren-tren terkini dan pelaksanaan pengajaran yang efektif. Pemimpin pengajaran adalah memahami isu-isu yang berhubungan dengan kurikulum, strategi-strategi pedagogik dan evaluasi yang efektif.
- Ketiga, mereka harus menjadi komunikator yang baik (good communicators). Pemimpin pengajaran yang efektif perlu mengkomunikasikan selogan-selogan penting seperti semboyan bahwa semua anak bisa belajar dan tidak ada yang tertinggal.
- Akhirnya, mereka perlu menciptakan a visible presence. Mengarahkan program pengajaran sebuah sekolah berarti komitmen bagi menghidupkan dan menghembuskan visi sukses di dalam mengajar dan belajar. Ini termasuk memfokuskan tujuan pembelajaran (learning objectives), model pembelajaran (modeling behaviors of learning), dan merancang program dan aktivitas pengajaran.
Di banyak
Negara sementara secara umum kepala sekolah dipandang sebagai menejer-pengatur bukan
pemimpin pengajaran, termasuk di Malaysia, kepala sekolah condong menjadi lebih
sebagai menejer-pengatur, sementara tugas sebagai pemimpin pengajaran sangat
sering didelegasikan kepada wakil kepala sekolah bidang kurikulum/akademik.
Bahkan, julukan ‘pemimpin pengajaran’ jarang diberikan kepada satu orang tetapi
dianggap menjadi tanggungjawab semua guru. Namun, menarik untuk dicatat bahwa
kecendrungan mengarah kepada penuntutan bahwa kepala sekolah memainkan peran utama
sebagai pemimpin pengajaran. Akan menjadi tugas berat meyakinkan kepala sekolah
untuk melepaskan citra mereka sebagai menejer dan mengambil peran sebagai
pemimpin pengajaran. Umumnya, para kepala sekolah tidak menganggap mereka
sendiri sebagai pemimpin pengajaran dan banyak diantara mereka percaya bahwa
apapun yang berhubungan dengan belajar mengajar cara terbaik adalah ditugaskan
kepada guru. Dalam banyak hal, kepala sekolah merasa tidak mampu untuk
mengambil inisiatif dan mengembangkan program-program pengajaran karena keragaman
bidang studi yang diajarkan yang masing-masing pelajaran memiliki keunikan
pedagogis tersendiri. Sebagai contoh, mengajar membaca berbeda dengan mengajar
sains dan akan tidak adil mengharapkan kepala sekolah untuk berpengatahuan
tentang strategi pembelajaran untuk tiap-tiap mata pelajaran. Terlepas dari
kekhawatiran ini,
yang mendukung ide bahwa kepala sekolah harus menjadi pemimpin pengajaran, mendapat
perhatian serius. Jika demikian halnya lalu kepala sekolah perlu memutakhirkan pengetahuan
mereka di tiga wilayah pendidikan, yaitu; kurikulum, pengajaran dan penilaian (assessment).
- Menyangkut kurikulum, kepala sekolah perlu mengetahui tentang konsepsi kurikulum yang terus berubah, falsafah dan norma-norma bidang pendidikan, fragmentasi dan spesialisasi pengetahuan, sumber kurikulum dan konflik menyangkut kurikulum, evaluasi kurikulum dan perbaikannya.
- Menyangkut pengajaran, kepala sekolah perlu mengetahui tentang model-model pembelajaran yang berbeda, alasan teoritis mengadopsi model pembelajaran tertentu, pedagogi internet, teori-teori pembelajaran yang didukung oleh teknologi.
- Menyangkut penilaian (assessment), kepala sekolah perlu mengetahui tentang prinsip-prinsip penilaian siswa, prosedur penilaian dengan penekanan pada metode-metode penilaian alternatif dan penilaian yang bertujuan untuk memperbaiki ketimbang membuktikan pembelajaran siswa.
