MANAJEMEN PENDIDIKAN DAN KEKHUSUSANNYA
Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh,
Indonesia
Email: syarwan2007ahmad@yahoo.com
ABSTRACT
Educational management is defined as a
study and practice concerning the operation of educational organizations. This
research is aimed at searching the specialty of the educational management. The
study uses literature study on the sources pertinent to the topic. The existing theories of educational
management are the result of combination between the theories of industry and
commerce and the findings gathered by using observation techniques at
educational institutions. Educational management is unique due to the goal of
educational institution which is to educate young generations and produce qualified
graduates, rather than to gain financial benefits. Additionally, educational
institution varies in terms of type, level, size, location and the values
accepted. Because of this, it is not easy to simply implement the theories
without taking into account the distinguished characteristic of the eduactional
institution being managed. The type of management practice that pays serious
attention to academic matter is strongly recommended.
Kata
kunci: Manajemen
pendidikan; Kekhususan; Keunikan
Pengantar
Meskipun konsep manajemen pendidikan berasal
dari manajemen bisnis, setelah teori-teorinya berdiri sendiri manajemen
pendidikan merupakan suatu manajemen yang unik. Kata ‘manajemen’
itu sendiri mempunyai arti yang berbeda-beda menurut kamus. Berdasarkan
Webster Super New School and Office Dictionary manajemen berasal dari
kata “manage” (to manage) yang berarti “conduct or carry on or direct.” Dalam Collins English
Dictionary manajemen diartikan sebagai “the members of the executive or administration
or business.” Kamus ini juga mendefinisikan manajemen sebagai “technique,
practice or science of managing or controlling.” Di dalam Kamus Inggris
Indonesia kata “manage” diartikan “mengurus, mengatur, melaksanakan, mengelola.”
Sementara Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan manajemen
sebagai “proses penggunaan sumberdaya secara efektif untuk mencapai sasaran.” Menurut
Atmosudirdjo yang dikutip oleh Sardjana
(2010) “Manajemen itu adalah pengendalian dan
pemanfaatan daripada semua faktor dan sumberdaya, yang menurut suatu
perencanaan (planning), diperlukan untuk mencapai atau menyelesaikan suatu
tujuan kerja yang tertentu. [1].
Setelah memperoleh gambaran tentang manajemen secara umum
maka pemahaman akan konsep manajemen
pendidikan menjadi lebih mudah. Meskipun prinsip dan fungsi-fungsinya tidak jauh berbeda, manajemen pendidikan adalah unik
dibandingkan dengan manajemen umum disebabkan oleh tujuan pendidikan itu
sendiri. Perbedaan akan terlihat lebih jelas dalam substansi yang dijadikan objek kajiannya yakni
segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah pengelolaan pendidikan. Tidak ada sebuah definisi tunggal
yang diterima secara umum sebagai sebuah definisi manajemen pendidikan. Hal ini disebabkan oleh perkembangannya
yang telah dikembangkan dari bidang disiplin ilmu yang lebih mapan termasuk
sosiologi, ilmu politik, ekonomi dan manjemen umum, dan institusi pendidikan
itu sendiri yang sangat bervariasi. Sehinnga Bush (1995) mendefinisikan manajemen
pendidikan secara sederhana yaitu “sebuah bidang studi dan praktek berkenaan
dengan operasi organisasi-organisasi pendidikan.[2] Namun, Biro Perencanaan Depdikbud, yang
dikutip oleh Sardjana (2010) mendefinisikan dengan lebih luas manajemen
pendidikan dengan mengaitkan dengan tujuan pendidikan nasional Indonesia, yaitu “proses perencanaan, peng-organisasian, memimpin,
mengendalikan tenaga pendidikan, sumber daya pendidikan untuk mencapai tujuan
pendidikan, mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan manusia seutuhnya,
yaitu manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi
pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan, keterampilan, kesehatan jasmani dan
rohani, kepribadian yang mantap, mandiri, serta bertanggung jawab terhadap
kemasyarakatan dan kebangsaan.
Tulisan
ini bertujuan untuk memberi gambaran menyangkut manajemen pendidikan yang
memfokuskan pada asal-usul dan keunikannya.
Sejumlah sumber menunjukkan bahwa
negara Indonesia jauh tertinggal di bandingkan dengan negara-negara lain di
bidang pendidikan. Menyangkut pendidikan Indonesia termasuk Aceh bahkan jauh tertinggal dengan
negara-negara ASEAN. Negeri jiran Malaysia, misalnya, sudah memiliki universitas
terkemukanya seperti University of Malaya yang sering masuk peringkat dua ratus besar dunia.
Ketertinggalan Indonesia diperparah
lagi oleh krisis ekonomi dan moneter yang mencapai puncaknya pada tahun 1998,
yang membuat ekonomi Indonesia sangat terpuruk. Sektor pendidikan merupakan salah
satu sektor paling parah terkena dampaknya. Laporan Bank Dunia yang bertajuk: Eduaction
in Indonesia: From Crisis to Recovery (1999) menyatakan bahwa pendidikan di
Indonesia mengalami krisis manajemen. [3] Hal ini lebih terasa saat-saat pemerintah mencanangkan
desentralisasi dan mengobral kewenangan kepada daerah sedangkan pelaksanaannya
masih berjalan ditempat. Sejalan dengan isu desentralisasi ini Bank Dunia
(1998) merekomendasikan antara lain School Based Management (Manjemen
Bebasis Sekolah) sebagai alternative. Prinsip utama Manajemen Bebasis Sekolah
(MBS) adalah memberi otonomi yang luas kepada pihak kepala sekolah dan pemangku
kepentingannya untuk mengelola sekolah secara lebih mandiri. [4]
Sejumlah literatur manajemen pendidikan
mengindikasikan bahwa ada ketidak beresan dalam praktek manajemen pendidikan di
sekolah-sekolah. Seorang kepala sekolah mengurus semua fungsi manajemen mulai
dari staf, guru, siswa, administrasi, keuangan sampai asrama siswa. Praktek
seperti ini sudah dianggap tidak masanya lagi. Meskipun keberhasilan pengajaran dan
terangkatnya reputasi sekolah dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
kapasitas guru, fasilitas dan input (latarbelakang siswa), sekarang perhatian
kepala sekolah diminta untuk lebih fokus pada pengajaran (teaching and
learning), yang dikenal dengan konsep kepemimpinan pengajaran (instructional
leadership).
Sehubungan
dengan rekomendasi ini, Cheng (1993) mengatakan secara
internasional, peneliti mengambil kesimpulan bahwa kepemimpinan penganjaran (instructional
leadership) yang kuat dipihak kepala sekolah diasosiasikan dengan upaya peningkatan
sekolah yang berhasil.[6]
Oleh karena itu, kepemimpinan pengajaran (instructional
leadership) yang diterapkan melalui tiga fungsi utama yaitu dengan cara mendefinisikan
misi sekolah (defining school’s mission); mengurus pengajaran (managing
instructional program); mengembangkan iklim pembelajaran (developing school
learning climate) sangat direkomendasikan. Sekarang mari kita kembali melihat asal-usul manajemen
pendidikan. [7]
Asal-Usul
Manajemen Pendidikan
Asal usul manajemen pendidikan telah dijelaskan oleh Culbertson (1980),
Bone (1982) dan Huges (1985) yang dikutip oleh Bush (1995). Manajemen
pendidikan mulai diterapkan di Amerika Serikat awal abat ini. Di negara maju seperti Inggris peneliti
lebih mengkonsentrasikan pada manajemen bisnis atau perusahaan ketimbang manajemen
pendidikan. Menurut Bush manajemen pendidikan baru berkembang di
Inggris sekitar tahun 1960an. Akibatnya,
para sarjana di bidang manajemen pendidikan harus mengadopsi pengetahuan
dan model-model dari
disiplin manajemen perusahaan.
We are still guilty of borrowing
perspectives, models, concepts and even theories from the world of industry and
commerce…our understandings of educational management are in the main derived
from a non-educational framework and this is a weakness, both from the
conceptual analysis it enables us to make and in terms of our credibility with
practitioners in schools and colleges. [8]
Glasser dan Straussess yang diungkapkan kembali oleh Bush
(1995) mengutarakan bahwa berdasarkan
observasi dan pengalaman di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi analis dan
praktisi mulai mengembangkan model-model alternative.
Hasilnya, manajemen pendidikan telah menjadi bidang yang mandiri dengan
teori-teorinya sendiri. Manajemen pendidikan merupakan bidang kajian dan
praktek yang berasal dari prinsip-prinsip manajemen yang pertama diterapkan di
bidang industri dan perdagangan terutama di Inggris dan Amerika Serikat. Pada
awalnya model-model industri diterapkan di lingkungan pendidikan. Bush menjelaskan
lebih lanjut, disebabkan
oleh kemajuan penerapannya, menjelang pertengahan 1990an teori-teori utama
manajemen pendidikan merupakan hasil kombinasi, baik dikembangkan dalam konteks
pendidikan atau disesuaikan dari model-model industri untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
khusus lembaga pendidikan.
Lembaga pendidikan juga sangat bervariasi. Antara lain, institusi pendidikan
bervariasi mulai dari sekolah-sekolah dasar yang kecil
yang berlokasi di desa terpencil sampai dengan perguruan tinggi dan
universitas-universitas yang sangat besar yang bertaraf internasional.
Disamping itu, prinsip-prinsip manajemen sekolah adalah relatif, tidak absolut. Menyangkut ukurannya,
keserbasamaan, stabilitas, ketergantungan dan kemewahan sekolah-sekolah berbeda
antara yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, gaya manajemen
sekolah-sekolah tersebut juga berbeda satu sama lain. Hal ini sejalan
dengan apa yang disampaikan Dash (2008) yaitu, seorang kepala sekolah yang sukses pada suatu sekolah
dengan menerapkan teknik-teknik tertentu bisa saja gagal dengan teknik yang
sama di lingkungan sekolah yang lain karena faktor-faktor situasional.[9] Hal ini diperkuat
lagi oleh Bush (1995) dengan menegaskan bahwa sifat masalah yang bervariasi yang dihadapi di
sekolah-sekolah dan perguruan tinggi juga memerlukan pendekatan dan solusi yang
berbeda-beda, karena masing-masing
organisasi pendidikan memiliki keunikannya sendiri.
Keunikan Manajemen
Pendidikan
Manajemen pendidikan berbeda dengan manajemen institusi atau badan usaha
lainnya. Tidak dapat
dibantah bahwa manajemen pendidikan memperhatikan secara serius tujuan
pendidikan. Tujuan pendidikan bukan profit oriented. Secara umum ia bertujuan untuk mendewasakan anak
bangsa menjadi manusia yang berguna untuk dirinya dan lingkungannya. Oleh karenanya, kebanyakan penulis dan
peneliti manajemen pendidikan menekankan pentingnya memperhatikan maksud dan
tujuan pendidikan. Menurut Hallinger & Snidvongs (2008) tujuan utama organisasi bisnis adalah
mencari keuntungan. Ini berbeda sekali dengan kasus sekolah dan lembaga
pendidikan sebagai organisasi. Oleh
karena itu, tidak semua sistim manajemen yang berasal dari lingkungan industri cocok
diterapkan untuk pendidikan. Total Quality Management (TQM) yang terkenal di
bidang bisnis, misalnya, telah dicoba untuk diterapkan bagi lembaga pendidikan
dan sekolah-sekolah. Daya tariknya adalah karena sifat daripada sistim TQM yang
bertujuan secara terus menerus memperbaiki sistim dengan usaha bersama semua
elemen organisasi dan mendapatkan hasilnya, memuaskan pelanggan. Namun, sekarang sistim manajemen ini telah
secara perlahan mulai pudar menyangkut penerapannya di lingkungan sekolah dan
lembaga pendidikan. Kemunduran penerapannya di lingkungan sekolah antara lain
karena kharakteristik khusus daripada sebuah sekolah dan lembaga pendidikan
yang bukan pabrik; pendidikan adalah ‘produk’ tetapi, tidak dapat dilihat;
pelanggannya adalah para murid, orang tua, majikan dan masyarakat; TQM adalah
ketinggalan zaman dalam banyak segi, suatu kemunduran kepada ide-ide yang dikembangkan
lima puluh tahun yang lalu.[10].
