Selasa, 24 Desember 2013

MANAJEMEN PENDIDIKAN DAN KEKHUSUSANNYA




MANAJEMEN PENDIDIKAN DAN KEKHUSUSANNYA
                                      Syarwan Ahmad
 Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh, Indonesia
                        Email: syarwan2007ahmad@yahoo.com

                                    
ABSTRACT
Educational management is defined as a study and practice concerning the operation of educational organizations. This research is aimed at searching the specialty of the educational management. The study uses literature study on the sources pertinent to the topic. The existing theories of educational management are the result of combination between the theories of industry and commerce and the findings gathered by using observation techniques at educational institutions. Educational management is unique due to the goal of educational institution which is to educate young generations and produce qualified graduates, rather than to gain financial benefits. Additionally, educational institution varies in terms of type, level, size, location and the values accepted. Because of this, it is not easy to simply implement the theories without taking into account the distinguished characteristic of the eduactional institution being managed. The type of management practice that pays serious attention to academic matter is strongly recommended.            

Kata kunci: Manajemen pendidikan; Kekhususan; Keunikan     

Pengantar     
Meskipun konsep manajemen pendidikan berasal dari manajemen bisnis, setelah teori-teorinya berdiri sendiri manajemen pendidikan merupakan suatu manajemen yang unik. Kata ‘manajemen’ itu sendiri mempunyai arti yang berbeda-beda menurut kamus.   Berdasarkan Webster Super New School and Office Dictionary manajemen berasal dari kata “manage” (to manage) yang berarti “conduct or carry on or direct.” Dalam Collins English Dictionary manajemen diartikan sebagai “the members of the executive or administration or business.” Kamus ini juga mendefinisikan manajemen sebagai “technique, practice or science of managing or controlling.” Di dalam Kamus Inggris Indonesia kata “manage” diartikan   “mengurus, mengatur, melaksanakan, mengelola.” Sementara Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan manajemen sebagai “proses penggunaan sumberdaya secara efektif untuk mencapai sasaran.” Menurut Atmosudirdjo yang dikutip oleh Sardjana (2010) Manajemen itu adalah pengendalian dan pemanfaatan daripada semua faktor dan sumberdaya, yang menurut suatu perencanaan (planning), diperlukan untuk mencapai atau menyelesaikan suatu tujuan kerja yang tertentu. [1].  
            Setelah memperoleh gambaran tentang manajemen secara umum maka pemahaman akan konsep manajemen pendidikan menjadi lebih mudah. Meskipun prinsip dan fungsi-fungsinya tidak jauh berbeda, manajemen pendidikan adalah unik dibandingkan dengan manajemen umum disebabkan oleh tujuan pendidikan itu sendiri. Perbedaan akan terlihat lebih jelas dalam substansi yang dijadikan objek kajiannya yakni segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah pengelolaan pendidikan. Tidak ada sebuah definisi tunggal yang diterima secara umum sebagai sebuah definisi manajemen pendidikan. Hal ini disebabkan oleh perkembangannya yang telah dikembangkan dari bidang disiplin ilmu yang lebih mapan termasuk sosiologi, ilmu politik, ekonomi dan manjemen umum, dan institusi pendidikan itu sendiri yang sangat bervariasi. Sehinnga Bush (1995) mendefinisikan manajemen pendidikan secara sederhana yaitu “sebuah bidang studi dan praktek berkenaan dengan operasi organisasi-organisasi pendidikan.[2] Namun, Biro Perencanaan Depdikbud, yang dikutip oleh Sardjana (2010) mendefinisikan dengan lebih luas manajemen pendidikan dengan mengaitkan dengan tujuan pendidikan nasional Indonesia, yaitu “proses perencanaan, peng-organisasian, memimpin, mengendalikan tenaga pendidikan, sumber daya pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan, mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan, keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap, mandiri, serta bertanggung jawab terhadap kemasyarakatan dan kebangsaan.
            Tulisan ini bertujuan untuk memberi gambaran menyangkut manajemen pendidikan yang memfokuskan pada asal-usul dan keunikannya.      
            Sejumlah sumber menunjukkan bahwa negara Indonesia jauh tertinggal di bandingkan dengan negara-negara lain di bidang pendidikan. Menyangkut pendidikan Indonesia termasuk Aceh bahkan jauh tertinggal dengan negara-negara ASEAN. Negeri jiran Malaysia, misalnya, sudah memiliki universitas terkemukanya seperti University of Malaya yang sering masuk peringkat dua ratus besar dunia. Ketertinggalan Indonesia diperparah lagi oleh krisis ekonomi dan moneter yang mencapai puncaknya pada tahun 1998, yang membuat ekonomi Indonesia sangat terpuruk. Sektor pendidikan merupakan salah satu sektor paling parah terkena dampaknya. Laporan Bank Dunia yang bertajuk: Eduaction in Indonesia: From Crisis to Recovery (1999) menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia mengalami krisis manajemen. [3] Hal ini lebih terasa saat-saat pemerintah mencanangkan desentralisasi dan mengobral kewenangan kepada daerah sedangkan pelaksanaannya masih berjalan ditempat. Sejalan dengan isu desentralisasi ini Bank Dunia (1998) merekomendasikan antara lain School Based Management (Manjemen Bebasis Sekolah) sebagai alternative. Prinsip utama Manajemen Bebasis Sekolah (MBS) adalah memberi otonomi yang luas kepada pihak kepala sekolah dan pemangku kepentingannya untuk mengelola sekolah secara lebih mandiri. [4]                   
            Sejumlah literatur manajemen pendidikan mengindikasikan bahwa ada ketidak beresan dalam praktek manajemen pendidikan di sekolah-sekolah. Seorang kepala sekolah mengurus semua fungsi manajemen mulai dari staf, guru, siswa, administrasi, keuangan sampai asrama siswa. Praktek seperti ini sudah dianggap tidak masanya lagi. Meskipun keberhasilan pengajaran dan terangkatnya reputasi sekolah dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kapasitas guru, fasilitas dan input (latarbelakang siswa), sekarang perhatian kepala sekolah diminta untuk lebih fokus pada pengajaran (teaching and learning), yang dikenal dengan konsep kepemimpinan pengajaran (instructional leadership).         
            Sehubungan dengan rekomendasi ini, Cheng (1993) mengatakan secara internasional, peneliti mengambil kesimpulan bahwa kepemimpinan penganjaran (instructional leadership) yang kuat dipihak kepala sekolah diasosiasikan dengan upaya peningkatan sekolah yang berhasil.[6] Oleh karena itu, kepemimpinan pengajaran (instructional leadership) yang diterapkan melalui tiga fungsi utama yaitu dengan cara mendefinisikan misi sekolah (defining school’s mission); mengurus pengajaran (managing instructional program); mengembangkan iklim pembelajaran (developing school learning climate) sangat direkomendasikan. Sekarang mari kita kembali melihat asal-usul manajemen pendidikan. [7]

Asal-Usul Manajemen Pendidikan
Asal usul manajemen pendidikan telah dijelaskan oleh Culbertson (1980), Bone (1982) dan Huges (1985) yang dikutip oleh Bush (1995). Manajemen pendidikan mulai diterapkan di Amerika Serikat awal abat ini. Di negara maju seperti Inggris peneliti lebih mengkonsentrasikan pada manajemen bisnis atau perusahaan ketimbang manajemen pendidikan. Menurut Bush manajemen pendidikan baru berkembang di Inggris sekitar tahun 1960an. Akibatnya, para sarjana di bidang manajemen pendidikan harus mengadopsi pengetahuan dan model-model dari disiplin manajemen perusahaan.    

We are still guilty of borrowing perspectives, models, concepts and even theories from the world of industry and commerce…our understandings of educational management are in the main derived from a non-educational framework and this is a weakness, both from the conceptual analysis it enables us to make and in terms of our credibility with practitioners in schools and colleges. [8]       
Glasser dan Straussess yang diungkapkan kembali oleh Bush (1995) mengutarakan bahwa berdasarkan observasi dan pengalaman di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi analis dan praktisi mulai mengembangkan model-model alternative.  Hasilnya, manajemen pendidikan telah menjadi bidang yang mandiri dengan teori-teorinya sendiri. Manajemen pendidikan merupakan bidang kajian dan praktek yang berasal dari prinsip-prinsip manajemen yang pertama diterapkan di bidang industri dan perdagangan terutama di Inggris dan Amerika Serikat. Pada awalnya model-model industri diterapkan di lingkungan pendidikan. Bush menjelaskan lebih lanjut, disebabkan oleh kemajuan penerapannya, menjelang pertengahan 1990an teori-teori utama manajemen pendidikan merupakan hasil kombinasi, baik dikembangkan dalam konteks pendidikan atau disesuaikan dari model-model industri untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan khusus lembaga pendidikan.
Lembaga pendidikan juga sangat bervariasi. Antara lain, institusi pendidikan bervariasi  mulai dari sekolah-sekolah dasar yang kecil yang berlokasi di desa terpencil sampai dengan perguruan tinggi dan universitas-universitas yang sangat besar yang bertaraf internasional. Disamping itu, prinsip-prinsip manajemen sekolah adalah relatif, tidak absolut. Menyangkut ukurannya, keserbasamaan, stabilitas, ketergantungan dan kemewahan sekolah-sekolah berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, gaya manajemen sekolah-sekolah tersebut juga berbeda satu sama lain. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Dash (2008) yaitu, seorang kepala sekolah yang sukses pada suatu sekolah dengan menerapkan teknik-teknik tertentu bisa saja gagal dengan teknik yang sama di lingkungan sekolah yang lain karena faktor-faktor situasional.[9] Hal ini diperkuat lagi oleh Bush (1995) dengan menegaskan bahwa sifat masalah yang bervariasi yang dihadapi di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi juga memerlukan pendekatan dan solusi yang berbeda-beda, karena masing-masing organisasi pendidikan memiliki keunikannya sendiri.
Keunikan Manajemen Pendidikan
Manajemen pendidikan berbeda dengan manajemen institusi atau badan usaha lainnya. Tidak dapat dibantah bahwa manajemen pendidikan memperhatikan secara serius tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan bukan profit oriented. Secara umum ia bertujuan untuk mendewasakan anak bangsa menjadi manusia yang berguna untuk dirinya dan lingkungannya. Oleh karenanya, kebanyakan penulis dan peneliti manajemen pendidikan menekankan pentingnya memperhatikan maksud dan tujuan pendidikan. Menurut Hallinger & Snidvongs (2008) tujuan utama organisasi bisnis adalah mencari keuntungan. Ini berbeda sekali dengan kasus sekolah dan lembaga pendidikan sebagai organisasi. Oleh karena itu, tidak semua sistim manajemen yang berasal dari lingkungan industri cocok diterapkan untuk pendidikan. Total Quality Management (TQM) yang terkenal di bidang bisnis, misalnya, telah dicoba untuk diterapkan bagi lembaga pendidikan dan sekolah-sekolah. Daya tariknya adalah karena sifat daripada sistim TQM yang bertujuan secara terus menerus memperbaiki sistim dengan usaha bersama semua elemen organisasi dan mendapatkan hasilnya, memuaskan pelanggan. Namun, sekarang sistim manajemen ini telah secara perlahan mulai pudar menyangkut penerapannya di lingkungan sekolah dan lembaga pendidikan. Kemunduran penerapannya di lingkungan sekolah antara lain karena kharakteristik khusus daripada sebuah sekolah dan lembaga pendidikan yang bukan pabrik; pendidikan adalah ‘produk’ tetapi, tidak dapat dilihat; pelanggannya adalah para murid, orang tua, majikan dan masyarakat; TQM adalah ketinggalan zaman dalam banyak segi, suatu kemunduran kepada ide-ide yang dikembangkan lima puluh tahun yang lalu.[10].
Bush (1995) menunjukkan 7 keunikan manajemen pendidikan:
1.    Tujuan (objectives) lembaga-lembaga pendidikan lebih sulit didefinisikan ketimbang tujuan perusahaan-perusahaan komersial. Lembaga komersial memiliki tujuan utama seperti mendiversifikasi produk dan memaksimalkan keuntungan. Sekolah dan perguruan tinggi dituntut untuk mengembangkan kapasitas personal individu, menanamkan nilai-nilai yang dianut, menjaga anak-anak dan kaum muda untuk jangka waktu yang telah ditentukan setiap hari dan mempersiapkan mereka untuk melanjutkan pendidikan ke tahap yang lebih tinggi atau untuk memasuki dunia kerja atau, barangkali menjadi penganguran.
2.    Di lembaga pendidikan tujuan (goals) yang telah ditentukan sangat sulit diukur apakah tujuan-tujuan tersebut telah dicapai. Di organisasi yang berorientasi keuntungan finansial tercapainya tujuan atau tidak, bisa diukur dengan ukuran-ukuran keuangan; penjualan sudah meningkat, keuntungan sudah naik, dividen (keuntungan saham) lebih tinggi. Sedangkan di lembaga pendidikan penilaian harus ditempuh melalui jangka panjang, bahkan ada aspek-aspek tertentu yang sulit untuk diukur.
3.    Keberadaan anak-anak dan kaum muda sebagai titik fokus lembaga pendidikan juga menyumbang kepada ketidakjelasan ini. Murid dan siswa mungkin dianggap sebagai pelanggan atau output sekolah dan perguruan tinggi. Sebagai pelanggan disana terdapat ciri-ciri unik. Sebagai peserta di dalam proses produksi orang muda berbeda secara mencolok dari bahan mentah komersial dan industri. Peserta didik tidak bisa diproses, diprogram atau dimanipulasi. Proses pembelajaran dibangun atas hubungan personal dengan segala keanehan dan ketidakpastian yang terjadi.
4.    Para manager dan guru di sekolah dan perguruan tinggi berasal dari latarbelakang profesi yang sama bersama dengan nilai-nilai, pelatihan dan pengalaman yang dianut bersama. Sebagai profesional guru mengklaim otonomi di ruangan kelas. Sifat hubungan dengan peserta didik atau kelompok siswa tidak cocok dengan ketentuan dan supervisi yang ketat, sebagaimana diberlakukan untuk buruh. Di samping itu, guru sebagai profesional harus sanggup berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, karena komitmen mereka untuk mengimplementasikan keputusan adalah penting.
5.    Hubungan pelanggan antara guru dan siswa berbeda dalam banyak aspek dari hubungan profesional lain dengan pelanggan mereka. Guru memiliki hubungan yang beraturan dan lama dengan para murid; sering beberapa pertemuan seminggu selama periode beberapa tahun. Hal ini berbeda dengan organisasi komersial yang mempekerjakan banyak pekerja dan buruh.    
6.    Disana ada struktur dan bagian-bagian organisasi baik di dalam maupun yang bergesekan dengan lembaga pendidikan. Iklim pengambilan keputusan di sekolah dan perguruan tinggi sangat dipengaruhi oleh sejumlah organisasi dan kelompok di luar lembaga pendidikan. Ini termasuk politisi, pejabat dan inspektorat di tingkat nasional dan, untuk beberapa sekolah, kelompok-kelompok terkait di tingkat daerah, juga orang tua dan kelompok formal maupun non formal. Disana juga terdapat banyak poin-poin keputusan di lingkungan sekolah dan perguruan tinggi dan sub-sub unit kerja seperti jurusan, fakultas dan lain-lain. Pembagian ini membuat sulitnya pendelegasian tanggung jawab bagi keputusan manajemen di sekolah dan perguruan tinggi.
7.    Banyak manager di sekolah di tingkat SLTP dan SLTA, dan di perguruan tinggi pada kadar tertentu, tidak memiliki cukup waktu untuk aspek-aspek manajemen kerja mereka. Di sekolah dasar kebanyakan atau semua staf adalah guru kelas penuh. Hanya kepala sekolah yang memiliki kesempatan yang agak lumayan untuk mengurus aktivitas manajemen dan di sekolah-sekolah yang lebih kecil kepala sekolahnya biasanya guru kelas. Keterbatasan waktu yang tersedia untuk manajemen berimplikasi signifikan bagi lembaga pendidikan.                                  
 Kecuali keunikan-keunikan manajemen lembaga pendidikan yang tersebut di atas, teori manajemen pendidikan juga memiliki kharakteristiknya tersendiri. Umumnya teori manajemen pendidikan memiliki tiga ciri utama (Bush, 2003):
1.    Teori-teorinya lebih condong kepada normative sebab mereka merefleksikan sifat lembaga pendidikan dan kharakter orang-orang di lingkungan lembaga pendidikan. Sebagai contoh, ketika keputusan-keputusan yang dibuat dikatakan telah dicapai dengan mengikuti proses partisipatif, keputusan-keputusan itu mungkin hasil keputusan normative bukannya analisa dari praktek yang sesunguhnya.
2.    Teori-teorinya condong kepada selective atau memihak, karena fokus aspek-aspek tertentu lembaga pendidikan yang mengabaikan unsur-unsur lainnya. Namun, sekolah dan perguruan tinggi terlalu kompleks untuk dianalisa melalui dimensi tunggal.
3.    Teori-teori manajemen pendidikan lebih lazim didasarkan, atau didukung oleh, observasi atas praktek manajemen di lembaga pendidikan.[11].     
Kesimpulan
Hasil penelitian di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang umumnya menggunakan teknik observasi dikombinasikan dengan perspektif, model, konsep dan teori-teori yang diadopsi dari manajemen dunia usaha. Kemudian lahirlah model dan teori-teori manajemen pendidikan yang berdiri sendiri yang berbeda dengan teori-teori manajemen umum. Setelah konsep manajemen pendidikan ditemukan bukan berarti teori-teorinya bisa diambil begitu saja untuk diterapkan di perguruan tinggi atau sekolah-sekolah tertentu. Keunikan manajemen pendidikan itu bukan hanya menyangkut tujuan pendidikan, yang bukan untuk meningkatkan produksi dan mencari keuntungan sebesar-besarnya, tetapi juga menyangkut proses pendidikan itu sendiri. Karena jenis, tingkatan, ukuran, lokasi dan nilai-nilai yang dianut sebuah lembaga pendidikan itu berbeda-beda, maka penerapan teori manajemen perlu penyesuaian-penyesuaian.
            Sebagaimana disinggung sebelumnya sebuah lembaga pendidikan itu juga dipengaruhi oleh lembaga di sekelilingnya dalam proses pengambilan keputusan. Sebagian besar lembaga pendidikan terutama yang berstatus swasta berada di bawah sebuah lembaga induk yang biasanya berbentuk yayasan berbadan hukum. Sebagian badan pengurus dan pimpinan yayasan mungkin sudah lupa bahwa mengurus sebuah lembaga pendidikan itu berbeda dengan mengurus perusahaan yang berorientasi mencari untung. Oleh karena itu, sebaiknya lembaga pendidikan di bawah yayasan juga kembali dikelola berdasarkan prinsip-prinsip dan tujuan manajemen pendidikan.       
            Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia termasuk Aceh bermasalah dengan pendidikan. Sebagaimana hasil riset Bank Dunia tentang pendidikan yang mengindikasikan bahwa pendidikan di Indonesia mengalami krisis manajemen. Oleh karena itu, pemerintah pusat seharusnya ikhlas memberi kewenangan kepada pemerintah daerah khususnya Aceh termasuk hak-hak pengurusan pendidikan dan pengelolaan keuangannya. Pemerintah daerah seharusnya memperhatikan dengan sungguh-sungguh pendidikan di Aceh yang sedang mengalami krisis yang luar biasa dimana siswa-siswa kelas III SLTP dan SLTA setiap tahunnya lulus hampir 100% dalam menempuh ujian nasional. Namun, tingkat kelulusan yang mengesankan ini bukan mencerminkan mutu pendidikan yang sebenarnya karena kelulusan ini disinyalir penuh noda dan dosa. Oleh karena itu, pemerintah Aceh harus segera menuntaskan masalah ini agar kita tidak dianggap tidak bermasalah dengan pendidikan sehingga tidak perlu bantuan seperti bantuan perbaikan dan keuangan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Pemerintah Aceh diminta sebaiknya tidak menyalah-gunakan anggaran yang sudah dialokasikan untuk pendidikan. 
            Menyangkut model manajemen yang baik, recomendasi Bank Dunia yaitu penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Menyangkut kepemimpinan kepala sekolah yang baik, teori telah membuktikan bahwa keberpihakan kepala sekolah kepada urusan akademik apa yang dikenal dengan istilah kepemimpinan pengajaran (instructional leadership) telah terbukti mendongkrak prestasi siswa dan reputasi sekolah. Konsep kepemimpinan ini ditempuh dengan menjalankan 3 dimensi utama yaitu mengembangkan visi/misi sekolah bersama dengan semua staf pengajar dan komite sekolah; mengurus kurikulum dan pengajaran; menciptakan iklim pembelajaran sesama guru dan mengembangkan profesi mereka. Untuk memaparkan secara rinci konsep kepemimpinan pengajaran (instructional leadership) diperlukan kajian tersendiri.                                   




Referensi
[1] Sardjana, Djadja, Pengembangan Ilmu Manajemen Pendidikan (2010),            http://edukasi.kompasiana.com/2010/03/19/pengembangan-ilmu-                                    manajemen-            pendidikan/
[2] Bush, Tony, Theories of Educational Management (2nd ed). London:
Chapman Publishing, 1995.

[3] The World Bank,  Education Sector Strategy, 1999.

[4] Siahaan, Khairuddin W, and Nasution, Manajemen Pendidikan
Berbasis Sekolah. Jakarta, Ciputat: Press Group, 2006, 19-20.

[5] Brookover & Lezotte, Creating Effective Schools: An in-service
Program for Enhancing School Learning Climate and Achievement. Holmes Beach, Fla.: Learning Publications, 1982.

[6] Cheng, Y.C, Profiles of Organizational Culture and Effective Schools.
School Effectiveness and School Improvement, 4 (2), (1993).

[7] Hallinger, P & Murphy, J, Assessing the Instructional Behavior of
Principals. Elementary School Journal, 86, (1985), 217-247.

[8] Bell, L., Educational Management: An Agenda for the 1990s. Educational                               
Management and Administration 19(3), (1991), 136-40.

[9] Dash, Neena, School Management. Delhi: Nice Printing Press, 2008, 3
[10] Greenwood and Gaunt, Total Quality Management for Schools.
London: Redwood Books, 1994.

[11] Bush, Tony, Theories of Educational Leadership and Management
(3rd ed). London: SAGE, 2003.