Menekankan tiga wilayah pengetahuan ini, adalah pemahaman
yang mendalam menyangkut bagaimana manusia belajar. Rasanya tidak berlebih-lebihan
untuk disarankan bahwa seorang kepala sekolah tidak sepenuhnya siap jika ia
tidak memiliki mengetahuan yang mendalam menyangkut bagaimana manusia belajar.[15]
Urusan utama sekolah adalah pembelajaran, dan penelitian terbaru bidang
kognitif telah menghasilkan pengetahuan yang cukup memadai tentang pembelajaran
manusia. Penting bagi kepala sekolah untuk mengetahui dan memahami teori-teori
ini sehingga mereka bisa berfungsi sebagai nara sumber dalam meningkatkan
efektivitas pengajaran. Miskinnya pengetahuan kepala sekolah tentang
pembelajaran manusia akan menjadi sulit bagi mereka untuk menjelaskan dan
menjastifikasi sokongan teoritis terhadap strategi pembelajaran yang
dipraktekkan. Selanjutnya, bersama dengan semakin pentingnya teknologi di
sekolah-sekolah, kepala sekolah perlu dibekali dengan pengetahuan menyangkut
integrasi teknologi ke dalam pembelajaran. Semakin dipandangnya kepala sekolah
sebagai pemimpin yang memberi inspirasi kepada guru untuk mengadopsi
pedagogi-pedagogi inovatif ke dalam ruangan kelas. Contohnya, jika beberapa
siswa tidak sanggup membaca dan menulis di tingkat SLTP, kepala sekolah sebagai
pemimpin pengajaran harus mengambil langkah-langkah untuk meringankan
masalah dengan membantu metode
pembelajaran guru, mengalokasi sumber daya dan bahan, sering mengunjungi
ruangan kelas, memberi masukan (feedback) menyangkut metode dan teknik mengajar
dan menggunakan data untuk memberi perhatian pada peningkatan pengajaran dan
kurikulum.[16]
- Ketrampilan dan Pemimpin Pengajaran
Disamping berpengetahuan di
bidang-bidang utama pendidikan, kepala
sekolah musti memiliki ketrampilan tertentu untuk menjalankan tugas-tugas
sebagai pemimpin pengajaran. Ketrampilan-ketrampilan ini adalah ketrampilan
antarpribadi (interpersonal skills), ketrampilan perencanaan (planning skills),
ketrampilan observasi pengajaran (instructional observation skills), dan
ketrampilan-ketrampilan di bidang Penelitian dan evaluasi.
- Ketrampilan interpersonal atau ketrampilan berhubungan/berkomunikasi dengan orang (people skills) sangat diperlukan demi keberhasilan seorang kepala sekolah. Ini adalah ketrampilan yang menjaga kepercayaan, memacu motivasi, memberdayakan dan meningkatkan kolegalitas. Hubungan dibangun atas kepercayaan dan tugas-tugas diselesaikan dengan pemberian motivasi dan pemberdayaan dimana guru terlibat dalam perencanaan, perancangan dan evaluasi program-program pengajaran. Pemberdayaan mengarah kepada kebangkitan rasa memiliki dan komitmen sebagai guru untuk mengidentifikasi masalah dan merancang strategi-strategi mereka sendiri. Kolegalitas mempromosikan saling tukar pikiran/pengalaman (sharing), kerjasama dan kolaborasi, yang di dalamnya kepala sekolah dan guru membicarakan tentang belajar-mengajar.
- Perencanan mulai dengan pengidentifikasian tujuan (goals) atau visi (vision) yang jelas untuk bekerja terus dan juga merangsang tumbuhnya komitmen dan antusiasme. Selanjutnya adalah menilai perubahan apa yang perlu terjadi dan yang mungkin bisa diselesaikan dengan meminta orang-orang terlibat, dengan membaca dokumen-dokumen dan mengamati apa yang sedang terjadi.
- Mengobservasi pengajaran (supervision) bertujuan untuk menyediakan guru masukan-masukan (feedback) apa yang harus dipertimbangkan dan direfleksikan. Tetapi guru sebaiknya membuat keputusan-keputusan mereka sendiri dan mendapatkan kesimpulan mereka sendiri.
- Ketrampilan penelitian dan evaluasi diperlukan untuk mempertanyakan secara kritis keberhasilan program-program pengajaran yang diprakarsai dan salah satu ketrampilan yang paling berguna adalah Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research).
Tugas
menjadi pemimpin pengajaran adalah komplek dan multidimensi. Jika kepala
sekolah yakin bahwa peningkatan pembelajaran siswa merupakan tujuan utama
persekolahan, lalu itu menjadi sebuah tugas yang sangat berguna untuk
dipelajari. Jika seorang kepala sekolah memiliki pengetahuan dan
ketrampilan-ketrampilan ini dia lebih mungkin menjadi pemimpin-pemimpin yang
efektif – yang berbagi (sharing), memfasilitasi (facilitating), dan memberi arahan
bagi keputusan-keputusan menyangkut peningkatan pengajaran demi kemajuan
pendidikan siswa.