Bush (1995) menunjukkan 7 keunikan manajemen
pendidikan:
1.
Tujuan (objectives) lembaga-lembaga pendidikan lebih sulit didefinisikan
ketimbang tujuan perusahaan-perusahaan komersial. Lembaga komersial memiliki
tujuan utama seperti mendiversifikasi produk dan memaksimalkan keuntungan.
Sekolah dan perguruan tinggi dituntut untuk mengembangkan kapasitas personal
individu, menanamkan nilai-nilai yang dianut, menjaga anak-anak dan kaum muda
untuk jangka waktu yang telah ditentukan setiap hari dan mempersiapkan mereka untuk melanjutkan pendidikan ke tahap yang
lebih tinggi atau untuk
memasuki dunia kerja atau, barangkali menjadi penganguran.
2.
Di lembaga pendidikan tujuan (goals) yang telah
ditentukan sangat sulit diukur apakah tujuan-tujuan tersebut telah
dicapai. Di organisasi yang berorientasi keuntungan finansial tercapainya
tujuan atau tidak, bisa diukur dengan ukuran-ukuran keuangan; penjualan sudah
meningkat, keuntungan sudah naik, dividen (keuntungan saham) lebih tinggi.
Sedangkan di lembaga pendidikan penilaian harus ditempuh melalui jangka
panjang, bahkan ada aspek-aspek tertentu yang sulit untuk diukur.
3.
Keberadaan anak-anak dan kaum muda sebagai titik
fokus lembaga pendidikan juga menyumbang kepada ketidakjelasan ini. Murid dan
siswa mungkin dianggap sebagai pelanggan atau output sekolah dan perguruan
tinggi. Sebagai pelanggan disana terdapat ciri-ciri unik. Sebagai peserta di
dalam proses produksi orang muda berbeda secara mencolok dari bahan mentah
komersial dan industri. Peserta didik tidak
bisa diproses, diprogram
atau dimanipulasi. Proses pembelajaran dibangun atas hubungan personal dengan
segala keanehan dan ketidakpastian yang terjadi.
4.
Para manager dan guru di sekolah dan perguruan tinggi
berasal dari latarbelakang profesi yang sama bersama dengan nilai-nilai,
pelatihan dan pengalaman yang dianut bersama. Sebagai profesional guru
mengklaim otonomi di ruangan kelas. Sifat hubungan dengan peserta didik atau
kelompok siswa tidak cocok dengan ketentuan dan supervisi yang ketat,
sebagaimana diberlakukan untuk buruh.
Di samping itu, guru sebagai profesional harus sanggup berpartisipasi dalam
proses pengambilan keputusan, karena komitmen mereka untuk mengimplementasikan
keputusan adalah penting.
5.
Hubungan pelanggan antara guru dan siswa berbeda
dalam banyak aspek dari hubungan profesional lain dengan pelanggan mereka. Guru
memiliki hubungan yang beraturan dan lama dengan para murid; sering beberapa pertemuan seminggu selama
periode beberapa tahun. Hal ini berbeda dengan organisasi komersial yang
mempekerjakan banyak pekerja dan buruh.
6.
