Senin, 23 Desember 2013

KONSEP PENDIDIKAN DALAM SURAT ASH-SHAAFFAT (AYAT 100-102)



KONSEP PENDIDIKAN DALAM SURAT ASH-SHAAFFAT (AYAT 100-102)
Oleh: Suriani
          Mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry
 


BAB I
 PENDAHULUAN


Kisah-kisah dalam Al-Quran sarat dengan hikmah dan ibrah yang tidak akan habis tergali sampai kapanpun. Teladan yang abadi dicontohkan dalam sosok-sosok yang dikisahkan dalam Alquran, salah satunya sosok Nabiyullah Ibrahim AS. Beliau adalah adalah sosok seorang Rasul, pendidik, ayah dan suami yang sukses mendidik keluarga dan ummat. Tak ada lagi yang meragukan kualitas keimanan, keshalihan dan kepemimpinan nya sebagai seorang Nabi, utusan Allah. Demikian juga dengan perannya sebagai ayah dan pendidik. Namun memang tidak mudah untuk memahami atau mencerna konsep-konsep pendidikannya dalam mendidik keluarga dan ummat. Kalau kita coba mentadabburi firman Allah berikut ini:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ -١٠٢-
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar”. QS. Ashaffat:102
     
Konsep-konsep pendidikan Nabi Ibrahim inilah yang akan kita coba kupas dan kita kaji untuk kita jadikan acuan dan teladan dalam pendidikan Islam dalam mendidik generasi penerus bangsa.






BAB II
KONSEP PENDIDIKAN DALAM SURAT ASH-SHAAFFAT
(AYAT 100-102)

A.    Sekilas Tentang Nabi Ibrahim dan Kelurganya
Menurut Ibnu  Katsir nama lengkapnya adalah Ibrahim bin tarikh bin Nahur bin Sarugh bin Raghu bin Faligh bin Abir bin Syalih bin Arfakhsyadz  bin saam bin Nuh AS. Istri nabi Ibrahim yang pertama adalah Sarah sedang yang kedua adalah Siti Hajar. Adapun anak anak beliau adalah Nabi Ismail dari istrinya Hajar, dan Nabi Ishaq dari Istrinya Sarah, kemudian dari Nabi Ishaq mempunyai anak Nabi Ya’qub kemudian Nabi Yusuf dan dari keturunan Nabi Ismail hingga Nabi kita Nabi Muhammad saw.[1]
Nabi Ibrahim disebutkan dalam  Al-Qur’an sebanyak 69 kali dalam 63 ayat dan menjadi nama surat ke 14 dari Al-Qur’an.[2] Ayat-ayat tersebut secara garis besar menjelaskan tentang sifat-sifat dan keutamaan Nabi Ibrahim, Allah menguji Nabi Ibrahim, dakwah Nabi Ibrahim dan membangun ka’bah, Nabi Ibrahim menunaikan ibadah haji, Nabi Ibrahim kekasih Allah, turunnya azab kepada kepada kaum Nabi Ibrahim dan hijrah Nabi Ibrahim ke Sham. Juga menjelaskan tentang kehidupan kekeluargaan Nabi Ibrahim bersama Siti Hajar dan Ismail as, mimpi menghidupkan orang mati, dan berdebat dengan raja Namrud. Interaksi dengan ayahnya, berisi tentang dakwah kepada ayahnya, kekufuran ayah Nabi Ibrahim dan permohonan ampun Ibrahim untuk ayahnya.[3]
Penjelasan lainnya berisi tentang perdebatan Ibrahim dengan kaumnya, Ibrahim memisahkan diri dengan kaumnya, ancaman Ibrahim kepada berhala kaumnya, dilempar dan selamat dari api, dan berita gembira tentang Ishak dan Ya’kub, serta mimpi Ibrahim menyembelih Ismail.   Sedangkan nama Ismail di sebut sebanyak 12 kali dalam 12 ayat. Di antara kisah yang paling mengharukan dari perjalanan Nabi ibrahim yang disebutkan Al-Qur’an adalah sikap terhadap anaknya dan sikap anaknya terhadap dirinya.

B.  Kisah Nabi Ibrahim Dan Ismail Dalam Surat As-Shaffat Ayat 100-107
Secara kronologis, kisah kehidupan Nabi Ibrahim yang tidak mengenal putus asa  untuk mendapatkan  seorang anak digambarkan oleh Allah dengan penuh kesabaran. Allah memenuhi janjiNya kepada orang-orang yang dikasihiNya melalui doa. Tidak ada yang tidak mungkin bagiNya, kendatipun umur nabi Ibrahim ketika itu berusia 86 tahun. Usia yang sangat  senja dalam sejarah produktif dan sangat mustahil untuk memperoleh keturunan.[4] Ketika permohonannya dikabulkan dan belum puas kegembiraan bersama anaknya, Allah memerintahkan pula untuk menyembelihnya. Usia Ismail saat itu 13 tahun menurut al-Farra’, sedangkan menurut Ibnu Abbas menginjak usia pubertas,[5] atau menginjak remaja. Bagaimana perasaan Nabi Ibrahim terhadap anak yang dicintainya. Mungkin andaikan kita mendapat perintah seperti itu, akan mati oleh kesedihannya sendiri.[6]
            Namun Nabi Ibrahim seorang Rasul yang tidak mengenal kehidupan kecuali dalam ridhaNya. Ujian berat dan panjang menunjukkan keimanan, kesabarannya dan penyerahan diri secara total kepada Allah. Begitu pula anaknya, Ismail tatkala di panggil oleh ayahnya dengan mesra: “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu”, sang anak menjawab dengan penuh hormat:“Hai ayahku laksanakan apa saja yang diperintahkan kepadamu, engkau akan mendapatiku insya Allah termasuk orang orang yang sabar”.
            Menurut Muqatil, mimpi Ibrahim menyembelih Ismail selama 3 malam berturut-turut. Dan wahyu Allah biasanya datang kepada para rasul dalam keadaan terjaga dan tidur, karena pada dasarnya yang tidur fisiknya, sedangkan hatinya tidak.[7] Al-Qur’an secara nyata mengisahkan hal tersebut:
    رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ -١٠٠- فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ -١٠١- فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ -١٠٢- فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ -١٠٣- وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ -١٠٤- قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ -١٠٥- إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاء الْمُبِينُ -١٠٦- وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ -١٠٧-

“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang   yang saleh.(!00) Maka Kami beri Dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar.(101) Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".(102) Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ).(103) Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim,(104) Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, Sesungguhnya demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. .(105) Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.(106) dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.[8] (107)

C.      Penafsiran Surat As-Shaffat Ayat 100-107
a.      Ayat 100-101
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ -١٠٠- فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ -١٠١-

 100“Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.101. Maka Kami beri Dia khabar gembira dengan seorang anak yang Amat sabar”.
                Didalam tafsir Al-Mishbah dijelaskan bahwa, Nabi Ibrahim ketika itu berada di Ur, negeri Kaldania memutuskan untuk berhijrah agar dapat menjalankan misinya dengan baik. Dan ia berkata kepada beberapa orang kepercayaan bahkan mengumumkan tekadnya di hadapan masyarakat umum bahwa:”Sesungguhnya aku akan pergi menuju kesatu tempat di mana aku dapat leluasa mengabdi kepada Tuhanku tanpa diganggu oleh siapapun, dan Dia akan menunjukiku jalan yang terbaik”. Karena ketika itu beliau tidak menemukan seorangpun yang dapat menggantikannya sebagai penerus, maka beliau berdoa tanpa menggunakan panggilan “Ya/wahai” untuk mengisyaratkan kedekatan beliau kepada Allah:”Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku seorang anak yang termasuk kelompok orang-orang yang shaleh. Maka Kami memberinya kabar gembira bahwa dia akan dianugerahi dengan seorang anak yang amat penyantun. [9]
            Kata ghulam adalah seorang pemuda yang telah tumbuh memanjang kumisnya. Biasanya yang mencapai usia tersebut telah tumbuh pesat pula nafsu seksualnya, karena itu nafsu seksual dinamai juga ghulmah.[10]
            Kata halim, mempunyai tiga makna dasar, yaitu tidak tergesa-gesa, lubang karena kerusakan serta mimpi. Bagi manusia, tidak tergesa-gesa lahir dari ketidaktahuan seseorang atau keraguannya, ketika itu ia tidak dapat dinamai halim, walaupun ia tidak tergesa.[11]
            Dengan demikian dapat dipahami bahwa kabar gembira yang disampaikan itu mengandung isyarat bahwa anak tersebut adalah seorang anak lelaki, dari kata ghulam. Dan sudah mencapai usia dewasa, dipahami dari sifatnya sebagai seorang yang halim/penyantun, karena seorang yang belum dewasa, tidak dapat menyandang sifat tersebut.
b.   Ayat 102
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ -١٠٢-

102. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".

Allah telah menepati janjiNya kepada Nabi Ibrahim tentang perolehan anak. Demikian hingga anak tersebut lahir dan tumbuh menjadi remaja. Maka tatkala ia telah mencapai usia yang menjadikan ia mampu berusaha bersamanya, maka Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, dan engkau tentu tahu bahwa mimpi para nabi adalah wahyu ilahi. Maka fikirkanlah apa pendapatmu, sang anak menjawab dengan penuh hormat: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".[12]
Ayat di atas menggunakan bentuk kata kerja mudhari’ pada kata-kata أرَي danأذْبَحُكَ , Begitu juga pada kata تُؤْمَرُ . Ini mengisyaratkan apa yang beliau lihat itu seakan-akan masih terlihat hingga saat penyampaiannya itu. Sedangkan kata penyembelihan untuk mengisyaratkan  bahwa perintah Allah yang dikandung mimpi tersebut belum selesai dilaksanakan. Karena itu pula jawaban anak menggunakan kata kerja masa kini juga untuk mengisyaratkan bahwa ia siap.[13]
Ucapan anak:“Engkau akan mendapatiku isya Allah termasuk para penyabar, dengan mengaitkan kesabarannya dengan kehendak Allah, menunjukkan betapa tinggi akhlak dan sopan santun kepada Allah dan orangtuanya.
c.     Ayat 103-107
فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ -١٠٣- وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ -١٠٤- قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ -١٠٥- إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاء الْمُبِينُ -١٠٦- وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ -١٠٧-

103.”Maka tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ).104. dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim,
105. Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.106. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.107. dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”.

            Ayat yang lalu menguraikan kesediaan anak untuk disembelih atas perintah Allah. Maka tanpa ragu tatkala keduanya telah berserah diri secara penuh dan tulus kepada Allah dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, maka ketika itu terbukti kesabaran keduanya.  Pisau yang begitu tajam atas kuasa Kami tidak melukai Ismail sedikitpun dan Kami melalui Malaikat memanggilnya:”Hai Ibrahim, sungguh engkau telah membenarkan mimpi, karena itu Kami memberimu ganjaran dengan menjadikanmu imam dan teladan bagi orang-orang bertakwa. Sesungguhnya perintah menyembelih anak serta kewajiban memenuhinya benar-benar suatu ujian yang nyata yang tidak dapat dipikul kecuali manusia pilihan.[14]
            Kata (تَلَّه ) yaitu tempat yang tinggi. Ada juga yang memahami tumpukan pasir/ tanah yang keras. Maksud ayat ini adalah membaringkan dan meletakkan pelipisnya pada tempat yang keras agar tidak bergerak. Sedangkan kalimat (الرُّؤْيَا- صَدَّقْتَ  ) yaitu telah membenarkan mimpi itu, dan melaksanakan sesuai dengan kemampuan yang diperintahkan Allah melalui mimpi. Boleh jadi Nabi Ibrahim hanya bermimpi menyembelih anaknya, tanpa melihat adanya darah yang memancar, apalagi yang menyebabkan kematian ataupun mungkin juga melihat dalam mimpinya Ismail berlumuran darah dan itulah yang beliau lakukan tetapi perintah yang dimimpikan itu dibatalkan Allah. Demikian Nabi Ibrahim telah melaksanakan perintah, seandainya tidak ada panggilan untuk itu, tentu ia akan terus berupaya sehingga terpenuhi perintahNya.[15]
            Firman-Nya: (إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاء الْمُبِينُ), yaitu Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Ujian  yang dimaksud disini merupakan cobaan terhadap Nabi Ibrahim dengan mengorbankan anak satu-satunya yang sangat disayangi dan berpuluh tahun lamanya menanti kehadirannya, oleh Allah justru diperintahkan untuk disembelih. Yang sangat  memilukan  lagi  Ismail  harus  disembelih  oleh ayahnya sendiri. Ayat   berikutnya:
(وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ) Yaitu Dan Kami menembusnya dengan seekor sembelihan yang besar, yaitu seekor kibas yang besar dan sempurna.[16]
            Dengan demikian Penafsiran ayat di atas, memuat penjelasan tentang permohonan Nabi Ibrahim untuk memperoleh anak, doa terkabul dengan anak yang amat penyabar, mimpi Nabi Ibrahim menyembelih Ismail, Nabi Ibrahim mendialogkan mimpinya kepada Ismail, pelaksanaan penyembelihan dan diakhiri dengan keselamatan Ismail, yang berarti kesuksesan misi Nabi Ibrahim, sebagai Rasul yang benar-benar pilihan.
d.      Konsep Pendidikan Islam Yang Tersirat Dalam Surat As-Shaffat Ayat 100-107
Konsep berasal dari bahasa Inggris “concept” yang berarti “ide atau gagasan yang mendasari sesuatu objek”. atau gambaran yang bersifat umum atau abstrak dari sesuatu.[17] Dalam kamus Bahasa Indonesia, konsep diartikan dengan (1) rancangan atau buram surat tersebut.(2) Ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkrit (3) gambaran mental dari objek, proses ataupun yang ada diluar bahasa yang digunakan untuk memahami hal- hal lain.[18]
Sedangkan Pendidikan Islam Menurut Arifin (1993:237) sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdullah Idi, M.Ed yaitu merealisasikan manusia muslim yang beriman, bertaqwa, dan berilmu pengetahuan yang mampu mengabdikan dirinya kepada sang khalik dengan sikap dan kepribadian bulat menyerahkan diri kepadaNya dalam segala aspek kehidupan dalam rangka mencari keridhanNya.[19] Menurut Prof. Dr Abuddin Natta, MA mengungkapkan secara sederhana pendidikan Islam dapat diartikan sebagai pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits serta dalam pemikiran para ulama dalam praktek sejarah umat Islam.[20] Adapun menurut syekh Muhammad An-Naquib Al-Attas pendidikan Islam adalah usaha yang dilakukan pendidik terhadap anak didik untuk pengenalan dan pengakuan tempat – tempat yang benar dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan akan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan keberadaan.[21]
Dengan demikian konsep pendidikan Islam ialah ide atau gagasan untuk merealisasi manusia muslim sesuai dengan pesan-pesan ilahi dalam segala aspek kehidupan untuk mencari keridhaanNya. Dalam hal ini tergambar dalam aktualisasi pendidikan Ibrahim dalam Surah As-Shaffat 100-107, di mulai dengan penyerahan diri secara totalitas kepada Allah yang disertai dengan doa. Ketika Nabi Ibrahim telah mendapat anak yang amat sabar oleh Allah diperintahkan pula untuk disembelih. Sebuah bentuk kesabaran yang tidak hanya melibatkan  pengendalian emosional, tetapi juga kematangan spiritual (iman) yang tinggi. Bagaimana tidak sesuatu yang tidak berdasarkan logika seorang ayah harus membunuh anaknya sendiri yang sudah bertahun lamanya menunggu kehadirannya. Disini jelas terlihat kepatuhan dan ketaatan Nabi Ibrahim tanpa membantah langsung melaksanakan perintah dari Allah.            Sianakpun tiada membangkang dengan sikap sopan menyerahkan diri sebagai bentuk kepatuhan dan ketaatannya kepada orang tua untuk disembelih. Seolah-olah keduanya tidak ada beban sedikitpun dalam menjalankan perintah Allah.
Bentuk-bentuk kepatuhan, baik yang terlihat dari sikap Nabi Ibrahim maupun Ismail dalam menjalankan perintah Allah ini, tidak terlepas dari aspek keimanan dan emosionalnya yang sudah tertanam dalam jiwa mereka. Disini letak  konsep pendidikan yang tersirat di balik kronologis penyembelihan yang dilakukan Nabi Ibrahim terhadap Ismail.Untuk lebih rinci penulis akan mencoba menganalisa konsep pendidikan yang  terkandung didalam surat ash-Shaaffaat, ayat 100-107 sebagai berikut;
1.      Nilai-nilai pendidikan akidah yang bisa diimplementasikan dari keimanan Nabi Ibrahim terhadap Nabi Ismail dan Siti Hajar kepada Allah, meskipun perintah tersebut hanya melalui mimpi dan sangat bertentangan dengan rasional.
2.        Pendidikan akhlak, yang terlihat dari ucapan Ismail, “insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". Hal ini menunjukkan betapa tinggi akhlak dan sopan santunnya kepada Allah dan orangtuanya. Tidak dapat diragukan bahwa jauh sebelum peristiwa ini pastilah ibunya, Siti Hajar dan ayahnya, Ibrahim telah menanamkan dalam hati dan benaknya tentang keesaan Allah. Sikap dan ucapan Ismail ini yang direkam oleh ayat sebagai buah dari pendidikan.
3.      Pendidikan humanisasi yaitu pendidikan memanusiakan manusia dengan patuh kepada Allah, meskipun perintah pengorbanan itu irrasional namun keyakinan mengalahkan fikiran. Pendidikan humanis ini berisi nilai-nilai keutamaan atau kebajikan yang dapat mengangkat kemuliaan manusia. Dalam kontek humanisasi, Ibrahim mengajarkan Ismail bagaimana membangun harkat dan martabat manusia di sisi Allah. Nilai kemanusiaan ditegakkan diatas sifat-sifat luhur budaya manusia dengan membebaskan diri dari sifat-sifat kebinatangan. Simbolisme mengorbankan binatang dipahami sebagai upaya untuk memanusiakan manusia melalui pendidikan. Dengan pendidikan ini  menjadikan anak mampu mengembangkan potensi dirinya dan mampu memilih dan mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan. Upaya inilah yang terlihat dalam konsep pendidikan Ibrahim terhadap Ismail ini.
4.      Pendidikan spiritual dan emosional yaitu kematangan spiritual yang didasarkan pada keimanan dan ketaatan serta kepatuhan terhadap perintah Allah, disamping kesiapan emosional yang diekspresikan dalam bentuk ketegaran dan kesiapan mental dalam menghadapi perintah. Hal ini merupakan hasil pendidikan yang ditanamkan Ibrahim dan ibunya Siti Hajar kepada anaknya sejak kecil.
5.      Pendidikan karakter, yaitu sikap demokrasi Ibrahim kepada ismail menunjukkan kedewasaan pendidik, artinya Ibrahim tidak otoriter (pemaksaan) dan diktator terhadap Ismail ketika menyampaikan perintah untuk menyembelihnya, tetapi lebih kepada syura’. Hal ini terjadi karena Ibrahim berusaha memahami siapa dan bagaimana kesanggupan anak yang dihadapinya. Demokratisasi Ibrahim dalam mendidik Ismail merupakan kearifan pendidik yang professional. Kearifan ini muncul karena mempertimbangkan sikap mental dan kejiwaan anak didik. Dengan pertimbangan dan kearifan dari pendidik yang professional akan mewujudkan dan yakin dengan keberhasilannya.
6.      Pendidikan yang berlandaskan metode dialogis, artinya Ibrahim memberitahukan Ismail tentang mimpinya agar dapat dipahami oleh Ismail yang masih remaja. Cara berdialog ini melatih untuk berargumentasi, ketangguhan dan keteguhan untuk patuh kepada Allah dan orang tuanya. Begitu juga istrinya yang dengan rela memenuhi perintah Allah biarpun putra satu-satunya yang sudah bertahun-tahun didambakan harus siap dikorbankan. Ini merupakan keberhasilan Ibrahim dengan kecerdasan akal tetapi lebih mendahulukan wahyu sebagai seorang suami dan bapak dalam mendidik mereka. Sikap kepatuhan ini dapat dipahami sebagai kunci keberhasilan pendidikan. Proses dialog ini mengandung makna filosofis yang begitu dalam pemahamannya akan nilai dan kesadaran kedua pihak yang terlibat. Apabila dikaitkan dengan dengan kurun waktu terjadi peristiwa kira-kira sekitar 2000 tahun SM yang lalu dan dihubungkan dengan era kekinian, sungguh kejadian tersebut sangat konstektual dalam penerapan sampai sekarang.
7.      Pendidikan Sosial, pengorbanan yang dilakukan nabi Ibrahim mengandung nilai pendidikan sosial, yaitu, pertama, merelakan apa yang dicintai dikorbankan untuk kepentingan yang lebih bermanfaat. Ibrahim berhasil membunuh berhala rasa cinta kepada anaknya demi memperoleh ridha Allah, yang kemudian Allah mengganti kurban tersebut dengan seekor kibas. Kalau pada masa nabi Ibrahim harus “mengorbankan Ismail” yang dicintainya, saat sekarang bentuk “Ismail” bisa berwujud dengan harta benda, jabatan, istri, dan keluarga. Kedua, mewujudkan kepekaan sosial terhadap kondisi sekitar. Hal ini bisa di lihat ketika Nabi Ibrahim mau menyembelih Ismail ternyata Allah menggantinya dengan kibas. Kemudian dagingnya dibagikan kepada sesama manusia yang membutuhkan. Sesuai dengan firman Allah berikut ini:
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُم مِّن شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
"dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam Keadaan berdiri (dan telah terikat). kemudian apabila telah roboh (mati), Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, Mudah-mudahan kamu bersyukur". (QS. Al-Hajj: 36).

Demikian konsep pendidikan yang tersirat dalam kisah Nabi Ibrahim dan Ismail yang bertujuan untuk memanusiakan manusia melalui proses pendidikan. Dialog dan demokratis sebagai upaya untuk membuka jalur informasi antara pendidik dan anak didik jelas terlihat dalam kisah tersebut. Pendidik dapat mengukur kemampuan anak didik sehingga akan ditemukan kesamaan persepsi tentang visi dan misi pendidikan yang dilakukan. Bila interaksi ini terjalin dengan harmonis maka kesuksesan dalam pendidikan akan berhasil.



BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Pendidikan adalah suatu proses untuk mendewasakan manusia. Atau dengan kata lain pendidikan merupakan suatu upaya untuk memanusiakan manusia. Melalui pendidikan manusia dapat tumbuh dan berkembang secara wajar dan sempurna, sehingga ia dapat melaksanakan tugas sebagai manusia. Konsep pendidikan yang ditawarkan nabi Ibrahim melalui kisahnya bersama Ismail merupakan sebuah konsep pendidikan yang sangat sarat dengan maknanya. Di dalamnya terdapat berbagai sisipendidikan yang di lihat dari berbagai segi sehingga mengantar anak didik kearah pencapaian tujuan pendidikan.
Inti dari pendidikan Ibrahim adalah pengharapan yang sangat besar akan generasi nya kelak sebagai penerus yang akan melanjutkan perjuangannya dalam mewujudkan generasi shaleh yang menyembah kepada Allah swt. Dengan pemantapan disegi aqidah maka terealisir semua pelaksanaan disegi lainnya. Disini terlihat kearifan Nabi Ibrahim sebagai pendidik yang professional yang selalu yakin dengan keberhasilan pendidikan yang dilakukannya. Hal ini membuktikan bahwa beliau  benar-benar sebagai Rasul pilihan yang menjadi panutan seluruh umat.
B.     Saran-saran
Penulis telah berusaha dengan sangat maksimal dalam pembuatan makalah demi kesempurnaan tulisan sebagai salah satu syarat ujian final. Berbagai referensi penulis perkaya demi kwalitas sebuah makalah. Namun kesempurnaan mungkin jauh dari harapan. Untuk itu penulis sangat berterima kasih kepada bapak Prof Alyasa’, andaikan dapat memberikan masukan dan saran demi kesuksesan di masa yang akan datang.





DAFTAR PUSTAKA


Al-Qurthubi, Abi Abd Allah Muhammad bin Ahmad al-Ansari, Al-Jami’ li al-Ahkamal- Qur’an, Beirut: Dar Fikr, 1988, vol.15

Abuddin Natta, Manajemen Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet. 3, 2008

Cowie, Hornby, Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English, London:Oxford University Press, 1974

Heri Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. I, 2005

Ibnu Kasir, Tafsir Ibnu Katsir, (terj. M. Abdul Ghoffar), Jilid V. Pustaka Imam Syafi’I: Jakarta,
      2009
Jamaluddin dan Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999

Miftahul Huda, Interaksi Pendidikan (10 Cara Qur’an Mendidik Anak), UIN-Malang Press: Malang, Cet.I, 2008

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Lentera Hati: Jakarta, Cet. IV, 2006

Syeikh Muhammad Ghazali, Tafsir Tematik Dalam Al-Qur’an, Gaya Media Pratama: Jakarta Cet.I, 2004

Syekh Muhammad An-Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, Jakarta:Mizan,    1984

Tim Penyusun Kamus, Kamus Bahasa Indonesia, Depdikbud, Jakarta: Balai Pustaka, Edisi II, 1995

Yuni Setia Ningsih, Birrul Awlad Vs Birrul Walidain Upaya Pendidikan Emosional Anak Dalam Keluarga, B. Aceh: Ar-Raniry Press, Cet. I, 2007


[1] Ibnu Kasir, Tafsir Ibnu Katsir, (terj. M. Abdul Ghoffar), Jilid V. Pustaka imam Syafi’I, Jakarta,   2009, hal. 27
                         [2] Dalam Surah Al-Baqarah 12 kali, surah Ali Imran 7 kali, Al-A’nam, Hud, al-Anbiya’ 4 kali dan As-Shaffat, al-Haj 3 kali.
 [3] Miftahul Huda, Interaksi Pendidikan (10 Cara Qur’an Mendidik Anak), UIN
      Malang Press, Malang, Cet.I, 2008, hal. 99-100
[4] Ibnu Kasir, Tafsir Ibnu Katsir, (terj. M. Abdul Ghoffar), Jilid V. Pustaka imam Syafi’I, Jakarta,
   2009, hal. 274
                   [5] Miftahul Huda, Interaksi Pendidikan (10 Cara Qur’an Mendidik Anak), UIN
    Malang Press, Malang, Cet.I, 2008, hal.103
                      [6] Syeikh Muhammad Ghazali, Tafsir Tematik Dalam Al-Qur’an, Gaya Media pratama, Jakarta Cet.I, 2004, hal. 424

[7] Al-Qurthubi, Abi Abd Allah Muhammad bin Ahmad al-Ansari, al-Jami’ li al-Ahkam al-Qur’an, Beirut, Dar Fikr, 1988,  vol 15, hal 102
[8] Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Lentera Hati, Jakarta, Cet. IV, 2006, hal. 60
[9]   Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,  hal. 61
[10]  Ibid, hal. 61
[11]  Ibid, hal. 61-62
[12] Ibid, hal. 62
[13] Ibid, hal. 63

[14]  Ibid, hal. 64
[15]  Ibid, hal. 64

[16]  Ibid, hal. 66
[17]  Cowie, Hornby, Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English, London:Oxford University Press, 1974, hal 270
[18] Tim Penyusun Kamus, Kamus Bahasa Indonesia, Depdikbud, Jakarta, Balai Pustaka, Edisi II, 1995,  hal. 520
[19]  H. Jamaluddin dan Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung, CV. Pustaka Setia,   1999,    hal. 9-10
[20]  Abuddin Natta, Manajemen Pendidikan, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, Cet. 3, 2008, hal. 173
 [21] Syekh Muhammad An-Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, Jakarta, Mizan, 1984, hal.10

4 komentar:

  1. Izin copas ya ibu.. saya masukan ke blog saya.. tulisanya bagus..

    BalasHapus
  2. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh ...
    Saya hanya mau mengucapkan terimakasih kepada pemilik blog ini atas segala isi yang ada dalam blog ini, Ayat Al-Qur'an dan Hadist yang sudah disediakan. Sangat-sangat berguna dan bermanfaat bagi saya sendiri sebagai internet explorer..
    Saya juga meminta izin untuk mengcopy untuk digunakan sebagaimana mestinya..
    semoga pemilik blog ini diberikan selalu kesehatan, dipanjangkan rezekinya, dipanjangkan umurnya, diampuni segala dosa-dosanya serta selalu dalam lindungan ALLAH SWT..
    Aamiin....
    Sekian, saya ucapkan terimakasih...

    Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh ...

    BalasHapus
  3. izin copas buat tugas makalah

    BalasHapus
  4. Ibu nyuwun redhonya , izin copas nggeh bu

    BalasHapus