- Kesimpulan
Jika kepala sekolah mengambil peran sebagai pemimpin pengajaran secara serius, mereka
harus membebaskan diri dari tugas-tugas birokrasi dan fokus pada usaha mereka
terhadap peningkatan belajar-mengajar. Peningkatan pembelajaran adalah suatu
tujuan (goal) penting,
untuk diraih, dan suatu tujuan ketika
diimplementasikan, membuat siswa dan guru mengontrol tujuan mereka sendiri
dalam menciptakan suasana pembelajaran yang lebih berarti. Brewer mengusulkan
bahwa peran kepala sekolah sebagai pemimpin pengajaran diperluas untuk
berpindah dari "manajemen" (bekerja dalam system tugas administrasi) ke
"kepemimpinan" (bekerja pada sistim) dan itu disebut dengan ‘kepemimpinan
pengajaran’.[17] Untuk
menggapai tujuan ini, akan memerlukan lebih dari seorang kepala sekolah yang
kuat dengan ide-ide nyata dan keahlian teknis. Kita memerlukan definisi ulang
peran kepala sekolah, yang memindahkan halangan-halangan menuju kepemimpinan
(leadership) dengan cara memangkas struktur-struktur birokrasi dan menemukan
kembali hubungan-hubungan.
Singkat kata, "peran yang berbeda secara dramatis" dari pada kepala
sekolah sebagai menejer menjadi pemimpin pengajaran disorot oleh Brewer, sebagai
“seseorang yang perlu memfokuskan pengajaran; menciptakan komunitas belajar; berbagi
dalam pengambilan keputusan; mempertahankan aturan-aturan dasar-dasar; meluangkan
waktu untuk urusan pembelajaran; mendukung pengembangan profesi untuk semua
staff; mengarahkan kembali sumber daya untuk mendukung rencana sekolah yang
beraneka ragam; dan menciptakan iklim integritas, penelitian, dan peningkatan yang
terus-menerus.”
Banyak
literatur menyangkut kepemimpinan pengajaran memiliki kesamaan yaitu mengklaim ada
tiga dimensi utama yang harus dijalankan kepala sekolah dalam melaksanakan
kepemimpinan pengajaran, yaitu merumuskan visi/misi sekolah; mengurus kurikulum;
menciptakan iklim pembelajaran sesama guru.
Berdasarkan
sumber-sumber yang dapat diakses dapat didefinisikan kepemimpinan pengajaran
(instructional leadership) sebagai kepemimpinan kepala sekolah yang memihak
kepada pengajaran atau kepemimpinan yang memperhatikan secara serius urusan akademik.
Menurut Halingger, untuk menjalankan kepemimpinan pengajaran kepala sekolah diminta
untuk menjalankan 10 fungsi berikut: merumuskan visi misi sekolah dan
mensosialisasikannya, mengkoordinasikan kurikulum, mensupervisi dan
mengevaluasi pengajaran, memonitor kemajuan siswa, melindungi waktu untuk pengajaran,
memberi insentif untuk guru, menyediakan insentif untuk siswa, menjaga
visibilitas yang tinggi dan mempromosikan pengembangan profesi.[18]
Karena kebanyakan kepala sekolah tidak
memiliki pengetahuan yang memadai menyangkut kepemimpinan pengajaran, pelatihan
bagi kepala sekolah untuk mendapat pengetahuan dan ketrampilan menyangkut
kepemimpinan pengajaran sangat mendesak untuk dilaksanakan.
DAFTAR PUSTAKA
Blase, J. dan Blase Jo.,
“Effective Instructional Leadership: Teachers’ Perspectives on How Principals Promote Teaching and Learning
in Schools,” Journal of Educational Administration
38(2), (2000), hal. 130-41.
Brewer, H., “Ten
Steps to Success,” Journal of Staff Development 22(1), (2001), hal.30-31.
Brookover, W. B., & Lezotte, L., Creating Effective
Schools, (Holmes Beach, FL: Learning Publication,
1982).
DuFour, Richard, “The Learning-Centered Principal,” Educational Leadership 59(8), (2002), hal.
12-15.
Fiddler, F.E., “School Leadership: Some
Keys Ideas,” School Leadership and Management 17(1), (1997), hal. 23-37.
Flath,
B., “The Principal as Instructional Leader,” ATA Magazines 69(3),
(1989), hal.19-22.
Fullan,
M., The New Meaning of Educational Change, (New York: Teachers College
Press, 1991).
Hallinger, P., “School Leadership That
Makes a Difference: Lessons from 30 Years of International
Research,” (Rome: Ministry of Education, October 4, 2012), diakses dari: Philiphalinger.com/instructional-leadership-2/
Hallinger, P., L. Bickman & K.
Davis, “School Context, Principal Leadership, and Student Reading Achievement,” The
Elementary School Journal 96(5), (1996), hal.527.
Hallinger, P & Murphy, J., “Assessing
the instructional behavior of principals,” Elementary School Journal, 86, (1985), 217-247.
Harden. G., “The Principal as Leader
Practitioner,” The Clearing House 62(2), hal. 87-88.
Hoy A.W & Hoy W.K, Instructional
Leadership: A Research Based Guide to Learning in Schools, (Boston: Pearson, 2009).
Lashway, L. ,
“Developing Instructional Leaders,” ERIC Digest 160 (Juli), (Clearinghouse
on Educational Management,
University of Oregon, 2002).
Mendez-Morse, S., “The principal’s Role
in The Instructional Process: Implications for At-Risk Students,” Issues About Change 1(2), (1991), hal.1-5.
National Association of
Elementary School Principals, Leading Learning Communities: Standards for What Principals Should Know
and Be Able to Do, (Alexandria, Virginia, 2001).
Phillip, J.A., Manager-Administrator to
Instructional Leader: Shift in The Role of The School Principal [artikel jurnal on-line], diakses 23 April, 2013
dari: Peoplelearn.homestead.com/principalInstructleader.
Stronge, J. H., “A Position in Transition?”
Principal 67(5), (1988), hal.32-33.
Weindling, D., “The Secondary School
Head Teacher: New Principals in The United Kingdom,”
National Association of Secondary School Principals Bulletin 74(526), (1990), hal.40-45.
Whitaker, B., “Instructional Leadership
and Principal Visibility,” The Clearinghouse 70(3), (1997), hal.155-156.
[1] Brookover, W. B., & Lezotte, L.,
Creating Effective Schools, (Holmes Beach, FL: Learning Publication,
1982).
[2]
Lashway, L. ,
“Developing Instructional Leaders,” ERIC Digest 160 (Juli), (Clearinghouse
on Educational Management, University of Oregon, 2002).
[3]
Stronge, J. H., “A Position in Transition?” Principal
67(5), (1988), hal.32-33.
[4]
Fullan, M., The New Meaning of Educational
Change, (New York: Teachers College Press, 1991).
[5]
Flath, B., “The Principal as Instructional
Leader,” ATA Magazines 69(3), (1989), hal.19-22.
[6] Hoy, A.W & Hoy, W. K, Instructional
Leadership: A Research Based Guide to Learning in Schools, (Boston:
Pearson, 2009).
[7]
DuFour, Richard, “The Learning-Centered Principal,”
Educational Leadership 59(8), (2002), hal. 12-15.
[8]
National Association of Elementary School
Principals, Leading Learning Communities: Standards for What Principals Should
Know and Be Able to Do, (Alexandria, Virginia, 2001).
[9]
Blase, J. dan Blase Jo., “Effective Instructional
Leadership: Teachers’ Perspectives on How Principals Promote Teaching and Learning
in Schools,” Journal of Educational Administration 38(2), (2000), hal.
130-41.
[10]
Hallinger, P., L. Bickman & K. Davis, “School Context, Principal
Leadership, and Student Reading Achievement,” The Elementary School Journal
96(5), (1996), 527.
[11]
Fiddler, F.E., “School Leadership: Some Keys Ideas,” School Leadership and
Management 17(1), (1997), 23-37.
[12] Weindling,
D., “The Secondary School Head Teacher: New Principals in The United Kingdom,” National
Association of Secondary School Principals Bulletin 74(526), (1990), hal.40-45.
[13]
Harden. G., “The Principal as Leader Practitioner,” The Clearing House
62(2), hal. 87-88.
[14]
Whitaker, B., “Instructional Leadership and Principal Visibility,”
The Clearinghouse 70(3), (1997), hal.155-156.
[15]
Phillip, J.A., Manager-Administrator to Instructional Leader: Shift in The Role
of The School Principal [artikel jurnal on-line], diakses 23 April, 2013 dari:
Peoplelearn.homestead.com/principalInstructleader.
[16]
Mendez-Morse, S., “The principal’s Role in The Instructional
Process: Implications for At-Risk Students,” Issues About Change 1(2),
(1991), hal.1-5.
[17]
Brewer, H., “Ten
Steps to Success,” Journal of Staff Development 22(1), (2001), hal.30-31.
[18] Hallinger, P & Murphy, J., “Assessing
the instructional behavior of principals”, Elementary
School Journal, 86, (1985), 217-247.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar