UN
‘Ngapain Dipikirin’
Senin, 5 Mei 2014 09:03 WIB
Oleh Rahmad Nuthihar
PADA
minggu terakhir menjelang Ujian Nasional (UN) ketika saya mengajar di sebuah
Sekolah Menengah Pertama (SMP), ada pernyataan nyeleneh yang seolah-olah
menganggap sepele perihal UN. Siswa-siswa saya tersebut ketika saya tanyakan
tentang persiapan UN, mereka justru menjawab: “UN, ngapain dikirin?” Pernyataan
ini lazim diucapkan oleh siswa SMP kelas IX yang mengikuti UN 2014, pada 5
April ini.
Dari
jawabab/pernyataan yang terkesan asal bunyi itu, tampak para siswa tersebut
memang menyepelekan/menganggap remeh perihal penentu kelulusan mereka untuk
dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi (SMA/SMK/MA
sederajat), di mana para siswanya telah mengikuti UN 2014 pada pertengahan
April lalu.
Boleh
jadi, sikap nyeleneh tersebut di antaranya timbul karena melihat pencapaian
para seniornya yang telah lulus. Sebab, ada di antara senior mereka yang
dulunya malas belajar dan memiliki nilai di bawah rata-rata, justru ketika
mengikuti UN, mereka lulus dengan jalan yang mulus.
Dampaknya,
sikap menyepelekan UN kini melekat pada generasi selanjutnya seperti sikap
siswa-siswa kelas IX sekarang. Sehingga pada saat saya mengajarkan pelajaran
Bahasa Indonesia, ada beberapa siswa yang enggan mengikuti pelajaran. Entah itu
karena profesi yang saya jalani masih berupa program pengalaman lapangan (PPL).
Namun ada juga yang berasumsi bahwa kelulusan mereka itu akan dibantu oleh para
guru atau teman-temannya dari sekolah lain.
Bantuan
dimaksudkan itu tidak lain adalah akan mendapat bocoran jawaban dari guru,
siswa sekolah lain ataupun pihak-pihak tertentu. Padahal, dewan guru sepenuhnya
tidak akan memberi kunci jawaban meskipun siswanya itu terancam tidak lulus.
Mengingat, upaya yang diberikan oleh guru sudah sepenuhnya dijalankan, mulai
dari try out, latihan mengejarkan soal, bahkan motivasi untuk belajar kerap
diberikan kepada siswa ketika proses pembelajaran berlangsung.
Menganggap remeh
Mengikuti
UN dengan tanpa beban bukan berarti menganggap remeh pelajaran yang diujiankan
nantinya. Sikap tenang dan menjauhkan dari stres memang penting saat
mengerjakan soal. Mengingat ujian tersebut menguras energi dan pikiran. Di
samping itu, siswa-siswa sering mengaku, jenuh dan malas membaca soal bahasa
Indonesia yang katanya kalimat di soal itu sangat panjang.
Oleh
sebab itu, kemampuan mereka untuk memahami soal cenderung minim. Pada dasarnya,
soal yang dibuat dalam bentuk multiple choise (pilihan ganda) dalam prinsip
evaluasi pendidikan, bukanlah untuk memudahkan siswa mengerjakan soal. Akan
tetapi, pilihan tersebut tidak lain adalah membuat siswa yang bodoh menjadi
terkecoh dengan pilihan-pilihan yang ditawarkan. Kurangnya kesadaran untuk
belajar secara intens di kalangan siswa menengah pertama merupakan dampak
ketibakberartian UN itu sendiri. Sebagai gambaran, seorang siswa yang tidak
lulus mengikuti UN, ia diperkenankan untuk mengikuti ujian paket B. Tak jauh
berbeda dengan UN, setiap siswa yang lulus paket B juga diperkenankan
melanjutkan ke sekolah jenjang selanjutnya. Hanya saja di beberapa sekolah
unggulan tidak menerima lulusan B.
Akan
tetapi, kenyataanya di Aceh sangat banyak sekolah negeri maupun swasta yang
sedia menampung lulusan paket B. Pilihan lainnya, orang tua siswa lulusan paket
B akan membuat surat pindah ketika ia telah diterima di sekolah sebelumnya ke
sekolah unggulan yang diinginkannya.
Dampak
dari ketidaklulusan UN sendiri selalu dimuarakan ke guru, kepala sekolah, dan
yang sangat disalahkan adalah kepala dinas pendidikan. Ketidakmampuan peran
Dinas Pendidikan dalam hal menjalankan tupoksinya sebagai stakeholder di dunia
pendikan menjadi bumerang baginya. Untuk menghindarkan dan menutupi
kejelekannya, ada Dinas Pendidikan di kabupaten tertentu yang menghalalkan
berbagai cara untuk meluluskan siswa tersebut. “Serangan fajar” misalnya, siswa
dimintakan hadir di pagi buta dan para guru yang telah mengerjakan soal di
malam hari, lalu memberikan jawaban ke siswanya.
Hal
ini dilakukan oleh kepala sekolah agar posisinya sebagai orang nomor satu di
sekolah tersebut tidak terlengser. Kepala dinas pendidikan pun demikian. Ia
tidak mau dianggap orang yang tidak berkompeten dalam hal menjalankan
tupoksinya. Maka membentuk tim yang diketuai oleh kepala sekolah dalam mencari
jawaban adalah alternatif yang menurutnya tepat.
Ada
peribahasa Aceh mengatakan: Keudè tan pangkai pakriban tameukat (kedai tak
bermodal, bagaimana berjualan). Dalam konteks pendidikan, peribahasa tersebut
bermakna bahwa “orang yang tak berilmu pengetahuan, bagaimana hendak
mengajar/mendidik orang lain.”
Peribahasa
tersebut mengajarkan kepada kita agar orang yang menduduki peran penting di
suatu instansi pemerintah haruslah benar-benar mampu menguasai medannya (ranah)
kerjanya. Sebagai contoh, saat ini di Kabupaten Aceh Barat, misalnya, Kepala
Dinas Pendidikan dijabat oleh seorang lulusan Fakultas Hukum (Sarjana Hukum).
Di samping itu, kegiatan Kepala Dinas Pendidikan Aceh Barat pun dilaksanakan
oleh pelaksana harian (PLH) yang juga memiliki jabatan kepala Bapedda Meulaboh.
Layakkah
hal demikian? Mengapa tidak digantikan saja oleh sekretaris ataupun pejabat
bewenang, haruskah orang yang selalu ‘dekat’ dengan penguasa diberi tugas
tambahan ini? Kenyataanya PLH ini sendiri punya keterbatasan, terutama ia tidak
dapat mengambil keputusan tertentu yang ada kalanya memang urgen dilakukan.
Kecurangan UN
Terakhir
menurut hemat saya, dalam pelaksanaan UN ini sendiri akan banyak sekali
kecurangan. Pengawas idependen, pengawas sekolah, aparat kepolisian bahkan
penjaga kantin, telah ikut andil dalam kecurangan UN. Tak ada lagi ujian yang
berlangsung secara jujur. Jika Anda memang berani, tolong tempatkan polisi
sesudah shalat Shubuh di sekolah! Pastikan ruangan sekolah steril dari
bentuk-bentuk kecurangan dan juga tidak ada siswa-siswa menggadakan jawaban!
Larang siswa membawa atau memasukkan HP ke ruang ujian. Kemudian, kamar mandi
sekolah mohon dikunci, saat UN berlangsung. Toh di sana ada titipan dari
seseorang yang menentukan ia lulus tidaknya UN.
Semoga
saja, sekarang dan di masa-masa yang akan datang tidak ada lagi pernyataan: “UN
ngapain dipikirin?”. Selamat UN
* Rahmad Nuthihar, Guru PPL di
SMP Negeri 13 Banda Aceh, dan Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Fakultas
Keguruan dan Imu Pendidikan (FKIP), Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda
Aceh. Email: rahmad.nuthihar@gmail.com
Mengapa
UN Dikawal Ketat?
Senin, 5 Mei 2014 08:58 WIB
Oleh Harri Santoso
SETELAH
Ujian Nasional (UN) bagi siswa sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) pada 14
April lalu, kini tiba giliran UN untuk pelajar sekolah lanjutan tingkat pertama
(SLTP). Sebagaimana UN tingkat SMA/SMK/MA sederajat yang telah digelar itu,
maka kali ini pun pihak keamanan dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia
(Polri) kembali memberikan pengamanan pelaksanaan UN bagi siswa SMP/Mts
sederajat, baik di tingkat pusat, daerah dan kota di seluruh Indonesia,
termasuk di Aceh.
Tak
ketinggalan pihak Ombudsman Perwakilan Aceh, juga membentuk tim khusus untuk
mengawasi pelaksanaan UN agar tidak terjadi kecurangan baik sebelum maupun pada
saat pelaksanaan UN. Bagi penulis, kondisi ini sungguh memprihatinkan, sebab UN
adalah hajatan yang dilakukan oleh kaum-kaum intelektual untuk melihat dan
mengevaluasi sejauhmana perkembangan dan hasil yang telah didapatkan para
peserta didik selama tiga tahun baik di tingkat SLTA maupun SLTP.
Jika
yang terjadi adalah besarnya kasus kecurangan terhadap pelaksanaan UN, baik
yang dilakukan oleh pihak sekolah maupun siswa, hal ini telah menunjukan bahwa
pendidikan kita memiliki masalah besar. Terlepas dari perlukah UN dilaksanakan
menurut hemat penulis kejadian ini telah mengindikasikan bahwa sistem
pendidikan kita telah gagal membentuk manusia dan masyarakat berperadaban,
ketidakpercayaan pemerintah terhadap penyelenggara pendidikan dalam hal ini
sekolah-sekolah dan krisis percaya diri baik pada guru dan peserta ajar.
Gagalnya Sisdiknas
Menurut
Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas),
menyebutkan bahwa sistem pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sejak
pelaksanaan UN menerapkan angka minimal kelulusan, maka sejak saat itu pula
banyak sekali kasus kecurangan yang terjadi seperti yang terjadi di Kota
Surabaya, seorang anak diberikan peran oleh gurunya untuk membantu teman-teman
sekelasnya dengan cara memberikan kunci jawaban yang benar, kasus pembocoran
soal ujian, pemberian kunci jawaban oleh oknum guru dan sekolah kepada siswanya
hingga kasus yang baru saja terjadi yaitu seorang remaja berperan sebagai joki
ujian (Media Indonesia, 2014).
Jika
kita kaji lebih dalam perilaku curang, joki atau membantu siswa untuk bisa
lulus dengan cara pemberian bocoran jawaban adalah simbol bahwa insan
pendidikan kita tidak memiliki ketaqwaan kepada Tuhan YME sehingga mereka
melakukan segala hal untuk dapat lulus dan meluluskan siswanya meskipun dengan
cara yang tidak benar sehingga jangan heran jika perilaku ini berlanjut maka
kita akan melihat di bidang-bidang lain seperti politik, sosial dan ekonomi
masyarakat Indonesia telah menjadikan perilaku curang dalam berbagai bentuknya
telah menjadi budaya kita.
Sebagai
contoh, kasus manipulasi suara di dunia politik, manipulasi data untuk penerima
bantuan sosial hingga spekulasi harga di bidang ekonomi adalah sebagai bukti
bahwa sistem pendidikan kita telah gagal melahirkan manusia Indonesia yang
bertanggung jawab dan berakhlak mulia.
Selanjutnya,
sistem pengawalan berlapis yang dilakukan pihak pemerintah baik Kemendikbud,
Kepolisian dan unsur masyarakat lain terhadap jalannya proses pelaksanaan UN
2014 menunjukan bahwa adanya ketidakpercayaan Pemerintah terhadap kredibilitas
kejujuran pihak penyelenggara sekolah.
Hal
ini tentu saja mengkhawatirkan masyarakat dan penulis, jika hari ini masyarakat
telah apatis terhadap kejujuran para politisi atau bidang-bidang yang terkait
dengan politik, ternyata pada saat yang sama kita juga sudah tidak mempercayai
para pendidik kita dan anak kita. Oleh karenanya bagi guru dan praktisi
pendidikan serta orang-orang yang peduli terhadap dunia pendidikan, jangan
menganggap remeh permasalahan ini.
Mari
mencari jalan keluar untuk menjadikan insan-insan pendidik di Indonesia
khususnya Aceh kembali di percaya oleh masyarakat. Terkait dengan ini penulis
teringat dengan sebuah tulisan Citizen Reporter yang dimuat harian ini pada 8
November 2013 tulisan yang di tulis oleh seorang mahasiswa Aceh yang sedang belajar
di St Olaf College Northfield Minnesota, Amerika Serikat, diceritakan oleh
beliau bahwa di kampus ini dosen dan pengawas tidak diizinkan untuk berada
dalam ruangan saat mahasiswa mengikuti ujian.
Dan
uniknya ketika beliau mengikuti ujian tidak ada satu orang pun yang beranjak
dari kursinya atau bertanya kesana kemari untuk menyelesaikan ujian mereka.
Tidak ada kecurangan di dalamnya, mereka mampu menanamkan nilai kejujuran
kepada semua mahasiswa sehingga tidak kita temui fenomena yang terjadi hari ini
di masyarakat kita, lantas apakah kita harus menunggu dan pasrah terhadap
keadaan ini?
Beberapa kasus
Dalam
beberapa pemberitaan baik media massa atau pun “kabar burung” yang penulis
dengar di tengah masyarakat, ada beberapa kasus seperti pemberian kunci jawaban
oleh oknum guru, siswa dan warga sekolah lainnya. Ini menunjukan bahwa guru
tidak mempercayai bahwa dirinya telah berusaha maksimal terhadap proses
pengajaran di sekolah sehingga merasa perlu untuk “membantu” siswa dengan cara
memberikan kunci jawaban.
Selanjutnya
murid-murid yang saling memberikan kunci jawaban menunjukan bahwa mereka tidak
percaya terhadap kemampuan dirinya sendiri sehingga mereka memerlukan bantuan
orang lain meskipun bantuan itu dilarang dalam aturan. Ketidakpercayaan
terhadap diri yang diikuti lemahnya moral serta keyakinan terhadap Tuhan YME
memicu orang untuk melakukan hal apa saja sepanjang tujuan mereka tercapai.
Oleh
karena itu, penulis berharap pemerintah dan masyarakat pendidikan mampu
mengevaluasi dan mengambil hikmah dari apa yang telah terjadi hari ini, yaitu
kejujuran adalah barang langka dan kecurangan adalah sebuah keharusan di negeri
ini. Namun penulis yakin bahwa proses pendidikanlah yang mampu meletakkan
manusia dalam derajat yang paling tinggi, yaitu manusia pintar dan jujur yang
senantiasa patuh dan taat terhadap norma yang ada di masyarakat.
* Harri Santoso, S.Psi, M.Ed., Dosen Psikologi
Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), dan Direktur Eksekutif Yayasan Peduli
Penyandang Disabilitas Aceh. Email: harri_uma81@yahoo.com
Ket. Opini ini diambil Koran Serambi Indonesia edisi senin tanggal 5 Mei 2014