Kamis, 23 Januari 2014



DARI MENEJER MENJADI PEMIMPIN PENGAJARAN:
PERUBAHAN PERAN KEPALA SEKOLAH


Syarwan Ahmad

     (Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry)

Instructional leadership is a concept in which principal’s management emphases on academic or instructional improvement. It is the principal leadership siding with academic affairs. Conventionally, school principals play the role as managers or administrators. Whereas the role of instructional leadership is delegated to other parties such as vice principal for curriculum affairs. Most educators and scholars agree that instructional leadership needs to be practiced if effective schools are to be realized. To be an instructional leader, it is necessary for a principal to have expertise in curriculum, instruction and assessment. Since most principals lack of skills on instructional leadership  practices,  instructional leadership training for principals   is  badly needed.
Kata kunci:  Kepemimpinan Pengajaran; Kepemimpinan Instruksional;  Perubahan Peran Kepala Sekolah. 

Pendahuluan
            Telah sering kita dengar bahwa kepala sekolah melakonkan banyak peran dalam satu hari, menjadi menejer, pengatur, pemimpin pengajaran dan pemimpin kurikulum. Merupakan tindakan yang wajar kalau kepala sekolah harus menyulap antara berbagai peran ini. Sering, lebih banyak perhatian diberikan kepada tugas-tugas administratif dan manajerial. Sedangkan  tugas kepemimpinan pengajaran biasanya didelegasikan kepada pihak lain sesuai dengan hirakhi administratif. Sesungguhnya urusan utama sekolah adalah belajar mengajar. Peran pemimpin sekolah sebagai pemimpin pengajaran (instructional leader) merupakan konsep yang relatif  baru yang muncul di awal 1980an yang meminta kepada perubahan fokus manajemen kepala sekolah, dari kepala sekolah sebagai menejer atau pengatur menjadi pemimpin pengajaran atau pemimpin akademik, atau sering juga disebut dengan istilah pemimpin instruksional. Perubahan ini banyak dipengaruhi oleh penelitian yang menemukan bahwa sekolah-sekolah efektif biasanya memiliki kepala sekolah yang menekankan pentingnya kepemimpinan pengajaran yang dalam bahasa Inggris sering disebut dengan istilah instructional leadership.[1] Kemudian, pada paruh pertama 1990an, “perhatian terhadap kepemimpinan pengajaran sedikit goyah, diganti oleh pembahasan-pembahasan menyangkut MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) dan kepemimpinan fasilitatif (facilitative leadership)”.[2] Baru-baru ini, kepemimpinan kepala sekolah telah kembali difokuskan  pada standar akademik.
            Sementara sebagian besar para sarjana pendidikan akan setuju bahwa kepemimpinan pengajaran sangat mendesak dalam perwujudan sekolah-sekolah efektif. Sayang, hal itu jarang dipraktekkan. Contohnya, diantara banyak tugas yang dijalankan kepala sekolah, hanya 10 % waktu didedikasikan bagi pelaksanaan kepemimpinan pengajaran.[3] Bahkan sampai sekarang, para pemimpin sekolah terus mencari keseimbangan dalam peran mereka sebagai menejer dan pemimpin pengajaran. Menarik untuk diperhatikan, diantara alasan yang dikemukakan kenapa penekanan kurang diberikan pada kepemimpinan pengajaran adalah karena kurangnya pelatihan yang mendalam untuk peran kepala sekolah sebagai pemimpin pengajaran, tidak cukupnya waktu untuk menjalankan aktivitas pengajaran (instructional activities), meningkatnya kertas kerja dan harapan masyarakat bahwa peran kepala sekolah adalah sebagai menejer.[4]
  1. Mendefinisikan Kepemimpinan Pengajaran
            Kepemimpinan pengajaran berbeda dari tugas kepala sekolah sebagai pengatur atau menejer dalam banyak hal. Para kepala sekolah yang membanggakan diri mereka sebagai menejer biasanya terlalu fokus dengan tugas–tugas administratif yang ketat dibandingkan dengan kepala sekolah yang berperan sebagai pemimpin pengajaran. Peran yang terakhir melibatkan penentuan tujuan-tujuan (goals) yang jelas, pengalokasian sumberdaya untuk pengajaran (instruction), pengurusan kurikulum, pemantauan rencana pembelajaran (lesson plans), dan evaluasi para guru. Singkat kata, kepemimpinan pengajaran adalah aksi-aksi yang seorang kepala sekolah lakukan, atau delegasikan kepada oaring lain, untuk meningkatkan pembelajaran siswa.[5] Pemimpin pengajaran memprioritas atau mengutamakan kualitas pengajaran sebagai prioritas utama sekolah dan berusaha untuk mewujudkan visi itu menjadi kenyataan. Menurut Hoy dan Hoy sekolah-sekolah dibangun untuk proses belajar mengajar, kegiatan lainnya hanya merupakan penunjang bagi terlaksananya kegiatan belajar mengajar dengan baik.[6]  
            Sekarang, definisi kepemimpinan pengajaran telah meluas kepada keterlibatan yang lebih dalam ke urusan utama persekolahan, yaitu belajar mengajar. Perhatian telah berubah dari mengajar ke pembelajaran, dan sebagian orang telah mengusulkan istilah “pemimpin pembelajaran” sebagai pengganti "pemimpin pengajaran." [7] The National Association of Elementary School Principals mendefinisikan kepemimpinan pengajaran sebagai "memimpin komunitas belajar".[8] Konsep komunitas belajar adalah para staf (guru) bertemu secara regular untuk mendiskusikan pekerjaan mereka, bekerja bersama-sama untuk memecahkan masalah, berefleksi tentang pekerjaan mereka, dan bertanggungjawab terhadap apa yang mereka pelajari. Mereka beroperasi dalam jaringan keahlian yang saling berbagi dan melengkapi bukannya dalam hirarkhi atau isolasi. Orang di dalam komunitas belajar “memiliki masalah” dan menjadi agen-agen bagi solusinya. Pemimpin pengajaran juga memprioritaskan pembelajaran sesama guru; menentukan harapan-harapan yang tinggi; menciptakan budaya belajar yang terus menerus bagi guru dan menggalang dukungan komunitas untuk keberhasilan sekolah. Blase dan Blase, mengekpresikan kepemimpinan pengajaran dengan tingkah laku khusus seperti memberi saran-saran, memberi masukan (feedback), menawarkan model pembelajaran yang efektif, meminta pendapat, mendukung kolaborasi, menyediakan kesempatan pengembangan profesional, dan memberi penghargaan atau pujian atas pengajaran yang efektif. [9] Hallinger menyarankan kepala sekolah sebagai pemimpin pengajaran menciptakan lingkungan sekolah dimana guru dapat mengajar lebih efektif dan siswa dapat belajar lebih baik.[10] Fidler berargumen bahwa kepemimpinan pengajaran merupakan “kepemimpinan kurikulum” sebab menurutnya kepala sekolah adalah pihak yang paling tepat untuk mengkoordinasi, mengintegrasikan, mengimplementasikan dan mensupervisi program pengajaran agar dapat memastikan hasil (outcomes) apa yang diharapkan tercapai.[11]    
  1. Pengetahuan dan Pemimpin Pengajaran  
            Terkandung di dalam konsep seorang pemimpin pengajaran adalah gagasan dimana  pembelajaran harus diprioritaskan, sementara semua yang lain berkisar pada peningkatan pembelajaran yang tidak dapat disangkal merupakan kharakteristik dari usaha pendidikan manapun. Dengan demikian untuk memiliki kredibilitas sebagai pemimpin pengajaran, kepala sekolah harus juga guru yang mengajar (practicing teacher). Contohnya, di Inggris, kebanyakan kepala sekolah menghabiskan rata-rata 20% dari waktu mereka di dalam seminggu untuk mengajar.[12] Para pemimpin pengajaran perlu mengetahui apa yang berlangsung di ruangan kelas; menyaksikan langsung proses pembelajaran. Sering, para kepala sekolah tidak berkomunikasi dengan apa yang terjadi di tingkat ruangan kelas dan tidak sanggup mengantisipasi beberapa masalah yang guru dan siswa hadapi. Manfaatnya adalah untuk menyorot isu-isu pengajaran dari perspektif ketika mereka menjadi guru. Para kepala sekolah perlu bekeja lebih dekat dengan siswa, mengembangkan teknik dan metode pembelajaran sebagai alat untuk mengetahui perspektif guru dan untuk membangun dasar yang di atasnya keputusan-keputusan kurikulum dirumuskan. Juga, seorang kepala sekolah yang mengajar memperkuat keyakinan bahwa "satu-satunya maksud persekolahan adalah untuk melayani kebutuhan pendidikan siswa."[13] Whitaker mengidentifikasikan empat keahlian penting kepemimpinan pengajaran.[14]
  • Pertama, mereka harus menjadi penyedia sumber belajar (resource provider). Tidak cukup bagi kepala sekolah hanya mengetahui kekuatan dan kelemahan para guru mereka, tetapi juga harus menyediakan sumber belajar, mengakui bahwa guru menginginkan untuk diakui dan dihargai apa yang mereka telah kerjakan dengan baik.
  • Kedua, mereka harus menjadi sumber pengajaran (instructional resource). Guru menganggap kepala sekolah mereka sebagai sumber informasi tentang tren-tren terkini dan pelaksanaan pengajaran yang efektif. Pemimpin pengajaran adalah memahami isu-isu yang berhubungan dengan kurikulum, strategi-strategi pedagogik dan evaluasi yang efektif. 
  • Ketiga, mereka harus menjadi komunikator yang baik (good communicators). Pemimpin pengajaran yang efektif perlu mengkomunikasikan selogan-selogan penting seperti semboyan bahwa semua anak bisa belajar dan tidak ada yang tertinggal.
  • Akhirnya, mereka perlu menciptakan a visible presence. Mengarahkan program pengajaran sebuah sekolah berarti komitmen bagi menghidupkan dan menghembuskan visi sukses di dalam mengajar dan belajar. Ini termasuk memfokuskan tujuan pembelajaran (learning objectives), model pembelajaran (modeling behaviors of learning), dan merancang program dan aktivitas pengajaran.
Di banyak Negara sementara secara umum kepala sekolah dipandang sebagai menejer-pengatur bukan pemimpin pengajaran, termasuk di Malaysia, kepala sekolah condong menjadi lebih sebagai menejer-pengatur, sementara tugas sebagai pemimpin pengajaran sangat sering didelegasikan kepada wakil kepala sekolah bidang kurikulum/akademik. Bahkan, julukan ‘pemimpin pengajaran’ jarang diberikan kepada satu orang tetapi dianggap menjadi tanggungjawab semua guru. Namun, menarik untuk dicatat bahwa kecendrungan mengarah kepada penuntutan bahwa kepala sekolah memainkan peran utama sebagai pemimpin pengajaran. Akan menjadi tugas berat meyakinkan kepala sekolah untuk melepaskan citra mereka sebagai menejer dan mengambil peran sebagai pemimpin pengajaran. Umumnya, para kepala sekolah tidak menganggap mereka sendiri sebagai pemimpin pengajaran dan banyak diantara mereka percaya bahwa apapun yang berhubungan dengan belajar mengajar cara terbaik adalah ditugaskan kepada guru. Dalam banyak hal, kepala sekolah merasa tidak mampu untuk mengambil inisiatif dan mengembangkan program-program pengajaran karena keragaman bidang studi yang diajarkan yang masing-masing pelajaran memiliki keunikan pedagogis tersendiri. Sebagai contoh, mengajar membaca berbeda dengan mengajar sains dan akan tidak adil mengharapkan kepala sekolah untuk berpengatahuan tentang strategi pembelajaran untuk tiap-tiap mata pelajaran. Terlepas dari kekhawatiran ini, yang mendukung ide bahwa kepala sekolah harus menjadi pemimpin pengajaran, mendapat perhatian serius. Jika demikian halnya lalu kepala sekolah perlu memutakhirkan pengetahuan mereka di tiga wilayah pendidikan, yaitu; kurikulum, pengajaran dan penilaian (assessment).
  • Menyangkut kurikulum, kepala sekolah perlu mengetahui tentang konsepsi kurikulum yang terus berubah, falsafah dan norma-norma bidang pendidikan, fragmentasi dan spesialisasi pengetahuan, sumber kurikulum dan konflik menyangkut kurikulum, evaluasi kurikulum dan perbaikannya.
  • Menyangkut pengajaran, kepala sekolah perlu mengetahui tentang model-model pembelajaran yang berbeda, alasan teoritis mengadopsi model pembelajaran tertentu, pedagogi internet, teori-teori pembelajaran yang didukung oleh teknologi.
  • Menyangkut penilaian (assessment), kepala sekolah perlu mengetahui tentang prinsip-prinsip penilaian siswa, prosedur penilaian dengan penekanan pada metode-metode penilaian alternatif dan penilaian yang bertujuan untuk memperbaiki ketimbang membuktikan pembelajaran siswa.
Menekankan tiga wilayah pengetahuan ini, adalah pemahaman yang mendalam menyangkut bagaimana manusia belajar. Rasanya tidak berlebih-lebihan untuk disarankan bahwa seorang kepala sekolah tidak sepenuhnya siap jika ia tidak memiliki mengetahuan yang mendalam menyangkut bagaimana manusia belajar.[15] Urusan utama sekolah adalah pembelajaran, dan penelitian terbaru bidang kognitif telah menghasilkan pengetahuan yang cukup memadai tentang pembelajaran manusia. Penting bagi kepala sekolah untuk mengetahui dan memahami teori-teori ini sehingga mereka bisa berfungsi sebagai nara sumber dalam meningkatkan efektivitas pengajaran. Miskinnya pengetahuan kepala sekolah tentang pembelajaran manusia akan menjadi sulit bagi mereka untuk menjelaskan dan menjastifikasi sokongan teoritis terhadap strategi pembelajaran yang dipraktekkan. Selanjutnya, bersama dengan semakin pentingnya teknologi di sekolah-sekolah, kepala sekolah perlu dibekali dengan pengetahuan menyangkut integrasi teknologi ke dalam pembelajaran. Semakin dipandangnya kepala sekolah sebagai pemimpin yang memberi inspirasi kepada guru untuk mengadopsi pedagogi-pedagogi inovatif ke dalam ruangan kelas. Contohnya, jika beberapa siswa tidak sanggup membaca dan menulis di tingkat SLTP, kepala sekolah sebagai pemimpin pengajaran harus mengambil langkah-langkah untuk meringankan masalah  dengan membantu metode pembelajaran guru, mengalokasi sumber daya dan bahan, sering mengunjungi ruangan kelas, memberi masukan (feedback) menyangkut metode dan teknik mengajar dan menggunakan data untuk memberi perhatian pada peningkatan pengajaran dan kurikulum.[16]     
  1. Ketrampilan dan Pemimpin Pengajaran
            Disamping berpengetahuan di bidang-bidang utama pendidikan,  kepala sekolah musti memiliki ketrampilan tertentu untuk menjalankan tugas-tugas sebagai pemimpin pengajaran. Ketrampilan-ketrampilan ini adalah ketrampilan antarpribadi (interpersonal skills), ketrampilan perencanaan (planning skills), ketrampilan observasi pengajaran (instructional observation skills), dan ketrampilan-ketrampilan di bidang Penelitian dan evaluasi.
  • Ketrampilan interpersonal atau ketrampilan berhubungan/berkomunikasi dengan orang (people skills) sangat diperlukan demi keberhasilan seorang kepala sekolah. Ini adalah ketrampilan yang menjaga kepercayaan, memacu motivasi, memberdayakan dan meningkatkan kolegalitas. Hubungan dibangun atas kepercayaan dan tugas-tugas diselesaikan dengan pemberian motivasi dan pemberdayaan dimana guru terlibat dalam perencanaan, perancangan dan evaluasi program-program pengajaran. Pemberdayaan mengarah kepada kebangkitan rasa memiliki dan komitmen sebagai guru untuk mengidentifikasi masalah dan merancang strategi-strategi mereka sendiri. Kolegalitas mempromosikan saling tukar pikiran/pengalaman (sharing), kerjasama dan kolaborasi, yang di dalamnya kepala sekolah dan guru membicarakan tentang belajar-mengajar.
  • Perencanan mulai dengan pengidentifikasian tujuan (goals) atau visi (vision) yang jelas untuk bekerja terus dan juga merangsang tumbuhnya komitmen dan antusiasme. Selanjutnya adalah menilai perubahan apa yang perlu terjadi dan yang mungkin  bisa diselesaikan dengan meminta orang-orang terlibat, dengan membaca dokumen-dokumen dan mengamati apa yang sedang terjadi.
  • Mengobservasi pengajaran (supervision) bertujuan untuk menyediakan guru masukan-masukan (feedback) apa yang harus dipertimbangkan dan direfleksikan. Tetapi guru sebaiknya membuat keputusan-keputusan mereka sendiri dan mendapatkan kesimpulan mereka sendiri.
  • Ketrampilan penelitian dan evaluasi diperlukan untuk mempertanyakan secara kritis keberhasilan program-program pengajaran yang diprakarsai dan salah satu ketrampilan yang paling berguna adalah Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research).
Tugas menjadi pemimpin pengajaran adalah komplek dan multidimensi. Jika kepala sekolah yakin bahwa peningkatan pembelajaran siswa merupakan tujuan utama persekolahan, lalu itu menjadi sebuah tugas yang sangat berguna untuk dipelajari. Jika seorang kepala sekolah memiliki pengetahuan dan ketrampilan-ketrampilan ini dia lebih mungkin menjadi pemimpin-pemimpin yang efektif – yang berbagi (sharing), memfasilitasi (facilitating), dan memberi arahan bagi keputusan-keputusan menyangkut peningkatan pengajaran demi kemajuan pendidikan siswa.

  1. Kesimpulan
            Jika kepala sekolah mengambil peran sebagai pemimpin pengajaran secara serius, mereka harus membebaskan diri dari tugas-tugas birokrasi dan fokus pada usaha mereka terhadap peningkatan belajar-mengajar. Peningkatan pembelajaran adalah suatu tujuan (goal) penting,  untuk diraih, dan suatu tujuan ketika diimplementasikan, membuat siswa dan guru mengontrol tujuan mereka sendiri dalam menciptakan suasana pembelajaran yang lebih berarti. Brewer mengusulkan bahwa peran kepala sekolah sebagai pemimpin pengajaran diperluas untuk berpindah dari "manajemen" (bekerja dalam system tugas administrasi) ke "kepemimpinan" (bekerja pada sistim) dan itu disebut dengan ‘kepemimpinan pengajaran’.[17] Untuk menggapai tujuan ini, akan memerlukan lebih dari seorang kepala sekolah yang kuat dengan ide-ide nyata dan keahlian teknis. Kita memerlukan definisi ulang peran kepala sekolah, yang memindahkan halangan-halangan menuju kepemimpinan (leadership) dengan cara memangkas struktur-struktur birokrasi dan menemukan kembali hubungan-hubungan.
            Singkat kata, "peran yang berbeda secara dramatis" dari pada kepala sekolah sebagai menejer menjadi pemimpin pengajaran disorot oleh Brewer, sebagai “seseorang yang perlu memfokuskan pengajaran; menciptakan komunitas belajar; berbagi dalam pengambilan keputusan; mempertahankan aturan-aturan dasar-dasar; meluangkan waktu untuk urusan pembelajaran; mendukung pengembangan profesi untuk semua staff; mengarahkan kembali sumber daya untuk mendukung rencana sekolah yang beraneka ragam; dan menciptakan iklim integritas, penelitian, dan peningkatan yang terus-menerus.”
            Banyak literatur menyangkut kepemimpinan pengajaran memiliki kesamaan yaitu mengklaim ada tiga dimensi utama yang harus dijalankan kepala sekolah dalam melaksanakan kepemimpinan pengajaran, yaitu merumuskan visi/misi sekolah; mengurus kurikulum; menciptakan iklim pembelajaran sesama guru.
            Berdasarkan sumber-sumber yang dapat diakses dapat didefinisikan kepemimpinan pengajaran (instructional leadership) sebagai kepemimpinan kepala sekolah yang memihak kepada pengajaran atau kepemimpinan yang memperhatikan secara serius urusan akademik. Menurut Halingger, untuk menjalankan kepemimpinan pengajaran kepala sekolah diminta untuk menjalankan 10 fungsi berikut: merumuskan visi misi sekolah dan mensosialisasikannya, mengkoordinasikan kurikulum, mensupervisi dan mengevaluasi pengajaran, memonitor kemajuan siswa, melindungi waktu untuk pengajaran, memberi insentif untuk guru, menyediakan insentif untuk siswa, menjaga visibilitas yang tinggi dan mempromosikan pengembangan profesi.[18]   Karena kebanyakan kepala sekolah tidak memiliki pengetahuan yang memadai menyangkut kepemimpinan pengajaran, pelatihan bagi kepala sekolah untuk mendapat pengetahuan dan ketrampilan menyangkut kepemimpinan pengajaran sangat mendesak untuk dilaksanakan.    



DAFTAR PUSTAKA
Blase, J. dan Blase Jo., “Effective Instructional Leadership: Teachers’ Perspectives on How          Principals Promote Teaching and Learning in Schools,” Journal of Educational Administration 38(2), (2000), hal. 130-41.
Brewer, H., “Ten Steps to Success,” Journal of Staff Development 22(1), (2001), hal.30-31.
Brookover, W. B., & Lezotte, L., Creating Effective Schools, (Holmes Beach, FL: Learning           Publication, 1982).
DuFour, Richard, “The Learning-Centered Principal,” Educational Leadership 59(8), (2002),        hal. 12-15.
Fiddler, F.E., “School Leadership: Some Keys Ideas,” School Leadership and Management          17(1), (1997), hal. 23-37.
Flath, B., “The Principal as Instructional Leader,” ATA Magazines 69(3), (1989), hal.19-22.
Fullan, M., The New Meaning of Educational Change, (New York: Teachers College Press,           1991).
Hallinger, P., “School Leadership That Makes a Difference: Lessons from 30 Years of       International Research,” (Rome: Ministry of Education, October 4, 2012), diakses dari:         Philiphalinger.com/instructional-leadership-2/
Hallinger, P., L. Bickman & K. Davis, “School Context, Principal Leadership, and Student           Reading Achievement,” The Elementary School Journal 96(5), (1996), hal.527.
Hallinger, P & Murphy, J., “Assessing the instructional behavior of principals,” Elementary           School Journal, 86, (1985), 217-247.
Harden. G., “The Principal as Leader Practitioner,” The Clearing House 62(2), hal. 87-88.
Hoy A.W & Hoy W.K, Instructional Leadership: A Research Based Guide to Learning in             Schools, (Boston: Pearson, 2009).
Lashway, L. , “Developing Instructional Leaders,” ERIC Digest 160 (Juli), (Clearinghouse on       Educational Management, University of Oregon, 2002).
Mendez-Morse, S., “The principal’s Role in The Instructional Process: Implications for At-Risk    Students,” Issues About Change 1(2), (1991), hal.1-5.
National Association of Elementary School Principals, Leading Learning Communities:     Standards for What Principals Should Know and Be Able to Do, (Alexandria, Virginia, 2001).
Phillip, J.A., Manager-Administrator to Instructional Leader: Shift in The Role of The School       Principal [artikel jurnal on-line], diakses 23 April, 2013 dari:    Peoplelearn.homestead.com/principalInstructleader.
Stronge, J. H., “A Position in Transition?” Principal 67(5), (1988), hal.32-33.
Weindling, D., “The Secondary School Head Teacher: New Principals in The United         Kingdom,” National Association of Secondary School Principals Bulletin 74(526),           (1990), hal.40-45.
Whitaker, B., “Instructional Leadership and Principal Visibility,” The Clearinghouse 70(3),           (1997), hal.155-156.



[1] Brookover, W. B., & Lezotte, L., Creating Effective Schools, (Holmes Beach, FL: Learning Publication, 1982).
[2] Lashway, L. , “Developing Instructional Leaders,” ERIC Digest 160 (Juli), (Clearinghouse on Educational Management, University of Oregon, 2002).
[3] Stronge, J. H., “A Position in Transition?” Principal 67(5), (1988), hal.32-33.
[4] Fullan, M., The New Meaning of Educational Change, (New York: Teachers College Press, 1991).
[5] Flath, B., “The Principal as Instructional Leader,” ATA Magazines 69(3), (1989), hal.19-22.
[6]  Hoy, A.W & Hoy, W. K, Instructional Leadership: A Research Based Guide to Learning in Schools, (Boston: Pearson, 2009).
[7] DuFour, Richard, “The Learning-Centered Principal,” Educational Leadership 59(8), (2002), hal. 12-15.
[8] National Association of Elementary School Principals, Leading Learning Communities: Standards for What Principals Should Know and Be Able to Do, (Alexandria, Virginia, 2001).
[9] Blase, J. dan Blase Jo., “Effective Instructional Leadership: Teachers’ Perspectives on How Principals Promote Teaching and Learning in Schools,” Journal of Educational Administration 38(2), (2000), hal. 130-41.

[10] Hallinger, P., L. Bickman & K. Davis, “School Context, Principal Leadership, and Student Reading Achievement,” The Elementary School Journal 96(5), (1996), 527.
[11] Fiddler, F.E., “School Leadership: Some Keys Ideas,” School Leadership and Management 17(1), (1997), 23-37.
[12] Weindling, D., “The Secondary School Head Teacher: New Principals in The United Kingdom,” National Association of Secondary School Principals Bulletin 74(526), (1990), hal.40-45.
[13] Harden. G., “The Principal as Leader Practitioner,” The Clearing House 62(2), hal. 87-88.
[14] Whitaker, B., “Instructional Leadership and Principal Visibility,” The Clearinghouse 70(3), (1997), hal.155-156.

[15] Phillip, J.A., Manager-Administrator to Instructional Leader: Shift in The Role of The School Principal [artikel jurnal on-line], diakses 23 April, 2013 dari: Peoplelearn.homestead.com/principalInstructleader.
[16] Mendez-Morse, S., “The principal’s Role in The Instructional Process: Implications for At-Risk Students,” Issues About Change 1(2), (1991), hal.1-5.

[17] Brewer, H., “Ten Steps to Success,” Journal of Staff Development 22(1), (2001), hal.30-31.

[18] Hallinger, P & Murphy, J., “Assessing the instructional behavior of principals”,   Elementary School Journal, 86, (1985), 217-247.

Senin, 20 Januari 2014

PERAN WANITA DALAM ISLAM
Oleh
Suriani, S. Ag



BAB I
PENDAHULUAN

            Kondisi wanita pada masyarakat kuno sungguh sangat memprihatinkan, tidak mempunyai kebebasan, tertindas dan terdzalimi, bahkan tidak dianggap sebagai makhluk manusia, tetapi hanya seonggok najis yang dapat dicampakkan dan dibuang sesuai keinginan.  Mereka dianggap malapetaka dan aib yang dapat menghancurkan martabat dan kewibawaan suku, dengan menguburkan dan membakarnya hidup-hidup dianggap sebagai pahlawan penyelamat ummat dari kemerosotan moral. 
            Islam turun menuntun kepada jalan keselamatan.  Wanitapun merasakan keagungan Islam dengan diangkat derajatnya. Wanita memanfaatkan kebebesan itu sebagai lahan mencari ridha Allah, Tuhan semesta alam, pembebas manusia dari kedzaliman.
            Sejarah telah mencatat betapa banyak wanita muslimah yang telah memainkan peran dan ikut andil dalam menyebarkan agama Allah dengan mengorbankan seluruh harta benda serta jiwa dan raganya. Tidak dapat diragukan peran wanita ini menjadikan sumber ilmu pengetahuan sebagai tolak ukur serta uswatun hasanah bagi generasi penerus ummat.
            Untuk mendapatkan kejelasan terhadap uraian di atas, maka penulis akan menuangkan pembahasannya melalui makalah ini tentang Peran Ideal Wanita dalam Islam.  Dalam mendapatkan informasi dan data-data terhadap penulisan makalah ini, penulis menelaah berbagai bahan dan sumber melalui kajian pustaka dengan mengoleksi dan menganalisa terhadap buku-buku yang terkait dengan makalah tersebut.


BAB II
STATUS PEREMPUAN DALAM SEJARAH

A.    Perempuan dalam masyarakat kuno
            Dihampir  setiap  pojok  dunia yang berpenghuni, masyarakat  zaman  lampau  menganggap  status  perempuan  lebih  rendah daripada  status laki-laki. Di Athena, status perempuan disamakan dengan status budak, istri-istri dipingit di rumah, tidak memiliki pendidikan dan tidak memiliki hak apapun. Di Roma kuno, posisi hukum perempuan betul-betul rendah, pertama menjadi bawahan ayahnya atau saudara laki-lakinya, untuk kemudian menjadi  bawahan suami yang memegang kendali atas istrinya.
Di negeri Persia hukuman tidak diterapkan melainkan bagi wanita. Bahkan apabila kesalahan dilakukan terus menerus oleh seorang wanita, maka tiada halangan untuk menyembelihnya. Tatkala haid, wanita di usir ke tempat yang jauh dari kota dan tidak boleh berhubungan dengan siapapun..
Dalam masyarakat China pada umumnya manusia hidup dalam kerusakan dan kebiadaban. Masyarakat lebih dekat kepada masyarakat binatang daripada masyarakat manusia. Mereka berzina tanpa tabu dan malu, sehingga banyak anak-anak yang di ketahui ibunya , akan tetapi tidak di ketahui siapa bapaknya.
Nasib para wanita di Negeri India tidak lebih baik daripada di Yunani ataupun Romawi meskipun negeri ini punya kelebihan dalam hal pengetahuan dan kemajuan sejak dahulu. Wanita selalu dibebani sebagai budak bagi ayah, suami dan anak-anaknya. Pada umumnya masyarakat India memiliki keyakinan bahwa wanita adalah sumber kesalahan dan penyebab kemunduran akhlak maupun mental. Sehingga mereka mengharamkan wanita dalam hak-hak pemerintahan dan warisan. Bahkan mereka tidak memiliki hak hidup setelah suaminya mati, sehingga dia harus mati di hari kematian suaminya dan di bakar hidup-hidup bersama suami dalam satu tempat pembakaran.
Adapun wanita dalam pandangan agama Nasrani digambarkan sebagai biang dari kemaksiatan, akar dari kejahatan dan dosa. Wanita adalah salah satu pintu jahanam bagi laki-laki, karena merekalah yang mendorong dan membawa laki-laki untuk berbuat dosa. Itulah pandangan mereka dalam satu sisi. Pada sisi lain mereka memiliki pemahaman bahwa berhubungan badan antara laki-laki dan perempuan adalah najis sekalipun telah menikah. Sehingga mereka memandang bahwa hidup sebagai biarawati lebih terpuji.
Sementara wanita dalam pandangan Arab jahiliah tidak jauh beda dengan  wanita-wanita dalam pandangan Roma, Yunani, Yahudi dan Nasrani. Kondisi wanita pada bangsa Arab sebelum Islam berada dalam puncak kehinaan sehingga sampai pada keterbelakang, kemunduran, dan kelemahan yang sudah tidak layak lagi di sandang oleh makhluk yang bernama manusia. Mereka tidak berhak atas warisan, dan tidak mengenal batas untuk menikah. Seorang wanita boleh digauli sampai sepuluh laki-laki, setelah hamil dan melahirkan laki-laki itu di panggil kembali untuk di pilih siapa yang berhak menerima atau yang mirip dengan anak tersebut. Di antara adat jahiliyah Arab yang paling buruk adalah mengubur anak perempuan hidup-hidup, karena untuk menjaga kehormatan dan takut mendapat aib serta kemiskinan. Begitulah kondisi kaum wanita masa lampau di seluruh Negara sebelum datang cahaya Islam.[1]

B. Status Perempuan Menurut Islam
            Islam memelihara wanita dengan penuh perhatian yang menyeluruh, meninggikan kedudukannya, mengkhususkan dengan kemuliaan dan kebaikan. Islam adalah agama yang pertama sekali menetapkan bahwa laki-laki dan wanita diciptakan dari asal yang satu, karena itu laki-laki dan perempuan dari sisi kemanusiaan kedudukannya sejajar. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً -١
Artinya:”Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari jiwa yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan pasangannya dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki    dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan   silaturrahim.   Sesungguhnya  Allah  selalu  menjaga  dan  mengawasi kamu”.    (An-Nisa’: 1)

         Sejak awal Islam telah menempatkan bahwa perempuan sama dengan laki-laki dalam masalah kemampuan dan kedudukan. Islam tidak mengurangi sedikitpun haknya sebagai perempuan. Perintah dalam Islam tidak sebatas memelihara hak wanita dalam kehidupan saja, tetapi Islam menganjurkan untuk berbuat baik kepada mereka yang masih kecil. Rasul bersabda,”siapa yang dikaruniai anak perempuan dan ia berbuat baik, maka mereka akan menjadi tirai (selamat) dari neraka”. Rasulullah Saw juga memerintahkan untuk mengajari wanita sebagaimana sabdanya,”Siapa saja lelaki yang mempunyai putri lalu mengajarinya dan baik pengajarannya, lalu mengajarkan adab-adab dan baiklah adabnya ….maka baginya dua pahala….[2]
           Dari penjelasan tersebut, Islam telah menetapkkan wanita mempunyai otoritas harta secara tersendiri dan sempurna sebagaiman lelaki. Baginya hak untuk menjual dan membeli, menyewa dan menerima bayaran, mewakilkan dan menghibahkan, tidak ada larangan atas semua itu selagi mempunyai kemampuan dan mengerti. Demikianlah seorang muslimah yang terhormat hidup mendapatkan kemuliaan yang suci dalam naungan pengajaran dan peradaban Islam yang paripurna.[3]

 
BAB III
PERAN IDEAL PEREMPUAN DALAM ISLAM

A. Peran Istri-Istri Rasulullah dalam Islam
1. Khatijah Binti Khuwailid
           Di dalam dunia Islam. Khatijah bin Khuwailid di kenal, sebagai wanita terhormat, seorang pengusaha multinasional yang sangat cerdas dan agung serta dijuluki Ath-Tahirah, yakni yang bersih dan suci. Rasulullah Saw, membuat empat buah garis seraya berkata: Tahukan kalian apakah ini?, mereka menjawab: Allah dan  Rasulnya lebih mengetahui. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya wanita ahli surga yang paling utama adalah Khatijah binti Khuwailid. Fatimah binti Muhammad saw, Maryam binti ‘Imran dan Asiyah binti Mazahi”.[4]
           Selama bertahun-tahun Khatijah mendampingi Muhammad saw, membina keluarga yang penuh ketentraman dan kebahagiaan. Salah satu sumbangan paling penting Khatijah untuk memajukan Islam adalah penentraman hati yang dia berikan kepada Nabi saw saat beliau pertama kali menerima wahyu melalui malaikat Jibril di Gua Hira’. Itu adalah pengalaman yang membuat Nabi saw diliputi rasa gugup dan menggigil ketakutan. Ketika  pulang, beliau masih diliputi oleh perasaan takut dan ketika masuk ke rumah  beliau minta kepada Khatijah untuk menyelimutinya dengan kain. Setelah beberapa saat, ketika mental beliau sudah tenang kembali, beliau menceritakan seluruh pengalaman itu kepada Khatijah, dengan mengungkapkan rasa takut bahwa jiwanya terancam. Khatijah langsung menyakinkan dan menenangkannya dengan mengatakan,”itu tidak mungkin. Tuhan pasti tidak akan pernah meninggalkanmu. Kamu berbuat baik kepada sanak keluargamu, selalu membantu kaum lemah, menghibur hati orang yang keletihan, selalu menyambut siapa saja yang datang ke rumahmu, dan mengatakan hal yang benar.[5]
            Begitu juga pengorbanan beliau bersama Rasul, tatkala orang-orang Quraisy mengumumkan pemboikotan mereka kepada kaum muslimin untuk menekan dalam bidang politik,ekonomi, dan kemasyarakatan dan mereka tulis naskah pemboikotan tersebut kemudian mereka tempel pada dinding ka’bah, Khatijah tidak ragu untuk bergabung dengan kaum muslimin bersama dengan kaumnya Abu Thalib dan beliau tinggalkan kampung halaman, kemewahan, dan beliau sumbangkan seluruh hartanya untuk perjuangan suaminya tercinta. Sungguh Khatijah telah mengorbankan segalanya demi tegaknya agama Allah sampai akhir hayat dalam usia 65 tahun.
            Ya Allah ridhailah Khatijah binti Khuwailid, As-Sayyidah At-Thahirah. Seorang istri yang setia dan tulus, mukminah mujahidah di jalan diennya dengan seluruh apa yang dimilikinya dari pembendaan dunia. Semoga Allah memberikan balasan yang paling baik karena jasa-jasanya terhadap Islam dan kaum muslimin.

2.  Sa’udah binti Zum’ah ra
Dia adalah ummul mukminin Saudah bintu Zama’ah bin Qois bin Abdu Syams bin Abdu Wudd Al-Amiriyyah ra. Ibunya adalah Syamusy bintu Qois bin Zaid An-Najjariiyyah. Dia adalah wanita yang dinikahi oleh Rasulullah saw sepeninggal Khadijah ra, kemudian menjadi istri satu-satunya bagi Rasulullah saw sampai Rasulullah saw masuk berumah tangga dengan Aisyah. Dia termasuk golongan wanita yang agung dan mulia nasabnya. Tergolong para wanita yang cerdas akalnya. Perawakannya tinggi dan besar.
Ketika Saudah sudah tua Rasulullah berniat hendak mencerainya, maka Saudah berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah janganlah Engkau menceraikanku. Bukanlah aku masih menghendaki laki-laki, tetapi karena aku ingin dibangkitkan dalam keadaan menjadi istrimu, maka tetapkanlah aku menjadi istrimu dan aku berikan hari giliranku kepada Aisyah.” Maka Rasulullah mengabulkan permohonannya dan tetap menjadikannya salah seorang istrinya sampai Rasulullah meninggal.
Sebagai seorang janda, Saudah merasa mendapat kehormatan dan kemuliaan besar menjadi istri Rasulullah. Ia merawat putri Rasulullah Ummu Kaltsum dan Fatimah Al-Zahra dengan baik layaknya anak sendiri. Sedangkan Zainab Dan Rukayyah saat itu sudah menikah. Saudah memiliki kelembutan, tutur kata yang baik dalam menyelesaikan urusan rumah tangga. Setelah beberapa bulan tinggal bersama kelurga Rasulullah, turun wahyu Allah yang memerintahkan Rasul supaya menikahi Aisyah (putri Abubakar) dalam usianya 10 tahun dengan mas kawin 500 dirham. Namun sebelumya Rasul telah bertunangan ketika Aisyah berusia 6 tahun.
Sebagai istri yang berpegalaman, tidak ada kecemburuan sedikitpun kepada Aisyah sekalipun Rasul membuat kamar bersebelahan dengannya. Bahkan Saudah sering membantu urusan Aisyah. Saudah termasuk deretan istri-istri Rasulullah yang menghafal dan menyampaikan sunnah-sunnah Rasulullah. Hadis-hadisnya diriwayatkan oleh para imam yang terkemuka seperti Ahmad, Bukhari, Abu Dawud dan Nasai. Saudah meninggal di akhir kekhilafan Umar di Madinah tahun 54 Hijriyah. Sebelum dia meninggal, dia mewasiatkan rumahnya kepada Aisyah. Semoga Allah meridhainya dan membalasnya dengan kebaikan yang melimpah.[6]

3.  Aisyah Binti Abu Bakar
Aisyah adalah isteri Nabi saw yang paling dicintai oleh beliau diantara isteri-isterinya. Ayah Aisyah adalah Abu bakar Sidiq yang merupakan sahabat Rasulullullah tatkala berada dalam gua dan teman dalam menyebarkan dakwah serta menyertainya saat berhijrah. Allah Taala telah menganugerahinya dengan segala hal yang didambakan wanita dalam kehidupan ini, yaitu tubuh yang mulus, wajah yang cantik dan mempesona serta kepintaran yang luar biasa.  Beliau dinikahi oleh Rasulullah saw atas perintah dari Allah sebagai penghibur setelah wafatnya Khatijah, sesudah mengawini Saudah.
Dalam kehidupan berumah tangga inilah Aisyah menjadi guru bagi setiap wanita di seluruh alam sepanjang sejarah.  Beliau adalah sebaik-baik isteri yang bergaul dengan suaminya, mendatangkan kebahagian di hati suami dan menyingkirkan apa yang menyusahkannya takkala berdakwah di jalan Allah. Aisyah seorang perempuan yang sangat cerdas diantara isteri-isteri Nabi saw dan jauh lebih muda daripada Nabi saw kira-kira 50 tahun .  Dengan kemampuan daya ingatnya yang luar biasa, dia dapat terus menyampaikan secara detail segala hal  yang telah dipelajari dari Nabi saw selama hubungan akrab mereka.  Tak mengherankan setengah abad dia dapat menjalankan peran yang sangat informative (menjadi radio perekam yang hidup untuk ummat).  Tidak hanya wanita yang menjadi muridnya tetapi juga kaum lelaki menimba ilmu darinya, seperti Abdullah ibnu Abbas seorang sahabat yang sangat terkenal dan salah satu mufassir terbaik.  Begitu juga banyak sahabat dan tabiin lainnya yang memperoleh pengetahuan agama dari seorang perempuan muslim.[7]
            Setelah Rasulullah saw meninggal, Ummu Mukminin semakin berperan dalam kehidupan kaum muslim. Diantaranya, keterlibatannya dalam mendakwahkan agama Allah dengan melaksanakannya periwayatan Rasul, menjawab berbagai persoalan kaum wanita dan mengajari mereka dengan berbagai persoalan agama. Termasuk para sahabat ikut meminta nasehat dari beliau seperti Umar bin Khatab, tatkala Abu Lu’lu’ orang Majusi hendak menusuknya dengan tombak.  Umar merasa dia akan berpisah dengan dunia dan mengatakan pada anaknya pergilah ke rumah Aisyah dan mintalah izin kepadanya agar aku dikuburkan bersama Rasulullah saw dan Abubakar. Aisyah menjawab silahkan, itu merupakan sebuah kehormatan dan sampaikan salamku kepada Umar.[8]
Demikian peran Aisyah yang begitu besar dalam dunia Islam, yang tercatat kira-kira 2210 hadist yang diriwayatkannya dan turut mengisi lembaran sejarah hingga beliau wafat pada malam selasa 17 Ramadhan 57 Hijrah disaat beliau berumur 66 tahun.[9]

4.  Hafsah Bin Umar  
            Beliau adalah putri dari Umar bin Khattab, seorang sahabat  agung yang melalui perantaraan beliaulah Islam memiliki wibawa. Hafsah adalah seorang wanita yang masih muda dan berparas cantik, bertakwa dan termasuk wanita yang disegani. Beliau juga istri Nabi saw yang sangat berjasa dalam Islam.
            Hafsah mengisi hidupnya sebagai seorang ahli ibadah, rajin saum dan juga shalat. Manakala Rasulullah saw telah menghadap Allah dan Abubakar menggantikan beliau menjadi khalifah, maka Hafsahlah satu-satunya wanita yang di percaya di antara ummahatul mukminin termasuk Aisyah di dalamnya, untuk menjaga mushaf Al-Qur’an yang menjadi pedoman seluruh umat Islam di dunia.
            Hafsah wafat pada masa Mu’awiyah bin Abu Sufyan setelah memberikan wasiat kepada saudaranya yang bernama Abdullah dengan wasiat yang telah diwasiatkan oleh ayahnya. Semoga Allah meridhai beliau karena beliau telah menjaga Al-Qur’an Al-Karim, dan beliau adalah wanita yang di sebut jibril sebagai shawwamah da qauwwamah dan istri Nabi saw di jannah.[10]

5.  Zainab Binti Khuzaimah
Diantara para istri Nabi, nama Zainab binti Khuzaimah bukanlah nama yang terkenal. Beliau hanya menikmati kebersamaan bersama Nabi dalam rentang waktu yang sangat pendek. Hanya beberapa bulan, tidak sampai setengah tahun. Setelah suaminya, Abdullah bin Jahsy, gugur di Medan Uhud, Rasulullah menyuntingnya pada 4 H. Dengan mahar 400 dirham, sahlah pernikahan mulia itu. Pada saat itu, istri Rasulullah adalah Saudah, Aisyah dan Hafshah, putri dua sahabat beliau. Yang mengherankan, kehadirannya sebagai orang kesekian dalam rumah tangga itu tidak membuat istri-istri Rasullulah sebelumnya cemburu. Kerendahan hati Zainab dan ketidak-inginannya bersaing dengan istri Rasulullah sebelumnya membuat segalanya menjadi tenang. Beliau senantiasa mengisi waktunya dengan shalat dan beribadah dan tentunya sedekah.
“Bakatnya” menjadi seorang dermawan semakin terasah demi melihat budi pekerti Nabi yang jauh lebih dermawan. Rasa sayang Zainab bintu Khuzaimah kepada kaum fakir miskin semakin menguat. Bagaimana tidak, setiap saat ia menyaksikan kasih sayang yang memancar deras dari hati Rasulullah, beliau selalu menekankan kepada segenap kaum muslimin agar bershodaqah kepada orang-orang miskin hingga mencapai tahap itsar (mendahulukan kebutuhan orang lain daripada kebutuhan sendiri).
Disebut sebagai Ibunda rakyat miskin atau ummul masakin, bukan lain karena beliau sangat penyantun terhadap orang miskin. Sifat belas kasih dan dermawan serta kebiasaan menyantuni fakir miskin sudah ada bahkan sejak sebelum masuk islam. Setelah islam menyinari hatinya, jiwa penyantunnya semakin bersinar. Ditambah lagi, di saat awal-awal islam, rata-rata yang masuk adalah kalangan bawah dari strata sosial. Hal ini membuat beliau semakin bersemangat memberi segala yang beliau miliki. Namun, beliau tidak lama merasakan kebahagian rumah tangga Nabi. Allah memanggilnya hanya beberapa bulan setelah pernikahan. Rasulullah teramat sedih dengan wafatnya Zainab. Ada kemiripan yang dimiliki Zainab dengan Khadijah. Pertemuan ini demikian singkat sehingga Imam adz-Dzahabi menyatakan, bahkan beliau tak sempat meriwayatkan satu hadits pun dari Nabi. Beliau adalah istri Rasulullah yang meninggal di Madinah untuk pertama kalinya. Rasulullah menguburkannya di Baqi’.
Kebersamaan beliau dengan Nabi sebagai istri memang sebentar. Akan tetapi kebersamaan beliau dengan Islam sudah sangat lama. Beliau termasuk as sabiqunal awalun, yang pertama kali masuk islam. Kelompok pelopor dakwah islam yang dipuji Allah dalam firman-Nya :
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” (At-Taubah : 100)

Dua gelar paling mulia untuk wanita di dunia didapatkannya. Ummul Masakin, Ibunda orang-orang miskin. Sebuah gelar yang menyiratkan kasih sayang seorang ibu kepada golongan lemah. Gelar yang melambangkan kedermawanan yang tulus.[11]

6.  Ummu Salamah
Dia adalah wanita yang suci, berhijab, dan terhormat. Terkenal cerdas, pandai, memiliki pandangan tajam, dan pemahaman yang  mendalam. Namanya Hindun binti Abu Umayyah bin Mughirah. Berasal dari keluarga yang mulia dan terpandang dari Bani Makhzum. Ayahnya adalah seorang tokoh Quraisy yang dikenal sangat dermawan dan pemurah. Hindun adalah sepupu pedang Allah, Kholid bin Walid. Sekaligus sepupu Abu Jahal bin Hisyam.  Dia termasuk wanita yang pertama kali hijrah. Sebelum menjadi istri Nabi SAW, ia menikah dengan saudaranya yang shalih, Abu Salamah bin Abdul Asad Al Makhzum. Pernikahannya dikarunia putra dan putri: Zainab, Salamah, Umar, dan Durrah.
Dalam Perang Badar, Abu Salamah ra. menjadi salah satu pahlawan. Setahun kemudian, terjadi Perang Uhud dan Abu Salamah terkena anak panah dan mengalami luka yang serius. Namun selang beberapa waktu, pada awal Muharram tahun 4 Hijriah,  Rasulullah menunjuk Abu Salamah untuk memimpin pasukan Sarriyah  melawan kabilah Arab yang mencoba menyerang kaum muslimin. Abu Salamah dan pasukannya berhasil membawa kemenangan. Tapi luka saat Perang Uhud kambuh sehingga tak lama setelah itu ia meninggal dunia. Ummu Salamah ra. Pernah terlibat dalam beberapa peristiwa yang menunjukkan kecerdasan pikiranya.  Salah satu peristiwa tersebut terjadi dalam kasus Hudaibiyah. Dalam peristiwa tersebut, terjadi perjanjian damai antara Nabi SAW dan kaum musyrikin Mekkah. Salah satu pasal perjanjian menyatakan bahwa jika ada orang dari kalangan musyrik Mekkah yang datang kepada Nabi (untuk bergabung), maka Nabi harus menolak dan mengembalikannya kepada kaum musyrik. Sebaliknya, jika ada seorang muslim yang ingin bergabung dengan kaum musyrik maka kaum musyrik boleh menerimanya.
Hal ini membuat para sahabat Nabi merasa sangat sedih dan kecewa. Bahkan, Umar bin khattab memprotes keputusan Rasulullah. Ia menanyakan mengapa pihak muslimin bersedia direndahkan kaum musyrik. Rasulullah hanya menjawab, “Sesungguhnya aku adalah utusan Allah dan aku tak mungkin mendurhakaiNya. Allah akan menolongku.” Namun Umar tak puas dengan jawaban tersebut.
Setelah selesai menandatangani perjanjian damai dengan kaum musyrik Rasulullah berkata kepada para sahabatnya untuk menyembelih hewan kurban dan bercukur rambut. Namun, saat itu tidak ada satupun sahabat yang berdiri dan melaksanakan perintah beliau, padahal Rasul mengulangi perintahnya sebanyak tiga kali. Ketika melihat gejala itu, Rasul masuk kemah dan menemui Ummu Salamah. Beliau menceritakan kejadian tersebut kepadanya. Ummul Mukminin faham bahwa suaminya sedang membutuhkan masukkan untuk mencari solusi.
Di sinilah Ummu Salamah menggunakan perannya dengan sangat baik. Wanita cerdas dan berpikiran matang ini menyelamatkan para sahabat dari berbuat durhaka kepada Rasulullah. Dia berkata, “Wahai Nabi Allah, apakah engkau ingin para sahabatmu mengerjakan perintahmu? Keluarlah, dan jangan berbicara dengan siapapun sebelum engkau menyembelih hewan kurbanmu dan memanggil pencukur untuk mencukur rambutmu.
”Perhatikan bahasa Ummu Salamah. Dimulai dengan sebuah pertanyaan agar Rasulullah sempat berfikir sejenak, baru kemudian melanjutkan menyampaikan sarannya. Beliau sangat memahami kondisi psikologis Rasulullah yang siap mengubah sikapnya, apabila arah pandangan perempuan (istrinya tersebut) lebih benar. Rasulullah pun mengikuti saran Ummu Salamah. Beliau keluar tanpa bicara dengan siapapun sampai menuntaskan semua yang  disarankan istrinya. Ketika para sahabat melihat beliau melakukannya, maka mereka langsung bangkit. Mereka menyembelih hewan kurban masing-masing dan mencukur rambut sesama mereka. Berkat pandangan Ummul Mukminin, Ummu Salamah,  para sahabat selamat dari bermaksiat kepada Nabi. Dan perjanjian Hudaibiyah berakhir dengan Fathu Mekkah. Kemenangan kaum muslimin.
Sebagian besar perempuan percaya pada pemikiran bahwa musyawarah dan memberikan usul menunjukkan pada perhatian dan kepeduliannya. Inilah salah satu bentuk keteladanan bahwa kecerdasan dan kebijakan seorang Istri dalam menyampaikan pendapat bisa memperbesar keyakinan dan kekuatan suami.[12]

7.  Zainab Binti Jahsy
Dia adalah Ummul Mu’minin, Zainab bintu Jahsy bin Riab bin Ya’mar bin Shabirah bin Murrah Al-Asadiyyah. Ibunya adalah Umaimah bintu Abdul Muthallib bin Hasyim, bibi Rasulullah dari pihak ayahnya. Sebelum Nabi saw. menikah dengan Zainab binti Jahsy, putri bibinya Amimah binti Abdul Muthalib itu adalah istri anak angkatnya Zaid bin Haritsah. Proses pernikahan mereka, Allah abadikan di dalam surat Al Ahzab ayat: 37, yaitu:



وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَن تَخْشَاهُ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَراً زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَراً وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولاً -٣٧-
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu Menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan diasupaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinyadan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi”. (QS. Al-Ahzab: 37)           
Maka Allah nikahkan Zainab dengan Nabi-Nya melalui nash Kitab-Nya tanpa wali dan tanpa saksi. Dan Zainab biasa membanggakan hal itu di hadapan Ummahatul Mukminin (istri-istri Nabi) yang lain, dengan mengatakan, “Kalian dinikahkan oleh Allah dari atas Arsy-Nya.” (Diriwayatkan oleh Zubair bin Bakar dalam Al-Muntakhob min Kitab Azwajin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 1:48 dan Ibnu Sa’d dalam Thabaqah Kubra, 8:104-105 dengan sanad yang shahih). Aisyah berkata, “Zainab binti Jahsyi yang selalu menyaingiku di dalam kedudukannya di sisi Rasulullah, tidak pernah aku melihat wanita seperti Zainab dalam hal kebaikan agamanya, ketaqwaannya kepada Allah, kejujurannya, silaturrahimnya, dan banyaknya shadaqahnya.”[13]

8.  Juwairiyah Binti al-Harits
Juwairiyah dilahirkan empat belas tahun sebelum Nabi hijrah ke Madinah, sebelum memeluk islam beliau bernama Burrah. Nama lengkapnya adalah Juwairiyah binti al-Harits bin Abi Dhiraar bin Habib bin Aid bin Malik bin Judzaimah bin Musthaliq bin Khuzaah. Ayahnya, al-Harits, adalah pemimpin kaumnya yang masih musyrik dan menyembah berhala sehingga Juwairiyah dibesarkan dalam kondisi keluarga seperti itu. Tentunya dia memiliki sifat dan kehormatan sebagai keluarga seorang pemimpin. Dia adalah gadis cantik yang paling luas ilrnunya dan paling baik budi pekertinya di antara kaumnya. Kemudian dia menikah dengan seorang pemuda yang bernama Musafi’ bin Shafwan. Dibawah komando al-Harits bin Abi Dhiraar, orang-orang munaflk berniat menghancurkan kaum muslimin. Al-Harits sudah mengetahui kekalahan orang-orang Quraisy yang berturut-turut oleh kaum muslimin. Al-Harits beranggapan, jika pasukannya berhasil mengalahkan kaum muslimin, mereka dapat menjadi penguasa suku-suku Arab setelah kekuasaan bangsa Quraisy. Al-Harits menghasut pengikutnya untuk memerangi Rasulullah dan kaum muslimin. Akan tetapi, kabar tentang persiapan penyerangan tersebut terdengar oleh Rasulullah, sehingga beliau berinisiatif untuk mendahului menyerang mereka.
Dalam penyerangan tersebut, Aisyah r.a. turut bersama Rasulullah, yang kemudian meriwayatkan pertemuan Rasulullah dengan Juwairiyah setelah dia menjadi tawanan. Perang antara pasukan kaum muslimin dengan Banil-Musthaliq pun pecah, dan akhirnya dimenangkan oleh pasukan muslim. Pemimpin. mereka, al-Harist, melarikan diri, dan putrinya Juwainiyah tertawan di tangan Tsabit bin Qais al-Anshari. Begitu mengetahui dirinya menjadi tawanan, Juwairiyah mengajukan keinginannya untuk membebaskan diri kepada Tsabit dan Rasulullah saw.
Rasulullah kemudian membuat Juwairiyah tercengang, namun wajahnya berseri-seri. Betapa tidak, selain Rasulullah sendiri yang akan membayar tebusan, Rasulullah pun melamarnya. Dengan senyuman, Juwairiyah menerima pinangan Rasulullah, lalu memeluk Islam. Mendengar putrinya berada dalam tawanan kaum muslimin, al-Harits bin Abu Dhirar mengumpulkan puluhan unta dan dibawanya ke Madinah untuk menebus putrinya. Sebelum sampai di Madinah dia berpendapat untuk tidak membawa seluruh untanya, dan menyembunyikan dua ekor unta yang terbaik. Lalu dia pergi ke Madinah dan menemui Rasulullah. Maka Nabi saw bersabda:"Bagaimana pendapatmu seandainya anakmu disuruh memilih diantara kita, apakah anda setuju?. "Baiklah", katanya. Kemudian ayahnya mendatangi Juwairiyah dan menyuruhnya untuk memilih dirinya dengan Rasulullah maka Juwairiyah menjawab,"Aku memilih Allah dan Rasul-Nya."
Setelah itu Rasul menanyakan perihal dua ekor unta yang disembunyikan. Mendengar pertanyaan itu Al Harits langsung terperangah, hatinya terguncang hingga tampak bingung. Lalu ia berkata, "Demi Allah, kau benar-benar utusan Allah. Tak ada yang tahu masalah ini selain Allah." Ia lalu masuk Islam, dan secara serentak diikuti seluruh kaumnya. Setelah Rasulullah Saw meninggal dunia, Juwairiyah mengasingkan diri serta memperbanyak ibadah dan bersedekah di jalan Allah dengan harta yang diterimanya dari Baitul-Mal. Ketika terjadi fitnah besar berkaitan dengan Aisyah, dia banyak berdiam diri, tidak berpihak ke mana pun. Juwairiyah wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan sekitar tahun 56 H, pada usianya yang keenam puluh. Dia dikuburkan di Baqi’, bersebelahan dengan kuburan istri-istri Rasulullah yang lain. Semoga Allah rela kepadanya dan kepada semua istri Rasulullah Saw.[14]

9. Ummu Habibah
Ummu Habibah dilahirkan tiga belas tahun sebelum kerasulan Muhammad. Dengan nama Ramlah binti Shakhar bin Harb bin Uinayyah bin Abdi Syams. Ayahnya dikenal dengan sebutan Abu Sufyan. Ibunya bernama Shafiyyah binti Abil Ashi bin Umayyah bin Abdi Syams, yang merupakan bibi sahabat Rasulullah, yaitu Utsman bin Affan r.a.. Sejak kecil Ummu Habibah terkenal memiliki kepribadian yang kuat, kefasihan dalam berbicara, sangat cerdas, dan sangat cantik. Dalam perjalanan hidupnya, Ummu Habibah banyak mengalami penderitaan dan cobaan yang berat. Setelah memeluk Islam, dia bersama suaminya hijrah ke Habasyah. Di sana ternyata suaminya murtad dari agama Islam dan beralih memeluk Nasrani. Suaminya kecanduan minuman keras, dan meninggal tidak dalam agama Islam.
Dalam kesunyian hidupnya, Ummu Habibah selalu diliputi kesedihan dan kebimbangan karena dia tidak dapat berkumpul dengan keluarganya sendiri di Mekah maupun keluarga suaminya karena mereka sudah menjauhkannya. Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya dalam kesedihan terus-menerus. Ketika mendengar penderitaan Ummu Habibah, hati Rasulullah sangat tergerak sehingga beliau rnenikahinya dan Ummu Habibah tidak lagi berada dalam kesedihan yang berkepanjangan. Hal itu sesuai dengan firman Allah bahwa: Nabi itu lebih utama daripada orang lain yang beriman, dan istri-istri beliau adalah ibu bagi orang yang beriman.
Keistimewaan Ummu Habibah di antara istri-istri Nabi lainnya adalah kedudukannya sebagai putri seorang pemimpin kaum musyrik Mekah yang memelopori pertentangan terhadap dakwah Rasulullah dan kaum muslimin, yaitu Abu Sufyan. Setelah Rasulullah wafat, Ummu Habibah hidup menyendiri di rumahnya hanya untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Dalam kejadian fitnah besar atas kematian Utsman bin Affan, dia tidak berpihak kepada siapapun. Bahkan ketika saudaranya, Mu’awiyah bin Abu Sufyan berkuasa, sedikit pun dia tidak berusaha mengambil kesempatan untuk menduduki posisi tertentu. Dia juga tidak pernah menyindir Ali bin Abi Thalib lewat sepatah kata pun ketika bermusuhan dengan saudaranya itu. Dia pun banyak meriwayatkan hadits Nabi yang kemudian diriwayatkan kembali oleh para sahabat. Di antara hadits yang diriwayatkannya adalah: “Aku mendengar Rasulullah bersabda,
“Barang siapa yang shalat sebanyak dua belas rakaat sehari semalam, niscaya Allah akan membangun baginya rumah di surga.’ Ummu Habibah berkata, “Sungguh aku tidak pernah meninggalkannya setelab aku mendengar dari Rasulullah saw.” (HR. Muslim)
Ummu Habibah wafat pada tahun ke-44 hijrah dalarn usia tujuh puluh tahun. Jenazahnya dikuburkan di Baqi’ bersama istri-istri Rasulullah yang lain. Semoga Allah memberinya kehormatan di sisi-Nya dan menempatkannya di tempat yang layak penuh berkah. Amin.[15]

10. Raihanah binti Zaid ra
Ada pula yang memasukkan nama Raihanah binti Zaid An-Nasraniah di antara istri-istri Nabi saw. Raihanah binti Zaid An-Nasraniah ada juga yang menyatakan Al-Qurazhiah yakni dari kalangan Yahudi bukan Nasrani. Ia merupakan tawanan pada waktu perang Bani Quraizhah. Saat itu ia adalah tawanan Rasulullah, kemudian Rasulullah saw memerdekakannya dan menikahinya. Rasulullah menceraikannya sekali kemudian ruju (kembali) kepadanya. Sebagian ulama berpendapat bahwa Raihanah adalah budak Rasulullah yang digauli oleh beliau dan terus menjadi budaknya hingga Rasulullah wafat.
Oleh Karena itu, dia termasuk budak-budak Nabi dan bukan termasuk istri-istrinya. Al-Waqidi lebih cenderung kepada pendapat yang pertama, yakni ia merupakan istri Nabi. Pendapatnya disetujui oleh Syarifuddin Ad-Dimyathi. Ia mengatakan bahwa  Rasulullah mendatangi Raihanah dan berkata, “Jika kamu suka, aku akan membebaskanmu lalu menikahimu. Jika kamu suka, aku akan menjadikanmu sebagai budakku. Dia menjawab, “Ya Rasulullah, aku lebih suka menjadi budakmu, hal itu lebih meringankan bagiku dan bagimu”. Pendapat inilah yang lebih kuat meurut para ahli ilmu. Menjadi budak atau dinikahi Rasul adalah kebanggaan bagi wanita manapun.[16]

11.  Shafiyyah binti Huyay
Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab bin Sa’yah bin Amir bin Ubaid bin Kaab bin al-Khazraj bin Habib bin Nadhir bin al-Kham bin Yakhurn, termasuk keturunan Harun bin Imran bin Qahits bin Lawi bin Israel bin Ishaq bin Ibrahim. Ibunya bernama Barrah binti Samaual darin Bani Quraizhah. Shafiyyah dilahirkan sebelas tahun sebelum hijrah, atau dua tahun setelah masa kenabian Muhammad. Shafiyah telah menjanda sebanyak dua kali, karena dia pernah kawin dengan dua orang keturunan Yahudi yaitu Salam bin Abi Al-Haqiq (dalam kisah lain dikatakan bernama Salam bin Musykam), salah seorang pemimpin Bani Qurayzhah, namun rumah tangga mereka tidak berlangsung lama.
Kemudian suami keduanya bernama Kinanah bin Rabi' bin Abil Hafiq, ia juga salah seorang pemimpin Bani Qurayzhah yang diusir Rasulullah. Dalam Perang Khaibar, Shafiyah dan suaminya Kinanah bin Rabi' telah tertawan, karena kalah dalam pertempuran tersebut. Dalam satu perundingan Shafiyah diberikan dua pilihan yaitu dibebaskan kemudian diserahkan kembali kepada kaumnya atau dibebaskan kemudian menjadi isteri Muhammad, kemudian Safiyah memilih untuk menjadi isteri Muhammad. Shafiyah memiliki kulit yang sangat putih dan memiliki paras cantik, menurut Ummu Sinan Al-Aslamiyah, kecantikannya itu membuat cemburu istri-istri Muhammad yang lain. Bahkan ada seorang istri Muhammad dengan nada mengejek, mereka mengatakan bahwa mereka adalah wanita-wanita Quraisy bangsa Arab, sedangkan dirinya adalah wanita asing (Yahudi). Bahkan suatu ketika Hafshah sampai mengeluarkan lisan kata-kata, ”Anak seorang Yahudi” hingga menyebabkan Shafiyah menangis. Muhammad kemudian bersabda, “Sesungguhnya engkau adalah seorang putri seorang Nabi dan pamanmu adalah seorang Nabi, suamimu pun juga seorang Nabi lantas dengan alasan apa dia mengejekmu?” Kemudian Muhammad bersabda kepada Hafshah, “Bertakwalah kepada Allah wahai Hafshah!” Selanjutnya manakala dia mendengar ejekan dari istri-istri Nabi yang lain maka diapun berkata, “Bagaimana bisa kalian lebih baik dariku, padahal suamiku adalah Muhammad, ayahku (leluhur) adalah Harun dan pamanku adalah Musa?”
 Muhammad menikahi Shafiyyah dan kebebasannya menjadi mahar perkawinan dengannya. Pernikahan Muhammad dengan Shafiyyah didasari beberapa landasan. Shafiyyah telah mernilih Islam serta menikah dengan Muhammad ketika ia memberinya pilihan antara memeluk Islam dan menikah dengan beliau atau tetap dengan agamanya dan dibebaskan sepenuhnya. Ternyata Shafiyyah memilih untuk tetap bersama Muhammad, Selain itu, Shafiyyah adalah putri pemimpin Yahudi yang sangat membahayakan kaum muslim.
Salah satu bukti cinta Shafiyyah kepada Muhammad terdapat pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Saad dalarn Thabaqta-nya tentang istri-istri Nabi yang berkumpul menjelang beliau wafat. Shafiyyah berkata, “Demi Allah, ya Nabi, aku ingin apa yang engkau derita juga menjadi deritaku.” Istri-istri Rasulullah memberikan isyarat satu sama lain. Melihat hal yang demikian, beliau berkata, “Berkumurlah!” Dengan terkejut mereka bertanya, “Dari apa?” Beliau menjawab, “Dari isyarat mata kalian terhadapnya. Demi Allah, dia adalah benar.” Setelah Muhammad wafat, Shafiyyah merasa sangat terasing di tengah kaum muslimin karena mereka selalu menganggapnya berasal dan Yahudi, tetapi dia tetap komitmen terhadap Islam dan mendukung perjuangan Muhammad. Ketika terjadi fitnah besar atas kematian Utsman bin Affan, dia berada di barisan Utsman. Selain itu, dia pun banyak meriwayatkan hadits Nabi. Dia wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan dalam usia 50 tahun. Marwan bin Hakam menshalatinya, kemudian menguburkannya di Baqi’.[17]
12.  Mariah binti al-Qibtiah
Tentang nasab Mariyah, tidak banyak yang diketahui selain nama ayahnya. Nama lengkapnya adalah Mariyah binti Syama’un dan dilahirkan di dataran tinggi Mesir yang dikenal dengan nama Hafn. Ayahnya berasal dan Suku Qibti, dan ibunya adalah penganut agarna Masehi Romawi. Setelah dewasa, bersarna saudara perempuannya, Sirin, Mariyah dipekerjakan pada Raja Muqauqis. Rasulullah saw. mengirim surat kepada Muqauqis melalui Hatib bin Baltaah, rnenyeru raja agar memeluk Islam. Raja Muqauqis menerima Hatib dengan hangat, namun dengan ramah dia menolak memeluk Islam, justru dia mengirimkan Mariyah, Sirin, dan seorang budak bernama Maburi, serta hadiah-hadiah hasil kerajinan dari Mesir untuk Rasulullah. Di tengah perjalanan Hatib rnerasakan kesedihan hati Mariyah karena harus rneninggalkan kampung halamannya. Hatib rnenghibur mereka dengan menceritakan Rasulullah dan Islam, kemudian mengajak mereka merneluk Islam. Mereka pun menerirna ajakan tersebut.
Rasulullah teläh menerima kabar penolakan Muqauqis dan hadiahnya, dan betapa terkejutnya Rasulullah terhadap budak pemberian Muqauqis itu. Beliau mengambil Mariyah untuk dirinya dan menyerahkan Sirin kepada penyairnya, Hasan bin Tsabit. Istri-istri Nabi yang lain sangat cemburu atas kehadiran orang Mesir yang cantik itu sehingga Rasulullah harus menitipkan Mariyah di rumah Haritsah bin Nu’man yang terletak di sebelah rnasjid.
Allah menghendaki Mariyah al-Qibtiyah melahirkan seorang putra Rasulullah setelah Khadijah r.a. Betapa gembiranya Rasulullah mendengar berita kehamilan Mariyah, terlebih setelah putra-putrinya, yaitu Abdullah, Qasim, dan Ruqayah meninggal dunia. Mariyah mengandung setelah setahun tiba di Madinah. Kehamilannya membuat istri-istri Rasul cemburu karena telah beberapa tahun mereka menikah, namun tidak dikaruniai seorang anak pun. Rasulullah menjaga kandungan istrinya dengan sangat hati-hati. Pada bulan Dzulhijjah tahun kedelapan hijrah, Mariyah melahirkan bayinya yang kemudian Rasulullah memberinya nama Ibrahim demi mengharap berkah dari nama bapak para nabi, Ibrahim a.s.. Lalu beliau memerdekakan Mariyah sepenuhnya. Kaum muslimin menyambut kelahiran putra Rasulullah saw. dengan gembira.
Akan tetapi, di kalangan istri Rasul lainnya api cemburu tengah membakar, suatu perasaan yang Allah ciptakan dominan pada kaum wanita. Rasa cemburu sernakin tampak bersamaan dengan adanya pertemuan Rasulullah saw. dengan Mariyah di rumah Hafshah sedangkan Hafshah tidak berada di rumahnya. Aisyah mengungkapkan rasa cemburunya kepada Mariyah, “Aku tidak pernah cemburu kepada wanita kecuali kepada Mariyah karena dia berparas cantik dan Rasulullah sangat tertarik kepadanya. Ketika pertama kali datang, Rasulullah menitipkannya di rumah Haritsah bin Nu’man al-Anshari, lalu dia menjadi tetangga kami. Akan tetapi, beliau sering kali di sana siang dan malam. Aku merasa sedih. Oleh karena itu, Rasulullah memindahkannya ke kamar atas, tetapi beliau tetap mendatangi tempat itu. Sungguh itu lebih menyakitkan bagi karni.” Di dalam riwayat lain dikatakan bahwa Aisyah berkata, “Allah memberinya anak, sementara kami tidak dikaruni anak seorang pun.”
Beberapa orang dari kalangan golongan munafik menuduh Mariyah telah melahirkan anak hasil perbuatan serong dengan Maburi, budak yang menemaninya dari Mesir dan kemudian menjadi pelayan bagi Mariyah. Akan tetapi, Allah membukakan kebenaran untuk diri Mariyah setelah Ali ra. menemui Maburi dengan pedang terhunus. Maburi menuturkan bahwa dirinya adalah laki-laki yang telah dikebiri oleh raja. Pada usianya yang kesembilan belas bulan, Ibrahim jatuh sakit sehingga meresahkan kedua orang tuanya. Mariyah bersama Sirin senantiasa menunggui Ibrahim. Suatu malarn, ketika sakit Ibrahim bertambah parah, dengan perasaan sedih Nabi saw. bersama Abdurrahman bin Auf pergi ke rumah Mariyah. Ketika Ibrahim dalam keadaan sekarat, Rasulullah saw. bersabda, “Kami tidak dapat menolongmu dari kehendak Allah, wahai Ibrahim.”Tanpa beliau sadari, air mata telah bercucuran. Ketika Ibrahim meninggal dunia.
Setelah Rasulullah wafat, Mariyah hidup menyendiri dan hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Dia wafat lima tahun setelah wafatnya Rasulullah, yaitu pada tahun ke-46 hijrah, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah sendiri yang menyalati jenazah Sayyidah Mariyah al-Qibtiyah, kemudian dikebumikan di Baqi’. Semoga Allah menempatkannya pada kedudukan yang mulia dan penuh berkah. Amin.[18]

13.  Maimunah binti Harits ra
Nama lengkap Maimunah adalah Barrah binti al-Harits bin Hazm bin Bujair bin Hazm bin Rabiah bin Abdullah bin Hilal bin Amir bin Sha’shaah. Ibunya bernama Hindun binti Aus bin Zubai bin Harits bin Hamathah bin Jarsy. Dalam keluarganya, Maimunah termasuk dalam tiga bersaudara yang memeluk Islam. Ibnu Abbas meriwayatkan dari Rasulullah, “Al-Mu’minah adalah tiga bersaudara, yaitu Maimunah, Ummu-Fadhal, dan Asma’.” Maimunah dilahirkan enam tahun sebelum masa kenabian, sehingga dia mengetahui saat-saat orang-orang hijrah ke Madinah. Dia banyak terpengaruh oleh peristiwa hijrah tersebut, dan juga banyak dipengaruhi kakak perempuannya, Ummul-Fadhal, yang telah lebih dahulu memeluk Islam, namun dia menyembunyikan keislamannya karena merasa bahwa lingkungannya tidak mendukung.
Tentang suaminya, banyak riwayat yang memperselisihkannya, namun ada juga kesepakatan mereka tentang asal-usul suaminya yang berasal dan keluarga Abdul-Uzza (Abu Lahab). Sebagian besar riwayat mengatakan bahwa nama suaminya adalah Abu Rahm bin Abdul-Uzza, seorang muysrik yang mati dalam keadaan syirik. Suaminya meninggalkan Maimunah sebagai janda pada usia 26 tahun. Setelah suaminya meninggal, dengan leluasa Maimunah dapat menyatakan keimanan dan kecintaannya kepada Rasulullah. Sehingga dengan suka rela dia menyerahkan dirinya kepada Rasulullah untuk dinikahi.
 Pada tahun berikutnya, setelah perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah bersama kaum muslimin memasuki Mekah untuk melaksanakan ibadah umrah. Sesuai dengan isi perjanjian Hudaibiyah, Nabi diizinkan untuk menetap di sana selama tiga hari, namun orang-orang Quraisy menolak permintaan Nabi. Kesempatan itu digunakan Rasulullah untuk melangsungkan pernikahan dengan Maimunah. Setelah pernikahan itu, beliau dan kaum muslirnin rneninggalkan Mekah. Maimunah mulai memasuki kehidupan rumah tangga Rasulullah dan beliau menempatkannya di kamar tersendiri. Maimunah memperlakukan istri-istri beliau yang lain dengan baik dan penuh hormat dengan tujuan mendapatkan kerelaan hati beliau semata.
Tentang Maimunah, Aisyah menggambarkannya sebagai berikut. “Demi Allah, Maimunah adalah wanita yang baik kepada kami dan selalu menjaga silaturahmi di antara kami.” Dia dikenal dengan kezuhudannya, ketakwaannya, dan sikapnya yang selalu ingin mendekatkan diri kepada Allah. Riwayat-riwayat pun menceritakan penguasaan ilmunya yang luas.  Pada masa pemerintahan Khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, bertepatan dengan perjalanan kembali dari haji, di suatu tempat dekat Saraf, Maimunah merasa ajalnya menjelang tiba. Ketika itu dia berusia delapan puluh tahun, bertepatan dengan tahun ke-61 hijriah. Dia dimakamkan di tempat itu juga sebagaimana wasiat yang dia sampaikan. Menurut sebagian riwayat, dia adalah istri Nabi yang terakhir meninggal. Semoga Allah memberi tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.[19]

B.     Peran Istri-Istri Sahabat Dalam Perkembangan Islam

1.  Ummul Kultsum Binti Ali Bin Abi Thalib
            Beliau adalah anak dari Ali bin Abi Thalib, orang yang petama kali masuk Islam dari golongan anak-anak, memiliki kedudukan yang tinggi dan posisi yang luhur di sisi Rasulullah saw. Beliau juga putri ratu wanita ahli jannah, Fatimah  binti Rasulullah saw, sedangkan kedua saudaranya adalah pemimpin pemuda ahli jannah dan penghibur hati Rasulullah saw. Dalam lingkungan yang mulia seperti inilah pada zaman Rasulullah saw Ummu Kaltsum dilahirkan, tumbuh, berkembang dan terdidik hingga menjadi isteri dari amirul mukminin Umar bin Khatab Al-Faruq. Tatkala khalifah Umar bin Khatab, yang ketika itu beliau sebagai gubernur, melalukan ronda pada suatu malam untuk mengawasi rakyatnya, maka sampailah pada satu rumah yang ketika itu terdengar suara rintisan seorang perempuan yang sedang merasakan kesakitan karena mau melahirkan. Dengan segera beliau pulang memanggil isterinya agar membantu persalinan perempuan tersebut.
Di dalam dunia Islam beliau adalah teladan bagi gadis muslimah yang tumbuh di atas dien dan sekaligus merupakan wanita pertama yang menjadi bidan sebagai panutan bagi seluruh muslimah Islam.[20]

2.  Asma’ binti Yaziz bin Sakan
            Beliau adalah seorang ahli hadist yang mulia, memiliki kecerdasan, dien yang bagus dan ahli argumen sehingga beliau dijuluki sebagai “juru bicara wanita”.  Diantara yang paling istimewa yang dimiliki oleh Asma’ r.a. kepekaan inderanya dan kejelian perasaannya serta kehalusan hatinya. Selebihnya dalam segala sifat sebagaimana yang dimiliki oleh wanita-wanita Islam yang lain, yaitu tidak terlalu lunak atau manja dalam berbicara, tidak merasa hina, tidak mau dianianya, wanita  yang pemberani dan beliau menjadi contoh yang baik dalam banyak medan peperangan.
            Asma’ sangat aktif dalam mengikuti setiap pengajaran Rasulullah saw dan tidak segan-segan bertanya kepada Rasulullah saw tentang tata cara thaharah bagi wanita yang baru selesai haid.  Karena itu beliau dipercaya oleh kaum muslimah sebagai wakil mereka untuk berbicara dengan Rasulullah saw tentang persoalan sekitar wanita.
            Semoga Allah merahmati Asma’ binti Yazid dan memuliakan dengan hadist yang telah beliau riwayatkan dan dengan pengorbanan yang telah beliau usahakan, dan telah beramal dengan sesuatu yang dapat dijadikan pelajaran bagi yang lain demi memperjuangkan tegaknya ad-dien.

3.  Asy-Syifa’ Binti Al-Harits
            As-Syifa’ termasuk wanita yang cerdas dan utama, seorang ulama di antara ulama di dalam Islam dan tanah yang subur bagi ilmu dan iman. Beliau di kenal sebagai guru dalam membaca dan menulis sebelum datangnya Islam, sehingga tatkala beliau masuk Islam, beliau tetap memberikan pengajaran kepada wanita-wanita muslimah. Oleh karena itu beliau di sebut,”guru wanita pertama dalam Islam”
Di antara wanita yang dididik oleh As-Syifa’ adalah Hafsah binti Umar bin Khattab, istri dari Rasulullah saw. As-Syifa’ juga ahli ruqyah di masa jahiliyah, maka tatkala Islam dan berhijrah beliau berkata kepada Rasulullah saw,” aku adalah ahli ruqyah di masa Jahiliiyah dan aku ingin memperlihatkannya kepada anda”, maka Nabi saw bersabda “ajarkanlah hal itu kepada Hafsah”.  Diantara yang termasuk doa ruqyah yaitu,”Ya Allah rabb manusia, yang maha menghilangkan penyakit sembuhkanlah karena Engkau maha penyembuh dan tiada yang dapat menyembuhkan selain Engkau” sembuh yang tidak terjangkit penyakit lagi.”[21]
           Begitulah peran Asy-Syifa’ dalam Islam dengan segala macam kebaikan ilmu dan dien menjadi uswah hasanah bagi setiap gadis di dalam Islam. Semoga Allah merahmatinya dan menempatkan beliau ditempat yang layak di sisi-Nya.[22]
           Demikian sekilas uraian tentang peran wanita dalam Islam dan masih banyak lagi yang lain yang tidak mungkin disebutkan. Banyak kejadian telah diceritakan dalam Islam pada saat para perempuan menyumbangkan jasa mereka yang amat berharga dalam medan peperangan, seperti perawatan bagi pejuang yang sakit, memberikan air, menyiapkan makanan, memelihara barang-barang bawaan, yang dilakukan oleh Ummu Athiyah. Bahkan Ummu Sulaim tidak segan-segan mengangkat sebilah pisau untuk merobek perut orang kafir dalam Perang Hunain. Shafiyyah binti Abdul muthalib membunuh orang Yahudi yang mematai-matai demi musuh Islam selama Perang Persekutuan. Sejumlah perempuan sahabat Nabi saw seperti Nusaibah binti Ka’ab, Ummu Athiyyah al-Anshariyyah dan Rabi’ binti al-Mu’awwaz iku bersama laki-laki dalam perjuangan bersenjata melawan penindasan dan ketidakadilan. Umar bin Khattab juga pernah mengangkat al-Syifa, seorang perempuan cerdas dan terpercaya untuk menjadi manager pasar di Madinah.[23]
            Begitu pula Sumayyah ummu Ammar bin Yasir, seorang perempuan yang pertama kali gugur mempertahankan keimanannya. Dia dianiaya secara kejam dan akhirnya di bunuh oleh musuh Allah Abu Jahal. Ummu habibah, ummu Abdillah bin Abi Hatsmah, Asma binti Umais, dan perempuan-perempuan lain yang ikut berhijrah pertama kali ke Ethiopia mencari suaka politik. Asma binti Abu Bakar yang berani mengantarkan makanan kepada Nabi saw di gua Tsur, ketika semua orang takut berhubungan dengan Nabi saw.[24]
Sejarah telah mencatat, sejumlah peran wanita dalam ilmu pengetahuan, seperti Rufadah Aslamiyah, Ummu Muta’, Ummu Kabshah, Hamnah binti Jahsh, Mu’adhah, Umaimah, Ummu ziyad,Rubayyi binti Muawiyah, yang terkenal dalam bidang kedokteran dan spesialis bedah. Begitu pula dalam memperoleh penghasilan, wanita juga turut andil dalam mencari nafkah, seperti yang dicontohkan Saudah Istri Nabi yang memiliki keahlian menyamak kulit hewan sebagai penghasilannya. Kemudian juga Qailah, seorang pedagang yang menjual dan membeli barang-barang untuk dipasarkan.[25] Demikian peran wanita-wanita dalam Islam dalam menyumbangkan hasil karyanya untuk generasi penerus di masa yang akan datang, demi kemaslahatan umat dunia dan akhirat.   

PENUTUP

Rasulullah saw melakukan proses perombakan besar-besaran terhadap cara pandang dunia terhadap wanita pada masa lampau. Kehadiran beliau dalam situasi seperti ini menjadi harapan bagi kaum wanita karena Islam yang diperkenalkan oleh beliau berisi pembebasan terhadap kaum tertindas, mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kesetaraan. 
Status wanita pada zaman Rasulullah saw dapat dilihat pada keterlibatan mereka dalam sejumlah peran-peran penting yang memiliki makna historis-monumental. Tegak dan tersebarnya Islam tidak terlepas dari peran wanita-wanita yang beliau cintai dan para istri serta anak sahabat yang rela mengorbankan segenap kemampuan jiwa dan raga untuk Islam. Peranan mereka ini akan menjadi sumbangan yang tidak ternilai dalam perkembangan ilmu dan teknologi di masa sekarang. Dari merekalah kita mengenal Islam yang sebenarnya. Semoga para mujahidah Islam ini mendapat tempat yang paling mulia di sisi-Nya. Amin

 DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Umairah, Rijaalun wa Nisaa’un Anzalallahu fiihim Qur’aana, (terj. Salim Basyarahil & M. Shihabuddin, Jakarta, Gema Insani Press, cet.1, 2000

Abi Syifa’ Al-Hakim, Perbedaan Wanita Pertentangan Jiwa dan Tubuh, Bandung, Ikhtiar Publishing, cet.1, 2005

Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual, Bandung, Mizan, cet.III, 1991

Hasan Baharun, Islam Esensial, Jakarta, Pustaka Amani, cet.I, 1998

Hasbi Indra, dkk, Potret Wanita Shalehah, Jakarta. Penamadani, cet.2, 2004

Imam Az-zabidi, Shahih Al-Bukhari, (terj.Ahmad Zaidun), Jakarta, Pustaka Amani, cet.I, 2002

Mahmud Mahdi Al-Istambuli Musthafa Abu An Nashr Asy Syalabi, Nisaa’ Haular Rasul, (terj. Abu Umar Abdillah), Solo. At-Tiban, 1988

Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam berwawasan gender, Malang, UIN-Malang Press, cet.I, 2008

Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Taisiru al-Alliyul Qadir li Ikhtishari, Tafsir ibnu Katsir, (terj. Shihabuddin), jilid I, Jakarta, Gema Insani Press, cet.I, 1999

Muhammad Sharif Chaudhori, Women Right in Islam, (terj. Ahmad shihabul Millah), Bandung, mujahid Press, cet.I 2005

Maulana Wahiduddin Khan, Woman Between Islam and Western Society,  (terj. Abdullah Ali), Jakarta Serambi Ilmu Semesta, cet.I, 2001

Nurhidayati, Dinamika Perempuan Aceh Dalam Lintasan Sejarah, B. Aceh, Yayasan Pena, cet. I 2007,

Ragil As-Sirjani, Madza Qaddamal Muslimuna lil’Alam Ishamaatu al-Muslimin fi al-Hadharah al-Insaniah, (terj.Masturi Irham), Jakarta, Al-Kausar, cetI, 2011

Syaikh Imad zaki Al-Barudi, Tafsir Wanita, (terj. Samson Rahman), Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, cet.V, 2008

Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, (terj.Kathur Suhardi), Jakarta, Pusta Al-kautsar, cet.I, 1997

Yusuf Qardlawi, Ketika Wanita Menggugat Islam, Jakarta, Teras, cet.I, 2004


[1] Mahmud Mahdi Al Istanbuli & Musthafa Abu An Nashr Asy Syalabi, Nisaa’ Haular Rasul, (terj. Abu Umar Abdillah, Solo, At-Tiban, hal. 19-26
[2] HR. Al-Bukhari dari Aisyah, Kitab Al-Adab, Bab Rahmah Al-Walad wa Taqbilahu wa Ma’anaqatahu (2629)
[3] Raghib As-Sirjani, Madza Qaddamal Muslimuna lil’Alam ishamaatu al-Muslimin fi al-Hadharah al-Insaniyah, (terj.sonif & Masturi Irham, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2011,
 hlm. 77
[4] Ibnu Katsir, as-Sirah an- Nabawiyah 1, hlm. 386
[5] Jaluddin Rakhmat, Islam Aktual, Bandung, Mizan, cet.III, 1991, hlm. 196
[6] Hasbi Indra, dkk. Potret Wanita Shalehah, Jakarta, Penamadani, cet.II, 2004, hlm.29
[7] Maulana Wahiduddin Khan, Women Between Islam and Western Society (terj.Abdullah Ali), Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, Cet I.2001. hlm.164
7Abdurrahman Umaira, Rijaalun wa Nisaa’un Anzalallaahu fii him  Qur’ana, (Terj. Salim Basjarahil dan M.Syihabuddin), Jakarta: Gema Insani Press. Cet.I.2000.
[9]Mahmud Mahdi Al Istanbuli & Musthafa Abu An Nashr Asy Syalabi, Nisaa’ Haular Rasul (terj.AbuUmar Abdillah), Bogor, At-Tiban, hlm. 53
[10] Ibid, hlm. 57
[11] Hasbi Indra,dkk, hal. 37
[12] Mahmud Mahdi, hal. 58
[13] Ibid, hal. 72
[14]  Hasbi Indra, dkk, hlm. 45
[15] Ibid, hlm. 47
[16]  Ibid, Hlm. 51
[17]  Mahmud Mahdi istambuli, Hlm. 77
[18] (Dinukil dari buku Dzaujatur-Rasulullah SAW, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh, [ed. Indonesia: Istri Rasulullah, Contoh dan Teladan, penerjemah: Ghufron Hasan, penerbit Gema Insani Press, Cet. Ketiga, Jumadil Akhir 1420H)]

[19] Hasbi Indra  Hlm. 56-57
[20] Ibid.hlm.163
[21] Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Ath-Thibb, bab Ruqyah, No.3887.
[22] Mahmud Mahdi Al Istambul & Musthafa Abu An Nashr Asy Syalabi, hlm. 204-206
[23] Yusuf Qardlawi, Ketika Wanita Menggugat Islam, Jakarta, Teras, cet.I, 2004, hlm. 36
[24] Nurhidayati, Dinamika Perempuan Aceh Dalam Lintasan Sejarah, B. Aceh, Yayasan Pena,     cet. I 2007, hlm. 76,
[25] Muhammad Sharif Chaudhori, Women Right in Islam, (terj. Ahmad shihabul Millah), Bandung, mujahid Press, cet.I 2005, hlm 139-147