Kamis, 23 Januari 2014



DARI MENEJER MENJADI PEMIMPIN PENGAJARAN:
PERUBAHAN PERAN KEPALA SEKOLAH


Syarwan Ahmad

     (Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry)

Instructional leadership is a concept in which principal’s management emphases on academic or instructional improvement. It is the principal leadership siding with academic affairs. Conventionally, school principals play the role as managers or administrators. Whereas the role of instructional leadership is delegated to other parties such as vice principal for curriculum affairs. Most educators and scholars agree that instructional leadership needs to be practiced if effective schools are to be realized. To be an instructional leader, it is necessary for a principal to have expertise in curriculum, instruction and assessment. Since most principals lack of skills on instructional leadership  practices,  instructional leadership training for principals   is  badly needed.
Kata kunci:  Kepemimpinan Pengajaran; Kepemimpinan Instruksional;  Perubahan Peran Kepala Sekolah. 

Pendahuluan
            Telah sering kita dengar bahwa kepala sekolah melakonkan banyak peran dalam satu hari, menjadi menejer, pengatur, pemimpin pengajaran dan pemimpin kurikulum. Merupakan tindakan yang wajar kalau kepala sekolah harus menyulap antara berbagai peran ini. Sering, lebih banyak perhatian diberikan kepada tugas-tugas administratif dan manajerial. Sedangkan  tugas kepemimpinan pengajaran biasanya didelegasikan kepada pihak lain sesuai dengan hirakhi administratif. Sesungguhnya urusan utama sekolah adalah belajar mengajar. Peran pemimpin sekolah sebagai pemimpin pengajaran (instructional leader) merupakan konsep yang relatif  baru yang muncul di awal 1980an yang meminta kepada perubahan fokus manajemen kepala sekolah, dari kepala sekolah sebagai menejer atau pengatur menjadi pemimpin pengajaran atau pemimpin akademik, atau sering juga disebut dengan istilah pemimpin instruksional. Perubahan ini banyak dipengaruhi oleh penelitian yang menemukan bahwa sekolah-sekolah efektif biasanya memiliki kepala sekolah yang menekankan pentingnya kepemimpinan pengajaran yang dalam bahasa Inggris sering disebut dengan istilah instructional leadership.[1] Kemudian, pada paruh pertama 1990an, “perhatian terhadap kepemimpinan pengajaran sedikit goyah, diganti oleh pembahasan-pembahasan menyangkut MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) dan kepemimpinan fasilitatif (facilitative leadership)”.[2] Baru-baru ini, kepemimpinan kepala sekolah telah kembali difokuskan  pada standar akademik.
            Sementara sebagian besar para sarjana pendidikan akan setuju bahwa kepemimpinan pengajaran sangat mendesak dalam perwujudan sekolah-sekolah efektif. Sayang, hal itu jarang dipraktekkan. Contohnya, diantara banyak tugas yang dijalankan kepala sekolah, hanya 10 % waktu didedikasikan bagi pelaksanaan kepemimpinan pengajaran.[3] Bahkan sampai sekarang, para pemimpin sekolah terus mencari keseimbangan dalam peran mereka sebagai menejer dan pemimpin pengajaran. Menarik untuk diperhatikan, diantara alasan yang dikemukakan kenapa penekanan kurang diberikan pada kepemimpinan pengajaran adalah karena kurangnya pelatihan yang mendalam untuk peran kepala sekolah sebagai pemimpin pengajaran, tidak cukupnya waktu untuk menjalankan aktivitas pengajaran (instructional activities), meningkatnya kertas kerja dan harapan masyarakat bahwa peran kepala sekolah adalah sebagai menejer.[4]
  1. Mendefinisikan Kepemimpinan Pengajaran
            Kepemimpinan pengajaran berbeda dari tugas kepala sekolah sebagai pengatur atau menejer dalam banyak hal. Para kepala sekolah yang membanggakan diri mereka sebagai menejer biasanya terlalu fokus dengan tugas–tugas administratif yang ketat dibandingkan dengan kepala sekolah yang berperan sebagai pemimpin pengajaran. Peran yang terakhir melibatkan penentuan tujuan-tujuan (goals) yang jelas, pengalokasian sumberdaya untuk pengajaran (instruction), pengurusan kurikulum, pemantauan rencana pembelajaran (lesson plans), dan evaluasi para guru. Singkat kata, kepemimpinan pengajaran adalah aksi-aksi yang seorang kepala sekolah lakukan, atau delegasikan kepada oaring lain, untuk meningkatkan pembelajaran siswa.[5] Pemimpin pengajaran memprioritas atau mengutamakan kualitas pengajaran sebagai prioritas utama sekolah dan berusaha untuk mewujudkan visi itu menjadi kenyataan. Menurut Hoy dan Hoy sekolah-sekolah dibangun untuk proses belajar mengajar, kegiatan lainnya hanya merupakan penunjang bagi terlaksananya kegiatan belajar mengajar dengan baik.[6]  
            Sekarang, definisi kepemimpinan pengajaran telah meluas kepada keterlibatan yang lebih dalam ke urusan utama persekolahan, yaitu belajar mengajar. Perhatian telah berubah dari mengajar ke pembelajaran, dan sebagian orang telah mengusulkan istilah “pemimpin pembelajaran” sebagai pengganti "pemimpin pengajaran." [7] The National Association of Elementary School Principals mendefinisikan kepemimpinan pengajaran sebagai "memimpin komunitas belajar".[8] Konsep komunitas belajar adalah para staf (guru) bertemu secara regular untuk mendiskusikan pekerjaan mereka, bekerja bersama-sama untuk memecahkan masalah, berefleksi tentang pekerjaan mereka, dan bertanggungjawab terhadap apa yang mereka pelajari. Mereka beroperasi dalam jaringan keahlian yang saling berbagi dan melengkapi bukannya dalam hirarkhi atau isolasi. Orang di dalam komunitas belajar “memiliki masalah” dan menjadi agen-agen bagi solusinya. Pemimpin pengajaran juga memprioritaskan pembelajaran sesama guru; menentukan harapan-harapan yang tinggi; menciptakan budaya belajar yang terus menerus bagi guru dan menggalang dukungan komunitas untuk keberhasilan sekolah. Blase dan Blase, mengekpresikan kepemimpinan pengajaran dengan tingkah laku khusus seperti memberi saran-saran, memberi masukan (feedback), menawarkan model pembelajaran yang efektif, meminta pendapat, mendukung kolaborasi, menyediakan kesempatan pengembangan profesional, dan memberi penghargaan atau pujian atas pengajaran yang efektif. [9] Hallinger menyarankan kepala sekolah sebagai pemimpin pengajaran menciptakan lingkungan sekolah dimana guru dapat mengajar lebih efektif dan siswa dapat belajar lebih baik.[10] Fidler berargumen bahwa kepemimpinan pengajaran merupakan “kepemimpinan kurikulum” sebab menurutnya kepala sekolah adalah pihak yang paling tepat untuk mengkoordinasi, mengintegrasikan, mengimplementasikan dan mensupervisi program pengajaran agar dapat memastikan hasil (outcomes) apa yang diharapkan tercapai.[11]    
  1. Pengetahuan dan Pemimpin Pengajaran  
            Terkandung di dalam konsep seorang pemimpin pengajaran adalah gagasan dimana  pembelajaran harus diprioritaskan, sementara semua yang lain berkisar pada peningkatan pembelajaran yang tidak dapat disangkal merupakan kharakteristik dari usaha pendidikan manapun. Dengan demikian untuk memiliki kredibilitas sebagai pemimpin pengajaran, kepala sekolah harus juga guru yang mengajar (practicing teacher). Contohnya, di Inggris, kebanyakan kepala sekolah menghabiskan rata-rata 20% dari waktu mereka di dalam seminggu untuk mengajar.[12] Para pemimpin pengajaran perlu mengetahui apa yang berlangsung di ruangan kelas; menyaksikan langsung proses pembelajaran. Sering, para kepala sekolah tidak berkomunikasi dengan apa yang terjadi di tingkat ruangan kelas dan tidak sanggup mengantisipasi beberapa masalah yang guru dan siswa hadapi. Manfaatnya adalah untuk menyorot isu-isu pengajaran dari perspektif ketika mereka menjadi guru. Para kepala sekolah perlu bekeja lebih dekat dengan siswa, mengembangkan teknik dan metode pembelajaran sebagai alat untuk mengetahui perspektif guru dan untuk membangun dasar yang di atasnya keputusan-keputusan kurikulum dirumuskan. Juga, seorang kepala sekolah yang mengajar memperkuat keyakinan bahwa "satu-satunya maksud persekolahan adalah untuk melayani kebutuhan pendidikan siswa."[13] Whitaker mengidentifikasikan empat keahlian penting kepemimpinan pengajaran.[14]
  • Pertama, mereka harus menjadi penyedia sumber belajar (resource provider). Tidak cukup bagi kepala sekolah hanya mengetahui kekuatan dan kelemahan para guru mereka, tetapi juga harus menyediakan sumber belajar, mengakui bahwa guru menginginkan untuk diakui dan dihargai apa yang mereka telah kerjakan dengan baik.
  • Kedua, mereka harus menjadi sumber pengajaran (instructional resource). Guru menganggap kepala sekolah mereka sebagai sumber informasi tentang tren-tren terkini dan pelaksanaan pengajaran yang efektif. Pemimpin pengajaran adalah memahami isu-isu yang berhubungan dengan kurikulum, strategi-strategi pedagogik dan evaluasi yang efektif. 
  • Ketiga, mereka harus menjadi komunikator yang baik (good communicators). Pemimpin pengajaran yang efektif perlu mengkomunikasikan selogan-selogan penting seperti semboyan bahwa semua anak bisa belajar dan tidak ada yang tertinggal.
  • Akhirnya, mereka perlu menciptakan a visible presence. Mengarahkan program pengajaran sebuah sekolah berarti komitmen bagi menghidupkan dan menghembuskan visi sukses di dalam mengajar dan belajar. Ini termasuk memfokuskan tujuan pembelajaran (learning objectives), model pembelajaran (modeling behaviors of learning), dan merancang program dan aktivitas pengajaran.
Di banyak Negara sementara secara umum kepala sekolah dipandang sebagai menejer-pengatur bukan pemimpin pengajaran, termasuk di Malaysia, kepala sekolah condong menjadi lebih sebagai menejer-pengatur, sementara tugas sebagai pemimpin pengajaran sangat sering didelegasikan kepada wakil kepala sekolah bidang kurikulum/akademik. Bahkan, julukan ‘pemimpin pengajaran’ jarang diberikan kepada satu orang tetapi dianggap menjadi tanggungjawab semua guru. Namun, menarik untuk dicatat bahwa kecendrungan mengarah kepada penuntutan bahwa kepala sekolah memainkan peran utama sebagai pemimpin pengajaran. Akan menjadi tugas berat meyakinkan kepala sekolah untuk melepaskan citra mereka sebagai menejer dan mengambil peran sebagai pemimpin pengajaran. Umumnya, para kepala sekolah tidak menganggap mereka sendiri sebagai pemimpin pengajaran dan banyak diantara mereka percaya bahwa apapun yang berhubungan dengan belajar mengajar cara terbaik adalah ditugaskan kepada guru. Dalam banyak hal, kepala sekolah merasa tidak mampu untuk mengambil inisiatif dan mengembangkan program-program pengajaran karena keragaman bidang studi yang diajarkan yang masing-masing pelajaran memiliki keunikan pedagogis tersendiri. Sebagai contoh, mengajar membaca berbeda dengan mengajar sains dan akan tidak adil mengharapkan kepala sekolah untuk berpengatahuan tentang strategi pembelajaran untuk tiap-tiap mata pelajaran. Terlepas dari kekhawatiran ini, yang mendukung ide bahwa kepala sekolah harus menjadi pemimpin pengajaran, mendapat perhatian serius. Jika demikian halnya lalu kepala sekolah perlu memutakhirkan pengetahuan mereka di tiga wilayah pendidikan, yaitu; kurikulum, pengajaran dan penilaian (assessment).
  • Menyangkut kurikulum, kepala sekolah perlu mengetahui tentang konsepsi kurikulum yang terus berubah, falsafah dan norma-norma bidang pendidikan, fragmentasi dan spesialisasi pengetahuan, sumber kurikulum dan konflik menyangkut kurikulum, evaluasi kurikulum dan perbaikannya.
  • Menyangkut pengajaran, kepala sekolah perlu mengetahui tentang model-model pembelajaran yang berbeda, alasan teoritis mengadopsi model pembelajaran tertentu, pedagogi internet, teori-teori pembelajaran yang didukung oleh teknologi.
  • Menyangkut penilaian (assessment), kepala sekolah perlu mengetahui tentang prinsip-prinsip penilaian siswa, prosedur penilaian dengan penekanan pada metode-metode penilaian alternatif dan penilaian yang bertujuan untuk memperbaiki ketimbang membuktikan pembelajaran siswa.
Menekankan tiga wilayah pengetahuan ini, adalah pemahaman yang mendalam menyangkut bagaimana manusia belajar. Rasanya tidak berlebih-lebihan untuk disarankan bahwa seorang kepala sekolah tidak sepenuhnya siap jika ia tidak memiliki mengetahuan yang mendalam menyangkut bagaimana manusia belajar.[15] Urusan utama sekolah adalah pembelajaran, dan penelitian terbaru bidang kognitif telah menghasilkan pengetahuan yang cukup memadai tentang pembelajaran manusia. Penting bagi kepala sekolah untuk mengetahui dan memahami teori-teori ini sehingga mereka bisa berfungsi sebagai nara sumber dalam meningkatkan efektivitas pengajaran. Miskinnya pengetahuan kepala sekolah tentang pembelajaran manusia akan menjadi sulit bagi mereka untuk menjelaskan dan menjastifikasi sokongan teoritis terhadap strategi pembelajaran yang dipraktekkan. Selanjutnya, bersama dengan semakin pentingnya teknologi di sekolah-sekolah, kepala sekolah perlu dibekali dengan pengetahuan menyangkut integrasi teknologi ke dalam pembelajaran. Semakin dipandangnya kepala sekolah sebagai pemimpin yang memberi inspirasi kepada guru untuk mengadopsi pedagogi-pedagogi inovatif ke dalam ruangan kelas. Contohnya, jika beberapa siswa tidak sanggup membaca dan menulis di tingkat SLTP, kepala sekolah sebagai pemimpin pengajaran harus mengambil langkah-langkah untuk meringankan masalah  dengan membantu metode pembelajaran guru, mengalokasi sumber daya dan bahan, sering mengunjungi ruangan kelas, memberi masukan (feedback) menyangkut metode dan teknik mengajar dan menggunakan data untuk memberi perhatian pada peningkatan pengajaran dan kurikulum.[16]     
  1. Ketrampilan dan Pemimpin Pengajaran
            Disamping berpengetahuan di bidang-bidang utama pendidikan,  kepala sekolah musti memiliki ketrampilan tertentu untuk menjalankan tugas-tugas sebagai pemimpin pengajaran. Ketrampilan-ketrampilan ini adalah ketrampilan antarpribadi (interpersonal skills), ketrampilan perencanaan (planning skills), ketrampilan observasi pengajaran (instructional observation skills), dan ketrampilan-ketrampilan di bidang Penelitian dan evaluasi.
  • Ketrampilan interpersonal atau ketrampilan berhubungan/berkomunikasi dengan orang (people skills) sangat diperlukan demi keberhasilan seorang kepala sekolah. Ini adalah ketrampilan yang menjaga kepercayaan, memacu motivasi, memberdayakan dan meningkatkan kolegalitas. Hubungan dibangun atas kepercayaan dan tugas-tugas diselesaikan dengan pemberian motivasi dan pemberdayaan dimana guru terlibat dalam perencanaan, perancangan dan evaluasi program-program pengajaran. Pemberdayaan mengarah kepada kebangkitan rasa memiliki dan komitmen sebagai guru untuk mengidentifikasi masalah dan merancang strategi-strategi mereka sendiri. Kolegalitas mempromosikan saling tukar pikiran/pengalaman (sharing), kerjasama dan kolaborasi, yang di dalamnya kepala sekolah dan guru membicarakan tentang belajar-mengajar.
  • Perencanan mulai dengan pengidentifikasian tujuan (goals) atau visi (vision) yang jelas untuk bekerja terus dan juga merangsang tumbuhnya komitmen dan antusiasme. Selanjutnya adalah menilai perubahan apa yang perlu terjadi dan yang mungkin  bisa diselesaikan dengan meminta orang-orang terlibat, dengan membaca dokumen-dokumen dan mengamati apa yang sedang terjadi.
  • Mengobservasi pengajaran (supervision) bertujuan untuk menyediakan guru masukan-masukan (feedback) apa yang harus dipertimbangkan dan direfleksikan. Tetapi guru sebaiknya membuat keputusan-keputusan mereka sendiri dan mendapatkan kesimpulan mereka sendiri.
  • Ketrampilan penelitian dan evaluasi diperlukan untuk mempertanyakan secara kritis keberhasilan program-program pengajaran yang diprakarsai dan salah satu ketrampilan yang paling berguna adalah Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research).
Tugas menjadi pemimpin pengajaran adalah komplek dan multidimensi. Jika kepala sekolah yakin bahwa peningkatan pembelajaran siswa merupakan tujuan utama persekolahan, lalu itu menjadi sebuah tugas yang sangat berguna untuk dipelajari. Jika seorang kepala sekolah memiliki pengetahuan dan ketrampilan-ketrampilan ini dia lebih mungkin menjadi pemimpin-pemimpin yang efektif – yang berbagi (sharing), memfasilitasi (facilitating), dan memberi arahan bagi keputusan-keputusan menyangkut peningkatan pengajaran demi kemajuan pendidikan siswa.

  1. Kesimpulan
            Jika kepala sekolah mengambil peran sebagai pemimpin pengajaran secara serius, mereka harus membebaskan diri dari tugas-tugas birokrasi dan fokus pada usaha mereka terhadap peningkatan belajar-mengajar. Peningkatan pembelajaran adalah suatu tujuan (goal) penting,  untuk diraih, dan suatu tujuan ketika diimplementasikan, membuat siswa dan guru mengontrol tujuan mereka sendiri dalam menciptakan suasana pembelajaran yang lebih berarti. Brewer mengusulkan bahwa peran kepala sekolah sebagai pemimpin pengajaran diperluas untuk berpindah dari "manajemen" (bekerja dalam system tugas administrasi) ke "kepemimpinan" (bekerja pada sistim) dan itu disebut dengan ‘kepemimpinan pengajaran’.[17] Untuk menggapai tujuan ini, akan memerlukan lebih dari seorang kepala sekolah yang kuat dengan ide-ide nyata dan keahlian teknis. Kita memerlukan definisi ulang peran kepala sekolah, yang memindahkan halangan-halangan menuju kepemimpinan (leadership) dengan cara memangkas struktur-struktur birokrasi dan menemukan kembali hubungan-hubungan.
            Singkat kata, "peran yang berbeda secara dramatis" dari pada kepala sekolah sebagai menejer menjadi pemimpin pengajaran disorot oleh Brewer, sebagai “seseorang yang perlu memfokuskan pengajaran; menciptakan komunitas belajar; berbagi dalam pengambilan keputusan; mempertahankan aturan-aturan dasar-dasar; meluangkan waktu untuk urusan pembelajaran; mendukung pengembangan profesi untuk semua staff; mengarahkan kembali sumber daya untuk mendukung rencana sekolah yang beraneka ragam; dan menciptakan iklim integritas, penelitian, dan peningkatan yang terus-menerus.”
            Banyak literatur menyangkut kepemimpinan pengajaran memiliki kesamaan yaitu mengklaim ada tiga dimensi utama yang harus dijalankan kepala sekolah dalam melaksanakan kepemimpinan pengajaran, yaitu merumuskan visi/misi sekolah; mengurus kurikulum; menciptakan iklim pembelajaran sesama guru.
            Berdasarkan sumber-sumber yang dapat diakses dapat didefinisikan kepemimpinan pengajaran (instructional leadership) sebagai kepemimpinan kepala sekolah yang memihak kepada pengajaran atau kepemimpinan yang memperhatikan secara serius urusan akademik. Menurut Halingger, untuk menjalankan kepemimpinan pengajaran kepala sekolah diminta untuk menjalankan 10 fungsi berikut: merumuskan visi misi sekolah dan mensosialisasikannya, mengkoordinasikan kurikulum, mensupervisi dan mengevaluasi pengajaran, memonitor kemajuan siswa, melindungi waktu untuk pengajaran, memberi insentif untuk guru, menyediakan insentif untuk siswa, menjaga visibilitas yang tinggi dan mempromosikan pengembangan profesi.[18]   Karena kebanyakan kepala sekolah tidak memiliki pengetahuan yang memadai menyangkut kepemimpinan pengajaran, pelatihan bagi kepala sekolah untuk mendapat pengetahuan dan ketrampilan menyangkut kepemimpinan pengajaran sangat mendesak untuk dilaksanakan.    



DAFTAR PUSTAKA
Blase, J. dan Blase Jo., “Effective Instructional Leadership: Teachers’ Perspectives on How          Principals Promote Teaching and Learning in Schools,” Journal of Educational Administration 38(2), (2000), hal. 130-41.
Brewer, H., “Ten Steps to Success,” Journal of Staff Development 22(1), (2001), hal.30-31.
Brookover, W. B., & Lezotte, L., Creating Effective Schools, (Holmes Beach, FL: Learning           Publication, 1982).
DuFour, Richard, “The Learning-Centered Principal,” Educational Leadership 59(8), (2002),        hal. 12-15.
Fiddler, F.E., “School Leadership: Some Keys Ideas,” School Leadership and Management          17(1), (1997), hal. 23-37.
Flath, B., “The Principal as Instructional Leader,” ATA Magazines 69(3), (1989), hal.19-22.
Fullan, M., The New Meaning of Educational Change, (New York: Teachers College Press,           1991).
Hallinger, P., “School Leadership That Makes a Difference: Lessons from 30 Years of       International Research,” (Rome: Ministry of Education, October 4, 2012), diakses dari:         Philiphalinger.com/instructional-leadership-2/
Hallinger, P., L. Bickman & K. Davis, “School Context, Principal Leadership, and Student           Reading Achievement,” The Elementary School Journal 96(5), (1996), hal.527.
Hallinger, P & Murphy, J., “Assessing the instructional behavior of principals,” Elementary           School Journal, 86, (1985), 217-247.
Harden. G., “The Principal as Leader Practitioner,” The Clearing House 62(2), hal. 87-88.
Hoy A.W & Hoy W.K, Instructional Leadership: A Research Based Guide to Learning in             Schools, (Boston: Pearson, 2009).