Disana ada struktur dan bagian-bagian organisasi baik di
dalam maupun yang bergesekan dengan lembaga pendidikan. Iklim pengambilan
keputusan di sekolah dan perguruan tinggi sangat dipengaruhi oleh sejumlah
organisasi dan kelompok di luar lembaga pendidikan. Ini termasuk politisi,
pejabat dan inspektorat di tingkat nasional dan, untuk beberapa sekolah,
kelompok-kelompok terkait di tingkat daerah, juga orang tua dan kelompok formal
maupun non formal. Disana juga terdapat banyak poin-poin keputusan di
lingkungan sekolah dan perguruan tinggi dan sub-sub unit kerja seperti jurusan,
fakultas dan lain-lain. Pembagian ini membuat sulitnya pendelegasian tanggung
jawab bagi keputusan manajemen di sekolah dan perguruan tinggi.
7.
Banyak manager di sekolah di tingkat SLTP dan SLTA, dan
di perguruan tinggi pada kadar tertentu, tidak memiliki cukup waktu untuk
aspek-aspek manajemen kerja mereka. Di sekolah dasar kebanyakan atau semua staf
adalah guru kelas penuh. Hanya kepala sekolah yang memiliki kesempatan yang agak
lumayan untuk mengurus aktivitas manajemen dan di sekolah-sekolah yang lebih
kecil kepala sekolahnya biasanya guru kelas. Keterbatasan waktu yang tersedia
untuk manajemen berimplikasi signifikan bagi lembaga pendidikan.
Kecuali keunikan-keunikan manajemen lembaga
pendidikan yang tersebut di atas, teori manajemen pendidikan juga memiliki
kharakteristiknya tersendiri. Umumnya teori manajemen pendidikan memiliki tiga
ciri utama (Bush, 2003):
1. Teori-teorinya
lebih condong kepada normative sebab mereka merefleksikan sifat lembaga
pendidikan dan kharakter orang-orang di lingkungan lembaga pendidikan. Sebagai
contoh, ketika keputusan-keputusan yang dibuat dikatakan telah dicapai dengan
mengikuti proses partisipatif, keputusan-keputusan itu mungkin hasil keputusan
normative bukannya analisa dari praktek yang sesunguhnya.
2. Teori-teorinya
condong kepada selective atau memihak, karena fokus aspek-aspek tertentu
lembaga pendidikan yang mengabaikan unsur-unsur lainnya. Namun, sekolah dan
perguruan tinggi terlalu kompleks untuk dianalisa melalui dimensi tunggal.
3. Teori-teori
manajemen pendidikan lebih lazim didasarkan, atau didukung oleh, observasi
atas praktek manajemen di lembaga pendidikan.[11].
Kesimpulan
Hasil penelitian di
sekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang umumnya menggunakan teknik observasi
dikombinasikan dengan perspektif, model, konsep dan teori-teori yang diadopsi
dari manajemen dunia usaha. Kemudian lahirlah model dan teori-teori manajemen
pendidikan yang berdiri sendiri yang berbeda dengan teori-teori manajemen umum.
Setelah konsep manajemen pendidikan ditemukan bukan berarti teori-teorinya bisa
diambil begitu saja untuk diterapkan di perguruan tinggi atau sekolah-sekolah tertentu.
Keunikan manajemen pendidikan itu bukan hanya menyangkut tujuan pendidikan,
yang bukan untuk meningkatkan produksi dan mencari keuntungan sebesar-besarnya,
tetapi juga menyangkut proses pendidikan itu sendiri. Karena jenis, tingkatan,
ukuran, lokasi dan nilai-nilai yang dianut sebuah lembaga pendidikan itu
berbeda-beda, maka penerapan teori manajemen perlu penyesuaian-penyesuaian.
Sebagaimana disinggung sebelumnya sebuah lembaga
pendidikan itu juga dipengaruhi oleh lembaga di sekelilingnya dalam proses
pengambilan keputusan. Sebagian besar lembaga pendidikan terutama yang
berstatus swasta berada di bawah sebuah lembaga induk yang biasanya berbentuk
yayasan berbadan hukum. Sebagian badan pengurus dan pimpinan yayasan mungkin sudah
lupa bahwa mengurus sebuah lembaga pendidikan itu berbeda dengan mengurus
perusahaan yang berorientasi mencari untung. Oleh karena itu, sebaiknya lembaga
pendidikan di bawah yayasan juga kembali dikelola berdasarkan prinsip-prinsip dan
tujuan manajemen pendidikan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia termasuk Aceh
bermasalah dengan pendidikan. Sebagaimana hasil riset Bank Dunia tentang
pendidikan yang mengindikasikan bahwa pendidikan di Indonesia mengalami krisis
manajemen. Oleh karena itu, pemerintah pusat seharusnya ikhlas memberi
kewenangan kepada pemerintah daerah khususnya Aceh termasuk hak-hak pengurusan
pendidikan dan pengelolaan
keuangannya. Pemerintah daerah seharusnya memperhatikan dengan sungguh-sungguh
pendidikan di Aceh yang sedang mengalami krisis yang luar biasa dimana
siswa-siswa kelas III SLTP dan SLTA setiap tahunnya lulus hampir 100% dalam
menempuh ujian nasional. Namun, tingkat kelulusan yang mengesankan ini bukan
mencerminkan mutu pendidikan yang sebenarnya karena kelulusan ini disinyalir penuh
noda dan dosa. Oleh karena itu, pemerintah Aceh harus segera menuntaskan
masalah ini agar kita tidak dianggap tidak bermasalah dengan pendidikan
sehingga tidak perlu bantuan seperti bantuan perbaikan dan keuangan untuk
meningkatkan mutu pendidikan. Pemerintah Aceh diminta sebaiknya tidak menyalah-gunakan
anggaran yang sudah dialokasikan untuk pendidikan.
Menyangkut model manajemen yang baik, recomendasi
Bank Dunia yaitu penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Menyangkut kepemimpinan
kepala sekolah yang baik, teori telah membuktikan bahwa keberpihakan kepala
sekolah kepada urusan akademik apa yang dikenal dengan istilah kepemimpinan
pengajaran (instructional leadership) telah terbukti mendongkrak prestasi siswa
dan reputasi sekolah. Konsep kepemimpinan ini ditempuh dengan menjalankan 3
dimensi utama yaitu mengembangkan visi/misi sekolah bersama dengan semua staf
pengajar dan komite sekolah; mengurus kurikulum dan pengajaran; menciptakan
iklim pembelajaran sesama guru dan mengembangkan profesi mereka. Untuk memaparkan secara rinci konsep
kepemimpinan pengajaran (instructional leadership) diperlukan kajian
tersendiri.
Referensi
[1] Sardjana,
Djadja, Pengembangan Ilmu
Manajemen Pendidikan (2010), http://edukasi.kompasiana.com/2010/03/19/pengembangan-ilmu- manajemen- pendidikan/
[2] Bush, Tony,
Theories
of Educational Management (2nd ed).
London:
Chapman
Publishing, 1995.
[3] The World Bank, Education Sector
Strategy, 1999.
[4] Siahaan, Khairuddin
W, and Nasution, Manajemen Pendidikan
Berbasis Sekolah. Jakarta, Ciputat:
Press Group, 2006, 19-20.
[5] Brookover &
Lezotte, Creating Effective Schools: An in-service
Program for Enhancing School Learning Climate and Achievement. Holmes Beach, Fla.:
Learning Publications, 1982.
[6] Cheng, Y.C,
Profiles of Organizational
Culture
and Effective
Schools.
School Effectiveness
and School Improvement, 4 (2), (1993).
[7] Hallinger, P &
Murphy, J, Assessing
the Instructional
Behavior
of
Principals.
Elementary School Journal, 86, (1985), 217-247.
[8] Bell, L.,
Educational Management:
An Agenda
for the 1990s. Educational
Management
and Administration 19(3), (1991),
136-40.
[9] Dash, Neena, School
Management. Delhi: Nice Printing Press, 2008,
3
[10] Greenwood
and Gaunt, Total Quality Management
for Schools.
London: Redwood Books, 1994.
[11] Bush,
Tony, Theories of Educational Leadership
and Management
(3rd
ed). London: SAGE, 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar