Sabtu, 10 Mei 2014

KUALITAS PELAKSANAAN UJIAN NASIONAL (UN)


UN ‘Ngapain Dipikirin’
Senin, 5 Mei 2014 09:03 WIB
Oleh Rahmad Nuthihar

                PADA minggu terakhir menjelang Ujian Nasional (UN) ketika saya mengajar di sebuah Sekolah Menengah Pertama (SMP), ada pernyataan nyeleneh yang seolah-olah menganggap sepele perihal UN. Siswa-siswa saya tersebut ketika saya tanyakan tentang persiapan UN, mereka justru menjawab: “UN, ngapain dikirin?” Pernyataan ini lazim diucapkan oleh siswa SMP kelas IX yang mengikuti UN 2014, pada 5 April ini.
                Dari jawabab/pernyataan yang terkesan asal bunyi itu, tampak para siswa tersebut memang menyepelekan/menganggap remeh perihal penentu kelulusan mereka untuk dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi (SMA/SMK/MA sederajat), di mana para siswanya telah mengikuti UN 2014 pada pertengahan April lalu.
                Boleh jadi, sikap nyeleneh tersebut di antaranya timbul karena melihat pencapaian para seniornya yang telah lulus. Sebab, ada di antara senior mereka yang dulunya malas belajar dan memiliki nilai di bawah rata-rata, justru ketika mengikuti UN, mereka lulus dengan jalan yang mulus.
                Dampaknya, sikap menyepelekan UN kini melekat pada generasi selanjutnya seperti sikap siswa-siswa kelas IX sekarang. Sehingga pada saat saya mengajarkan pelajaran Bahasa Indonesia, ada beberapa siswa yang enggan mengikuti pelajaran. Entah itu karena profesi yang saya jalani masih berupa program pengalaman lapangan (PPL). Namun ada juga yang berasumsi bahwa kelulusan mereka itu akan dibantu oleh para guru atau teman-temannya dari sekolah lain.
                Bantuan dimaksudkan itu tidak lain adalah akan mendapat bocoran jawaban dari guru, siswa sekolah lain ataupun pihak-pihak tertentu. Padahal, dewan guru sepenuhnya tidak akan memberi kunci jawaban meskipun siswanya itu terancam tidak lulus. Mengingat, upaya yang diberikan oleh guru sudah sepenuhnya dijalankan, mulai dari try out, latihan mengejarkan soal, bahkan motivasi untuk belajar kerap diberikan kepada siswa ketika proses pembelajaran berlangsung.
Menganggap remeh
                Mengikuti UN dengan tanpa beban bukan berarti menganggap remeh pelajaran yang diujiankan nantinya. Sikap tenang dan menjauhkan dari stres memang penting saat mengerjakan soal. Mengingat ujian tersebut menguras energi dan pikiran. Di samping itu, siswa-siswa sering mengaku, jenuh dan malas membaca soal bahasa Indonesia yang katanya kalimat di soal itu sangat panjang.
                Oleh sebab itu, kemampuan mereka untuk memahami soal cenderung minim. Pada dasarnya, soal yang dibuat dalam bentuk multiple choise (pilihan ganda) dalam prinsip evaluasi pendidikan, bukanlah untuk memudahkan siswa mengerjakan soal. Akan tetapi, pilihan tersebut tidak lain adalah membuat siswa yang bodoh menjadi terkecoh dengan pilihan-pilihan yang ditawarkan. Kurangnya kesadaran untuk belajar secara intens di kalangan siswa menengah pertama merupakan dampak ketibakberartian UN itu sendiri. Sebagai gambaran, seorang siswa yang tidak lulus mengikuti UN, ia diperkenankan untuk mengikuti ujian paket B. Tak jauh berbeda dengan UN, setiap siswa yang lulus paket B juga diperkenankan melanjutkan ke sekolah jenjang selanjutnya. Hanya saja di beberapa sekolah unggulan tidak menerima lulusan B.
                Akan tetapi, kenyataanya di Aceh sangat banyak sekolah negeri maupun swasta yang sedia menampung lulusan paket B. Pilihan lainnya, orang tua siswa lulusan paket B akan membuat surat pindah ketika ia telah diterima di sekolah sebelumnya ke sekolah unggulan yang diinginkannya.
                Dampak dari ketidaklulusan UN sendiri selalu dimuarakan ke guru, kepala sekolah, dan yang sangat disalahkan adalah kepala dinas pendidikan. Ketidakmampuan peran Dinas Pendidikan dalam hal menjalankan tupoksinya sebagai stakeholder di dunia pendikan menjadi bumerang baginya. Untuk menghindarkan dan menutupi kejelekannya, ada Dinas Pendidikan di kabupaten tertentu yang menghalalkan berbagai cara untuk meluluskan siswa tersebut. “Serangan fajar” misalnya, siswa dimintakan hadir di pagi buta dan para guru yang telah mengerjakan soal di malam hari, lalu memberikan jawaban ke siswanya.
                Hal ini dilakukan oleh kepala sekolah agar posisinya sebagai orang nomor satu di sekolah tersebut tidak terlengser. Kepala dinas pendidikan pun demikian. Ia tidak mau dianggap orang yang tidak berkompeten dalam hal menjalankan tupoksinya. Maka membentuk tim yang diketuai oleh kepala sekolah dalam mencari jawaban adalah alternatif yang menurutnya tepat.
                Ada peribahasa Aceh mengatakan: Keudè tan pangkai pakriban tameukat (kedai tak bermodal, bagaimana berjualan). Dalam konteks pendidikan, peribahasa tersebut bermakna bahwa “orang yang tak berilmu pengetahuan, bagaimana hendak mengajar/mendidik orang lain.”
                Peribahasa tersebut mengajarkan kepada kita agar orang yang menduduki peran penting di suatu instansi pemerintah haruslah benar-benar mampu menguasai medannya (ranah) kerjanya. Sebagai contoh, saat ini di Kabupaten Aceh Barat, misalnya, Kepala Dinas Pendidikan dijabat oleh seorang lulusan Fakultas Hukum (Sarjana Hukum). Di samping itu, kegiatan Kepala Dinas Pendidikan Aceh Barat pun dilaksanakan oleh pelaksana harian (PLH) yang juga memiliki jabatan kepala Bapedda Meulaboh.
                Layakkah hal demikian? Mengapa tidak digantikan saja oleh sekretaris ataupun pejabat bewenang, haruskah orang yang selalu ‘dekat’ dengan penguasa diberi tugas tambahan ini? Kenyataanya PLH ini sendiri punya keterbatasan, terutama ia tidak dapat mengambil keputusan tertentu yang ada kalanya memang urgen dilakukan.

 Kecurangan UN
                Terakhir menurut hemat saya, dalam pelaksanaan UN ini sendiri akan banyak sekali kecurangan. Pengawas idependen, pengawas sekolah, aparat kepolisian bahkan penjaga kantin, telah ikut andil dalam kecurangan UN. Tak ada lagi ujian yang berlangsung secara jujur. Jika Anda memang berani, tolong tempatkan polisi sesudah shalat Shubuh di sekolah! Pastikan ruangan sekolah steril dari bentuk-bentuk kecurangan dan juga tidak ada siswa-siswa menggadakan jawaban! Larang siswa membawa atau memasukkan HP ke ruang ujian. Kemudian, kamar mandi sekolah mohon dikunci, saat UN berlangsung. Toh di sana ada titipan dari seseorang yang menentukan ia lulus tidaknya UN.
                Semoga saja, sekarang dan di masa-masa yang akan datang tidak ada lagi pernyataan: “UN ngapain dipikirin?”. Selamat UN

* Rahmad Nuthihar, Guru PPL di SMP Negeri 13 Banda Aceh, dan Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Fakultas Keguruan dan Imu Pendidikan (FKIP), Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Email: rahmad.nuthihar@gmail.com


 

Mengapa UN Dikawal Ketat?
Senin, 5 Mei 2014 08:58 WIB
Oleh Harri Santoso

                SETELAH Ujian Nasional (UN) bagi siswa sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) pada 14 April lalu, kini tiba giliran UN untuk pelajar sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP). Sebagaimana UN tingkat SMA/SMK/MA sederajat yang telah digelar itu, maka kali ini pun pihak keamanan dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia (Polri) kembali memberikan pengamanan pelaksanaan UN bagi siswa SMP/Mts sederajat, baik di tingkat pusat, daerah dan kota di seluruh Indonesia, termasuk di Aceh.
                Tak ketinggalan pihak Ombudsman Perwakilan Aceh, juga membentuk tim khusus untuk mengawasi pelaksanaan UN agar tidak terjadi kecurangan baik sebelum maupun pada saat pelaksanaan UN. Bagi penulis, kondisi ini sungguh memprihatinkan, sebab UN adalah hajatan yang dilakukan oleh kaum-kaum intelektual untuk melihat dan mengevaluasi sejauhmana perkembangan dan hasil yang telah didapatkan para peserta didik selama tiga tahun baik di tingkat SLTA maupun SLTP.
                Jika yang terjadi adalah besarnya kasus kecurangan terhadap pelaksanaan UN, baik yang dilakukan oleh pihak sekolah maupun siswa, hal ini telah menunjukan bahwa pendidikan kita memiliki masalah besar. Terlepas dari perlukah UN dilaksanakan menurut hemat penulis kejadian ini telah mengindikasikan bahwa sistem pendidikan kita telah gagal membentuk manusia dan masyarakat berperadaban, ketidakpercayaan pemerintah terhadap penyelenggara pendidikan dalam hal ini sekolah-sekolah dan krisis percaya diri baik pada guru dan peserta ajar.

 Gagalnya Sisdiknas
                Menurut Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), menyebutkan bahwa sistem pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
                Sejak pelaksanaan UN menerapkan angka minimal kelulusan, maka sejak saat itu pula banyak sekali kasus kecurangan yang terjadi seperti yang terjadi di Kota Surabaya, seorang anak diberikan peran oleh gurunya untuk membantu teman-teman sekelasnya dengan cara memberikan kunci jawaban yang benar, kasus pembocoran soal ujian, pemberian kunci jawaban oleh oknum guru dan sekolah kepada siswanya hingga kasus yang baru saja terjadi yaitu seorang remaja berperan sebagai joki ujian (Media Indonesia, 2014).
                Jika kita kaji lebih dalam perilaku curang, joki atau membantu siswa untuk bisa lulus dengan cara pemberian bocoran jawaban adalah simbol bahwa insan pendidikan kita tidak memiliki ketaqwaan kepada Tuhan YME sehingga mereka melakukan segala hal untuk dapat lulus dan meluluskan siswanya meskipun dengan cara yang tidak benar sehingga jangan heran jika perilaku ini berlanjut maka kita akan melihat di bidang-bidang lain seperti politik, sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia telah menjadikan perilaku curang dalam berbagai bentuknya telah menjadi budaya kita.
                Sebagai contoh, kasus manipulasi suara di dunia politik, manipulasi data untuk penerima bantuan sosial hingga spekulasi harga di bidang ekonomi adalah sebagai bukti bahwa sistem pendidikan kita telah gagal melahirkan manusia Indonesia yang bertanggung jawab dan berakhlak mulia.
                Selanjutnya, sistem pengawalan berlapis yang dilakukan pihak pemerintah baik Kemendikbud, Kepolisian dan unsur masyarakat lain terhadap jalannya proses pelaksanaan UN 2014 menunjukan bahwa adanya ketidakpercayaan Pemerintah terhadap kredibilitas kejujuran pihak penyelenggara sekolah.
                Hal ini tentu saja mengkhawatirkan masyarakat dan penulis, jika hari ini masyarakat telah apatis terhadap kejujuran para politisi atau bidang-bidang yang terkait dengan politik, ternyata pada saat yang sama kita juga sudah tidak mempercayai para pendidik kita dan anak kita. Oleh karenanya bagi guru dan praktisi pendidikan serta orang-orang yang peduli terhadap dunia pendidikan, jangan menganggap remeh permasalahan ini.
                Mari mencari jalan keluar untuk menjadikan insan-insan pendidik di Indonesia khususnya Aceh kembali di percaya oleh masyarakat. Terkait dengan ini penulis teringat dengan sebuah tulisan Citizen Reporter yang dimuat harian ini pada 8 November 2013 tulisan yang di tulis oleh seorang mahasiswa Aceh yang sedang belajar di St Olaf College Northfield Minnesota, Amerika Serikat, diceritakan oleh beliau bahwa di kampus ini dosen dan pengawas tidak diizinkan untuk berada dalam ruangan saat mahasiswa mengikuti ujian.
                Dan uniknya ketika beliau mengikuti ujian tidak ada satu orang pun yang beranjak dari kursinya atau bertanya kesana kemari untuk menyelesaikan ujian mereka. Tidak ada kecurangan di dalamnya, mereka mampu menanamkan nilai kejujuran kepada semua mahasiswa sehingga tidak kita temui fenomena yang terjadi hari ini di masyarakat kita, lantas apakah kita harus menunggu dan pasrah terhadap keadaan ini?

 Beberapa kasus
                Dalam beberapa pemberitaan baik media massa atau pun “kabar burung” yang penulis dengar di tengah masyarakat, ada beberapa kasus seperti pemberian kunci jawaban oleh oknum guru, siswa dan warga sekolah lainnya. Ini menunjukan bahwa guru tidak mempercayai bahwa dirinya telah berusaha maksimal terhadap proses pengajaran di sekolah sehingga merasa perlu untuk “membantu” siswa dengan cara memberikan kunci jawaban.
                Selanjutnya murid-murid yang saling memberikan kunci jawaban menunjukan bahwa mereka tidak percaya terhadap kemampuan dirinya sendiri sehingga mereka memerlukan bantuan orang lain meskipun bantuan itu dilarang dalam aturan. Ketidakpercayaan terhadap diri yang diikuti lemahnya moral serta keyakinan terhadap Tuhan YME memicu orang untuk melakukan hal apa saja sepanjang tujuan mereka tercapai.
                Oleh karena itu, penulis berharap pemerintah dan masyarakat pendidikan mampu mengevaluasi dan mengambil hikmah dari apa yang telah terjadi hari ini, yaitu kejujuran adalah barang langka dan kecurangan adalah sebuah keharusan di negeri ini. Namun penulis yakin bahwa proses pendidikanlah yang mampu meletakkan manusia dalam derajat yang paling tinggi, yaitu manusia pintar dan jujur yang senantiasa patuh dan taat terhadap norma yang ada di masyarakat.

* Harri Santoso, S.Psi, M.Ed., Dosen Psikologi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), dan Direktur Eksekutif Yayasan Peduli Penyandang Disabilitas Aceh. Email: harri_uma81@yahoo.com


Ket. Opini ini diambil Koran Serambi Indonesia edisi senin tanggal 5 Mei 2014