Lashway, L. , “Developing Instructional Leaders,” ERIC Digest 160 (Juli), (Clearinghouse on       Educational Management, University of Oregon, 2002).
Mendez-Morse, S., “The principal’s Role in The Instructional Process: Implications for At-Risk    Students,” Issues About Change 1(2), (1991), hal.1-5.
National Association of Elementary School Principals, Leading Learning Communities:     Standards for What Principals Should Know and Be Able to Do, (Alexandria, Virginia, 2001).
Phillip, J.A., Manager-Administrator to Instructional Leader: Shift in The Role of The School       Principal [artikel jurnal on-line], diakses 23 April, 2013 dari:    Peoplelearn.homestead.com/principalInstructleader.
Stronge, J. H., “A Position in Transition?” Principal 67(5), (1988), hal.32-33.
Weindling, D., “The Secondary School Head Teacher: New Principals in The United         Kingdom,” National Association of Secondary School Principals Bulletin 74(526),           (1990), hal.40-45.
Whitaker, B., “Instructional Leadership and Principal Visibility,” The Clearinghouse 70(3),           (1997), hal.155-156.



[1] Brookover, W. B., & Lezotte, L., Creating Effective Schools, (Holmes Beach, FL: Learning Publication, 1982).
[2] Lashway, L. , “Developing Instructional Leaders,” ERIC Digest 160 (Juli), (Clearinghouse on Educational Management, University of Oregon, 2002).
[3] Stronge, J. H., “A Position in Transition?” Principal 67(5), (1988), hal.32-33.
[4] Fullan, M., The New Meaning of Educational Change, (New York: Teachers College Press, 1991).
[5] Flath, B., “The Principal as Instructional Leader,” ATA Magazines 69(3), (1989), hal.19-22.
[6]  Hoy, A.W & Hoy, W. K, Instructional Leadership: A Research Based Guide to Learning in Schools, (Boston: Pearson, 2009).
[7] DuFour, Richard, “The Learning-Centered Principal,” Educational Leadership 59(8), (2002), hal. 12-15.
[8] National Association of Elementary School Principals, Leading Learning Communities: Standards for What Principals Should Know and Be Able to Do, (Alexandria, Virginia, 2001).
[9] Blase, J. dan Blase Jo., “Effective Instructional Leadership: Teachers’ Perspectives on How Principals Promote Teaching and Learning in Schools,” Journal of Educational Administration 38(2), (2000), hal. 130-41.

[10] Hallinger, P., L. Bickman & K. Davis, “School Context, Principal Leadership, and Student Reading Achievement,” The Elementary School Journal 96(5), (1996), 527.
[11] Fiddler, F.E., “School Leadership: Some Keys Ideas,” School Leadership and Management 17(1), (1997), 23-37.
[12] Weindling, D., “The Secondary School Head Teacher: New Principals in The United Kingdom,” National Association of Secondary School Principals Bulletin 74(526), (1990), hal.40-45.
[13] Harden. G., “The Principal as Leader Practitioner,” The Clearing House 62(2), hal. 87-88.
[14] Whitaker, B., “Instructional Leadership and Principal Visibility,” The Clearinghouse 70(3), (1997), hal.155-156.

[15] Phillip, J.A., Manager-Administrator to Instructional Leader: Shift in The Role of The School Principal [artikel jurnal on-line], diakses 23 April, 2013 dari: Peoplelearn.homestead.com/principalInstructleader.
[16] Mendez-Morse, S., “The principal’s Role in The Instructional Process: Implications for At-Risk Students,” Issues About Change 1(2), (1991), hal.1-5.

[17] Brewer, H., “Ten Steps to Success,” Journal of Staff Development 22(1), (2001), hal.30-31.

[18] Hallinger, P & Murphy, J., “Assessing the instructional behavior of principals”,   Elementary School Journal, 86, (1985), 217-247.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar