Minggu, 19 Mei 2013

Kriteria Evaluasi Kurikulum

http://blog2.tp.ac.id/anisyafitri/2012/12/30/tentang-kriteria-evaluasi-kurikulum/

Tentang Kriteria Evaluasi Kurikulum

Landasan pengelompokan kriteria evaluasi kurikulum adalah :
  • Hubungan antara kurikulum dengan evaluasi. Hal ini dapat diartikan sebagai posisi sumber kriteria terhadap kurikulum. Dengan kata lain apakah kriteria itu berasal dari kurikulum ataukah berada diluar kurikkulum ataukah berada diantaranya.
  • Waktu pada saat kriteria untuk evaluasi tersebut dikembangkan. Hal ini berkaitan dengan situasi dan kondisi terhadap kegiatan pelaksanaan evaluasi kurikulum. Oleh karena itu penetapan waktu dengan penetapan kriteria haruslah disesuaikan.
    Berdasarkan landasan tersebut diatas, maka Fullan dan Pomfret mengklasifikasikan empat pengembangan kelompok kriteria evaluasi kurikulum, yakni :
1. Pendekatan kriteria Pre-ordinate
Karakteristik pendekatan Pre-ordinate ada dua, yakni :
  • Kriteria ditetapkan pada waktu kegiatan evaluasi kurikulum belum dilaksanakan yang masih dalam bentuk rancangan.
  • Kriteria tidak dikembangkan dari karakteristik kurikulum yang dievaluasi melainkan dikembangkan dari sesuatu yang sudah dianggap baku (standar).
    Pada umumnya kriteria pre-ordinate juga sudah dikembangkan dalam bentuk instrumen evaluasi. Kebanyakan instrumen evaluasi tersebut berhubungan dengan dimensi kurikulum sebagai hasil belajar, yakni kegiatan pemusatan perhatian terhadap pencapaian hasil belajar. Alat evaluasi yang digunakan juga bersifat baku, seperti validitas dan reabilitas yang dilakukan menurut prosedur tradisi psikometrik (evaluator tetap menguji kedua atribut penting psikometrik tersebut berdasarkan data yang telah dikumpulkan.
Keleluasaan dalam pengembangan kriteria menyebabkan pendekatan pre-ordinate memberikan kesempatan untuk mengevaluasi kurikulum diberbagai perspektif. Demikian juga dengan adanya kriteria yang jelas dalam mengevaluasi kurikulum merupakan kekuatan mpendekatan pre-ordinate. Dengan menggunakan kriteria yang berlaku umum, setiap kurikulum diharapkan memenuhi standar yang sama. Pertimbangan yang akan diberikan evaluasi terhadap kurikulum yang dievaluasi pun tidak terpengaruh oleh karakteristik kurikulum ataupun keadaan setempat. Perbandingan mengenai kekuatan dan kelemahan berbagai kurikulum yang dievaluasi dapat dilakukan apabila evaluasi kurikulum menggunakan pendekatan pre-ordinate.
Keuntungan dan kekurangan :
Keuntungan yang dimiliki pendekatan pre-ordinate adalah sekaligus merupakan kekurangannya juga, karakteristik kurikulum tidak sepenuhnya dievaluasi, hanya unsur –unsur yang bersifat umum saja.
Maka kekurangannya terletak pada : siswa tidak mendapat penghargaan sebagai mana mestinya, evaluan tidak diperlakukan secara adil, usaha para pengembang kurikulum untuk memberikan ciri- ciri tertentu dalam kurikulum yang dikembangkannya tidak mendapat pengakuan.
2. Pendekatan Kriteria Fidelity
Pendekatan pengembangan kriteria fidelity menggunakan kriteria yang dikembangkan sebelum evaluator turun kelapangan untuk mengumpulkan data. Pendekatan fidelity tidak menggunakan kriteria yang bersifat umum tetapi dengan kurikulum yang dikembangkan dari kurikulum itu sendiri. Pendekatan pengembangan kriteria fidelity juga mengandung pengertian, apabila evaluator mengembangkan kriterianya berdasarkan persepsi para pengembang kurikulum.
Mengapa kriteria fidelity diperlukan?
  • Untuk mendeterminasi apakah ketidaksuksesan outcomenya merupakan refleksi dari kegagalan implementasi penggunaan model yang sudah diterapkan.
  • Untuk mengetahui seberapa besar komponen kurikulum yang telah terlaksana.
  • Untuk mendeterminasi bagaimana suatu program dijalankan dan bagaimana implementasinya.
  • Untuk menetukan perlakuan nyata yang mengantarkan pada perkembangan yang original
  • Untuk memberikan judgment apakah hasil belajar yang diperoleh peserta didik adalah hasil belajar dari kurikulum yang sedang dilaksanakan atau bukan.
  • Untuk melakukan evaluasi kurikulum yang sama tetapi dilaksanakan dalam berbagai lingkungan yang berbeda.
  • Untuk membandingkan pelaksanaan kurikulum yang sama dalam bentuk implementasi atau kegiatan di dua tempat atau lebih tempat yang berbeda.
Kelemahan dan kekuatan pendekatan fidelity adalah :
  • Kelemahan terletak pada evaluator yang tidak dapat membandingkan dua kurikulum atau lebih. Mereka hanya dapat mengevaluasi pada satu kurikulum saja, masalah akan timbul dari validitas alat tes (evaluasi) yang digunakan mungkin alat tersebut sahih untuk salah sattu kurikulum tetapi tidak untuk kurikulum yang lainnya. Keadaan ini menyebabkan hasil bandingan yang dibuat evaluator merupakan hasil semu.
  • Kekuatan terletak pada pertanyaan sampai seberapa jauh tujuan dan karakteristik utama suatu kurikulum tercapai. Kekuatan yang dimiliki pendekatan fidelity ini menyebabkan evaluasi yang menggunakan pendekatan ini disebut sebagai evaluasi instrinsik.
3. Kriteria Mutually Adaptive (menggunakan sumber gabungan)
Pendekatan mutually adaptive adalah pendekatan yang menggunakan criteria baik yang dikembangkn dari karakteristik kurikulum yang dijadikan evaluan maupun dari luar. Pendekatan ini merupakan gabungan dari pendekatan gabungan antara pre-ordinate, fidelity, dan proses. Untuk evaluasi kurikulum, kriteria gabungan itu untuk suatu dimensi kurikulum, evaluasi dengan pendekatan pengembangan kriteria gabungan menggunakan berbagai sumber kriteria untuk mengukur berbagai dimensi kurikulum terjadi untuk suatau sttudi evaluasi, tetapi masing – masing kriteria digunakan untuk mengukur dimensi kurikulum yang berbeda. Berdasarkan pendekatan ini, maka Berman dan McLaughlin (1976 : 350) menyebutkan bahwa keberhasilan dari suatu implementasi kurilulum diukur menurut kondisi – kondisi berikut ini:
  • Keberhasilan yang dihayati mereka yang terlibat dalam pengembangan kurikulum (perceived success)
  • Perubahan perilaku baik dalam jenis maupun dalam dalam besarnya yang terjadi pada para guru dan pelaksana administratif sebagaimana dinyatakan oleh para pengembang kurikulum.
  • Fidelity implementasi yang menyatakan seberapa jauh kurikulum sebagai rencana telah dilaksanakan dalam benttuk kurikulum sebagai kegiatan.
Sedangkan menurut Leinhardt (1977 : 227), karakteristik kurikulum adalah :
  • Menyediakan lingkungan yang adaptif bagi kebutuhan pendidikan siswa
  • Kurikulum tersebut diorganisasikan dan dikemukakan sedemikian rupa untuk mengajarkan dan memperkuat (reinforcement) keterampilah dasar kognitif
  • Siswa melakukan kontrol dan pengaturan sendiri untuk apa yang dipelajarinya asalkan masih dalam konteks kurikulum.
Ketiga karakteristik kurikulum ini, melahirkan enam dimensi utama masalah dalam kurikulum yaitu : suasana belajar dikelas, pembagian waktu, prosedur pemberian tugas dalam matematika, monitoring kemajuan siswa, pemberian kesempatan bagi siswa untuk mengatur diri sendiri, dan kehadiran siswa.
Enam criteria umum yang diggunakan dalam mengidentifikasi kurikulum menurut Levin (1986) adalah : efisiensi, relevansi, validitas, kemungkinan perubahan (modifiability), dan kegunaan (usability).
Adapun keuntungan dan kerugian dari pendekatan gabungan ini adalah :
Keuntungan :
  • Evaluator diberikan kesempatan untuk menggunakan berbagai kesempatan untuk mendapatkan sumber – sumber kriteria. Dengan adanya kemungkinan ini, evaluator mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang evaluan sehingga pertimbangan yang diberikannya terhadap kurikulum menjadi lebih baik.
  • Kurikulum yang dipelajari betul – betul mendapatkan penghargaan yang tidak hanya berdasarkan pada apa yang dimilikinya tetapi juga mempunyai arti tentang apa yang dimilikinya tersebut terhadap sesuatu diluar dirinya sendiri.
  • Evaluator dituntut memiliki pengetahuan yang luas mengenai berbagai kriteria yang ada serta teori yang menjadi dasar kiteria tersebut.
Kekurangan : belum adanya rumus mengenai keluasan pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang evaluator.
Syarat – syarat yang perlu diperhatikan dalam membandingkan dua buah kurikulum atau lebih dalam pendekatan gabungan ini adalah :
  • Kriteria yang digunakan untuk perbandingan bersifat umum.
  • Kriteria yang bersifat umunm tersebut haruslah diberlakukan sedemikian rupa sehingga informasi yang ada tidak dipakai untuk memberikan pertimbangan mengenai nilai masing – masing kurikulum.
  • Kriteria umum itu baru memperoleh makna yang sebaik – baiknya apabila diperhitungkan dengan fakta mengenai keadaan masing – masing kurikulum, baik persamaan maupun perbedaan.
4. Kriteria dari Lapangan (Proses)
Pendekatan proses bertumbuh dan berkembang menjadi suatu pendekatan penting dalam evaluasi kurikulum dan merupakan suatu konsekuensi dari pandangan baru terhadap evaluasi evaluasi dan penggunaan metode yang dikembangkan dari naturalistic inquiry, atau kualitatif dari pandangan aliran filsafat fenomenologi.
Karakteristik pendekatan proses adalah :
  • Kriteria yang digunakan untuk tidak dikembangkan sebelum evaluator berada dilapangan tetapi dikembangkan selam evaluator berada dilapangan.
  • Berhubungan erat dengan kenyataan yang ada dilapangan
  • Kurikulum yang ada dipelajari dan dijadikan kerangka berpikir kasar ketika evaluator akan mengunjungi lapangannya.
  • Evaluator sangat perduli terhadap dengan masalah yang dihadapi oleh para pelaksana kurikulum dilapangan.
  • Pada waktu mengembangkan criteria evaluator secara langsung harus berhubungan dengan masalah – masalah lapangan yang dihadapi oleh para pelaksana kurikulum.
  • Model pendekatan proses berhubungan erat dengan pemakaian/aplikasi pendekatan kualitatif.



Senin, 13 Mei 2013

Sya-e 2 Bang Safdi



GASEH KEU ALLAH
Oleh : Muhammad Safdy

Assalamu’alaikum warahmatullah
Jaroe dua blah ateuh jeumala
Seulaweut saleum keu Rasulullah
Geunaseh Allah sipanyang masa

Lewat menara panton meu kisah
Geulanto lidah bak peugah haba
Judo ta peunan gaseh keu Allah
Bek salah kaprah dum manusia

Seubab lawet nyoe laen that surah
Gaseh keu Allah jino meutuka
Keu manusia gaseh ka salah
Si ulah-ulah hana meudesya

Jikheun valentine bak tanggai lhee blah
Hana le batas mudi ngon muda
Geujak rayakan ata gob keubah
Padahai Allah hana geu ridha

Gaseh ngon sayang bandum ka jeulah
Lagee geu peugah Rasul Mustafa
Meunyoe ka haleu ngon ta meunikah
Di gata ka sah untuk meu cinta

Meubek ta peuto larangan Allah
Peu jioh bagah iblieh peu doda
Walau tan soe eu toe laot luwah
Keu azeub Allah beuna ta kira

Budaya luwa gata bek latah
Sareng beu get pah pakek keupala
Nanggroe geutanyoe Aceh meutuwah
Beda sileupah deungon eropa

Peulom digata dara nyang ceudah
Bek salah langkah dudoe keucewa
Neu peukong iman ingat keu Allah
Akhe geu keubah dalam syiruga

Uleh seubab nyan umi ngon ayah
Beu tatem papah mudi ngon muda
Beuna ta bimbing ngon ilme Allah
Mangat beu leupah apui nuraka

Meumada ‘oh noe panton lon kisah
Keu ubat susah hate nyang lara
Ta lakee do’a ka nibak Allah
Aceh meutuwah beu jioh bala


Barabung, 14 Mei 2013

Muhammad Safdy adalah mahasiswa Program Studi Supervisi Pendidikan Islam
IAIN Ar-Raniry 2012, email: safdyhati@gmail.com



Opini



UJIAN “MORAL” NASIONAL
Oleh Muhammad Safdy B
      Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah melaksanakan “resepsi” tahunan ujian akhir nasional secara serentak di seluruh tanah air. Ujian ini digelar berjenjang mulai dari tingkat SMA/MA/SMK, SMP/MTs dan SD/MI. Meski menuai pro dan kontra, agenda tahunan sekolah ini tetap optimis dilaksanakan sesuai jadwal.
Hasil laporan di lapangan, pelaksanaan UN tahun ajaran 2012/2013 ini mengalami berbagai permasalahan. Baik teknis maupun non teknis. Mulai dari keterlambatan soal ujian ke sekolah-sekolah, tipisnya lembaran jawaban hingga kecurangan terselubung masih menjadi hot isu seputar pelaksanaan agenda tahunan ini.
Demi melihat berbagai permasalahan tersebut, ada baiknya semua pihak kembali me-reviuw berbagai persoalan di balik pelaksanaan ujian nasional. Salah satu aspek yang butuh perhatian kita adalah tujaun riil dari pelaksanan ujain nasional dan imbasnya terhadap moral siswa sebagai peserta didik.
        Manusia Indonesia khususnya pada usia sekolah (7-19 tahun) menyumbang berbagai persoalan bangsa. Terutama pada usia remaja. Berbagai macam tindak penyimpangan melibatkan remaja di dalamnya. Diantara tindakan tersebut seperti tawuran, geng motor, pergaulan bebas, narkoba, dan sebagainya. Ini merupakam fenomena degradasi moral. Hal ini tentu sangat jauh dari tujuan pendidikan yang sebenarnya, yaitu menjadikan manusia yang berakhlak mulia. Dan lebih parahnya lagi akan membuat kehancuran bangsa ini. 
      Menurut Thomas Lickona (Sutawi, 2010), ada 10 aspek degradasi moral yang melanda suatu negara yang merupakan tanda-tanda kehancuran suatu bangsa. Kesepuluh tanda tersebut adalah (1) meningkatnya kekerasan pada remaja (2) penggunaan kata-kata yang memburuk (3) pengaruh peer group (rekan kelompok) yang kuat dalam tindak kekerasan (4) meningkatnya penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas (5) kaburnya batasan moral baik-buruk (6) menurunnya etos kerja (7) rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru (8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara (9) membudayanya ketidakjujuran (10) adanya saling curiga dan kebencian di antara sesama.

     Walaupun  ujian nasional dilaksanakan, namun kesepuluh aspek degradasi moral tersebut tidak hilang pada siswa usia remaja. Apalagi ada harapan kiriman kunci jawaban pada saat ujian nasional yang sudah menjadi rahasia umum di lembaga pendidikan. Porsi 40% dari nilai sekolah dan 60% dari nilai ujian nasional, juga belum mampu menjamin siswa memiliki moral yang baik.

        Meskipun dikampanyekan bahwa ujian nasional hanya sekedar pemetaan, namun ada baiknya jika pola tersebut diubah dengan porsi 80% dari moral siswa dan 20% dari ujian nasional. Adapun 80% dari penilaian moral siswa tersebut diberikan oleh guru dengan memperhatikan berbagai aspek kepribadian siswa. Pihak guru di sekolah dapat melibatkan berbagai pihak untuk mengumpulkan data akurat dalam pemberian nilai tersebut.
  Sedangkan 20% dari ujian nasional, hendaknya dilaksanakan secara tepat dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, siswa akan lebih memperhatikan moral diatas segala-galanya. Nilai-nilai akhlak mulia seperti kejujuran, ketaatan, kesetiaan dan sebagainya akan terus terbina pada diri siswa. Degradasi moral tak akan pernah timbul pada kehidupan bangsa ini. Sehingga pada akhirnya pendidikan dapat menyelamatkan bangsa, yaitu dengan melahirkan generasi bangsa yang dapat meneruskan cita-cita bangsa sejatinya. Rasulullah Nabi Muhammad SAW pun dalam haditsnya mengakui bahwa tujuan ia diutus ke permukaan bumi ini hanyalah untuk memperbaiki akhlak (moral) umat manusia.

Penulis adalah Mahasiswa Prodi Supervisi Pendidikan Islam
Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry
Banda Aceh

Selasa, 07 Mei 2013

JAK PAJOH RUJAK









KEMUKJIZATAN AL-QUR'AN


Oleh: Zulkhairi 
Mahasiswa S2 Supervisi Pendidikan Islam

BAB  I
PENDAHULUAN

           
            Al-Qur’an adalah kitab suci sebagai sumber ajaran Islam yang pertama. Kitab yang dipandang paling suci oleh kaum muslim dan merupakan penutup kitab-kitab samawi, ia selain sebagai sumber hukum syariah, al-qur’an juga sebagai mukjizat terbesar yang diterima Rasul dan menjadi sumber bagi berbagai ilmu pengetahuan.
            Al-Qur’an merupakan suatu mukjizat abadi dan diturunkan oleh Allah kepada kaum yang memiliki tingkat intelektualitas yang melebihi umat-umat sebelumnya. Keabadian itu tampak jelas sekali dari sifatnya yang lintas waktu, yang menerobos waktu masa silam dan masa depan.
            Dengan perantara mukjizat, Allah mengingatkan manusia bahwa para rasul itu merupakan utusan yang mendapat dukungan dan bantuan dari Allah. Mukjizat yang telah diberikan kepada Rasul tersebut memainkan peranannya untuk mengatasi kepandaian  kaumnya  di samping membuktikan  bahwa  kekuasaan Allah berada di atas segala-galanya. 
            Di lain sisi ada perbedaan paham-paham yang muncul di kalangan Muktazilah dan Syia’ah,   dalam memahami kemukjizatan Al-Qur’an. Dan akan dijelaskan lebih rinci pada bab berikutnya. 






BAB II
 PEMBAHASAN


A.      Pengertian Mukjizat
            Kata mukjizat terambil dari kata bahasa Arab  اَعْجَزَ )a’jaza( yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu. Pelaku (yang melemahkan ) dinamai mu’jiz dan bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu membungkap lawan maka ia dinamakan mu’jizat.[1]
I’jaz (Kemukjizatan) adalah menetapkan kelemahan. Kelemahan menurut pengertian umum ialah ketidakmampuan mengerjakan sesuatu, lawan dari kemampuan. Apabila kemukjizatan telah terbukti, maka nampaklah kemampuan mu’jiz (sesuatu yang melemahkan). Yang dimaksud dengan I’jaz dalam pembicaraan ini adalah menampakkan kebenaran Nabi  dalam pengakuannya sebagai seorang  Rasul  dengan menampakkan  kelemahan orang Arab untuk menghadapi mu’jizatnya yang abadi yaitu Al-Qur’an.[2]
Sementara pakar agama Islam mendefinisikan mukjizat adalah sesuatu hal atau peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seseorang yang mengaku nabi. Sebagai bukti kenabiannya yang ditantang kepada orang-orang yang ragu untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa, namun mereka tidak mampu melayani tantangan itu.
Kemampuan para Nabi dan Rasul dalam memperlihatkan mukjizat ini tidak terjadi setiap saat. Mereka hidup sehari-hari tunduk  pada hukum alam benda, makan, minum, istirahat,  gembira dan sebagainya sebagaimana lumrahnya manusia. Namun pada saat-saat tertentu kemampuan ini muncul dengan izin Allah.
Jadi mukjizat adalah suatu kelebihan yang diberikan Allah kepada Rasulnya sebagai bukti pegangan atas kenabian untuk menghadapi setiap permasalahan yang dihadapi oleh kaumnya atau bagi orang yang ragu.

B.       Syarat-syarat  mukjizat
Adapun syarat-syarat mukjizat  sebagai berikut:
1.        Hal atau peristiwa yang luar biasa.
     Hal-hal yang sering terjadi seperti peristiwa-peristiwa alam walaupun menakjubkan kejadiannya tidak  dikatakan mukjizat, karena  kejadian tersebut sering terjadi dan dipengaruhi oleh sebab akibat. 

2.        Terjadi atau dipaparkan oleh seseorang yang mengaku nabi.
Tidak mustahil terjadi hal-hal di luar kebiasaan pada diri siapapun. Namun apabila bukan dari seoranga yang mengaku nabi, maka ia tidak dinamai mukjizat. Boleh jadi sesuatu yang luar biasa tampak pada diri seorang yang kelak bakal  menjadi nabi, inipun tidak dinamai mukjizat tetapi irhas.

3.        Mengandung tantangan terhadap yang meragukan kenabian
       Tentu saja tantang ini harus berbarengan dengan pengakuannya sebagai nabi, bukan  sebelum atau sesudahnya. Di sisi lain, tantangan tersebut harus pula sejalan dengan ucapan sang nabi.

4.        Tantangan tersebut tidak mampu atau gagal dilayani.
Bila yang ditantang berhasil melakukan hal serupa, maka ini berarti bahwa pengakuan sang penantang tidak terbukti. Perlu digarisbawahi di sini bahwa kandungan tantangan harus benar-benar dipahami oleh yang ditantang. Bahkan untuk lebih membuktikan kegagalan mereka, biasanya aspek kemukjizatan masing-masing nabi adalah hal-hal yang sesuai dengan bidang keahlian umatnya.[3]
C.    Tujuan dan peranan mukjizat
Tujuan mukjizat adalah untuk melemahkan orang yang menantang kenabian dan juga berperanan sebagai bukti kebenaran para nabi. Keluarbiasaan yang tampak atau terjadi melalui mereka itu diibaratkan  sebagai ucapan Tuhan: “apa yang dinyatakan sang nabi adalah benar. Dia adalah utusanKu dan buktinya adalah Aku melakukan mukjizat itu” [4]
Walaupun dilihat dari segi pengertian bahasa bahwa mukjizat itu  melemahkan orang yang menantang kenabian, namun di sisi lain  mukjizat itu dinampakkan oleh Allah melalui para nabi pilihan-Nya untuk membuktikan kebenaran ajaran ketuhanan yang bawa oleh masing-masing nabi terhadap umatnya.

D.    Pembagian mukjizat
Mukjizat yang diberikan Allah kepada Rasul-rasulNya  sangat tergantung pada tantangan yang mereka hadapi dalam menyiarkan risalah Allah kepada kaumnya. Setiap Rasul disamping diberikan wahyu mereka juga dibekali kekuatan dengan hal-hal luar biasa yang dapat menegakkan hujjah atas manusia sehingga mereka mengakui kelemahannya serta tunduk dan taat kepadaNya.
Menurut M. Quraisy Shihab, mukjizat dapat dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu:
1.      Mukjizat yang bersifat material indrawi yang tidak kekal selamanya.
Mukjizat nabi-nabi terdahulu kesemuanya merupakan jenis pertama. Mukjizat mereka bersifat material dan indrawi dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan  atau dijangkau langsung lewat indra oleh masyarakat tempat nabi tersebut menyampaikan risalahnya.  Mukjizat yang bersifat material ini berakhir  dengan wafatnya masing-masing nabi. Contohnya: Perahu nabi Nuh yang dibuat atas petunjuk Allah sehingga mampu bertahan  dalam situasi ombak dan gelombang yang maha dahsyat.


2.      Mukjizat yang bersifat logis serta dapat dibuktikan sepanjang masa.[5]
Mukjizat jenis kedua hanya dapat dipahami  dengan akal, karena sifatnya yang demikian, ia tidak dibatasi oleh suatu tempat atau masa tertentu. Al-Qura’an merupakan  mukjizat yang bersifat logis dan dapat dijangkau oleh setiap orang yang mempergunakan akalnya dimana dan kapanpun.
Kebanyakan mukjizat rasul-rasul terdahulu adalah bersifat hissiyyah (indrawi), karena kondisi umat Islam saat itu belum mencapai ketinggian dalam bidang pengetahuan dan pemikiran. Mu'jizat pada masa nabi Muhammad disaat kejayaan ilmu pengetahuan hingga hari kiamat adalah bersifat aqliyah (rasional).

E.    Mukjizat bi al-sharfah
Mukjizat bi al-sharfah adalah kemukjizatan  Al-Qur’an yang pahami oleh sebahagian orang (tokoh) yang berasal dari golongan Muktazilah dan Syi’ah dengan memalingkan pengertian mukjizat Al-Qur’an. Mereka berpendapat bahwa kemukjizatan Al-Qur’an itu bukan datang Al-Qur’an itu sendiri melainkan Allah yang melemahkan kamampuan orang yang hendak menantang Al-Qur’an itu.
Abu Ishaq Ibrahim an-Nizam dan pengikutnya dari kaum Syi’ah seperti al-Murtada berpendapat, kemukjizat Al-Qur’an adalah dengan cara sirfah (pemalingan). Arti sirfah  dalam pandangan Nizam ialah bahwa Allah memalingkan orang-orang Arab untuk menantang Al-Qur’an, padahal sebenarnya mereka mampu menghadapinya. Maka pemalingang inilah yang luar biasa (mukjizat). Sedangkan sirfah menurut pandangan Murtada ialah, bahwa Allah telah mencabut dari mereka ilmu-ilmu yang diperlu untuk menghadapi Al-Qur’an agar mereka tidak mampu  membuat seperti Al-Qur’an.[6]
Pendapat di atas mengenai sirfah ditolak oleh Al-Qur’an  sebagai berikut:

قُل لَّئِنِ اجْتَمَعَتِ الإِنسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَن يَأْتُواْ بِمِثْلِ هَـذَا الْقُرْآنِ لاَ يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيراً {الاسراء: ٨٨}
Artinya:
Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan) al-Quran ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain.” (Q.S. Al-Isra [17]: 88)
Dari penolakan firman Allah di atas dapat dipahami bahwa, kemukjizat Al-Qur’an itu benar-benar datang dari zat Al-Qur’an itu sendiri, bukan disebabkan dari yang lainnya.    

F.     Sisi kemukjizat Alqur’an

1.      Gaya bahasa
Al-Qur’an mencapai tingkat tertinggi dari segi keindahan bahasanya, sehingga membuat kagum bukan saja orang-orang mukmin, tetapi juga orang-orang kafir. Berbagai riwayat  menyatakan bahwa tokoh-tokoh kaum musyrik sering secara sembunyi-sembunyi  berupaya mendengar ayat-ayat Al-Qur’an  yang dibaca oleh kaum muslim. Kaum muslimin  di samping mengagumi keindahan bahasa Al-Qur’an, juga mengagumi kandungannya serta meyakini  bahwa ayat-ayat  Al-Qur’an adalah petunjuk kebahagian dunia dan akhirat.[7]

2.      Susunan kalimat
Susunan kalimat demi kalimat dalam Al-Qur’an jauh lebih tinggi, bagus  kualitas dibandingkan dengan hasil karya-karya penyair dan sastrawa  yang lain. Al-Qur’an muncul dengan uslub yang begitu indah dan mengagumkan bagi orang yang membacanya.
Dalam AL-Qur’an, misalnya banyak ayat yang mengandung tasybih (penyerupaana) yang disusun dalam bentuk sangat indah lagi mempesona, jauh lebih indah dari pada apa yang dibuat oleh para penyair dan sastrawan. Dapat dilihat pada salah satu contoh  dalam surat Al Qari’ah [110] ayat 5 Allah berfirman:
   وَتَكُونُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنفُوشِ  {القارعة: ٥}
Artinya:  “Dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang di hambur-hamburkan.” (Q.S. Al-Qari’ah [110]: 5)
Bulu yang dihambur-hamburkan sebagai gambaran dari gunung-gungung yang telah hancur lembur berserakan bagian-bagiannya. Kadangkala Al-Qur’an mengarah untuk menyatakan bahwa kedua unsur tasybih, yakni musyabbah (yang diserupakan dan musyabbah bih (yang diserupakan dengannya) itu mempunyai sifat indrawi yang sama. [8]

3.      Hukum ilahi yang sempurna
Al-Qur’an merupakan kitab yang mengandung aturan-aturan pokok yang disampaikan kepada umat manusia berupa akidah, akhlak, muamalah, undang-undang politik, sosial, dan kemasyarakatan, serta hukum-hukum ibadah.
Apabila pokok-pokok ibadah  wajib diperhatikan, akan diperoleh kenyataan bahwa Islam telah memperluaskan dan  menganekaragamkannya serta meramunya menjadi ibadah maliyah, seperti zakat dan sedekah. Ada juga yang berupa ibadah amaliyah sekaligus ibadah badaniyah seperti berjuang di jalan Allah.
Tentang akidah, Al-Qur’an mengajak umat manusia pada akidah yang  suci dan tinggi, yakin beriman kepada Allah yang maha Agung; menyatakan adanya nabi dan rasul serta memercayai semua kitab samawi.
Dalam bidang undang-undang, Al-Qur’an telah menetapkan tentang kaedah-kaedah mengenai perdata, pidana politik, dan ekonomi. Mengenai hukum international, Al-Qur’an telah menetapkan dasar-dasarnya yang paling sempurna dan adil, baik dalam keadaan damai maupun perang.[9]
    
4.      Ketelitian redaksi
Al-Qur’an juga mempunyai  ketelitian dalam redaksinya, Yaitu:
a.       Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan antonimnya. Salah satu contoh: “Al-Hayah” (hidup) dan “Al-Maut”  (mati), masing-masing sebanyak 145 kali. Dan lain-lain.
b.      Keseimbangan  jumlah bilangan kata sinonimnya/makna yang dikandungnya. Salah satu contohnya: “Al-harts” dan “Az-zira’ah” (membajak/bertani), masing-masing 14 kali.
c.       Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjukan kepada akibatnya. Contonyah: “Al-Infaq” (infaq) dan “Ar-Ridha” (kerelaan), masing-masing 73 kali.
d.      Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya. Contohnya: “Al-Israf” (pemborosan) dan “As-Sur’ah” (ketergesaan), masing-masing 23 kali

5.      Berita tentang hal-hal yan gaib
Kemukjizat Al-Qur’an terletak pada pemberitaannya tentang hal-hal gaib yang akan datang yang tak dapat diketahui kecuali dengan wahyu, dan pada  pemberitaannya  tentang hal-hal yang sudah terjadi sejak penciptaan makhluk, yang tidak mungkin dapat diterangkan oleh seorang ummy yang tidak pernah berhubungan dengan ahli kitab.[10]
Salah satu contoh berita-berita gaib yang ada dalam Al-Qur’an adalah berita Fir’un, yang mengejar Nabi Musa yang pernah diceritakan dalam surat Yunus ayat 92:

  فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلْفَكَ آيَةً وَإِنَّ كَثِيراً مِّنَ النَّاسِ عَنْ آيَاتِنَا لَغَافِلُونَ  {يونس: ٩٢}

Artinya:
“Maka pada hari ini Kami selamatkan jasadmu  agar engkau dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang setelahmu, tetapi kebanyakan manusia tidak mengindahkan tanda-tanda (kekuasaan) Kami.” (Q. S. Yunus [10]: 92)
Pada ayat itu ditegaskan bahwa badan Fir’un akan diselamatkan Tuhan untuk menjadi pelajaran generasi bagi berikutnya. Tidak seorang pun mengetahui hal tersebut, karena telah terjadi  sekitar 1.200 S. M. Pada awal abad ke-19, tepatnya tahun 1898, ahli purbakala Loret menemukan di lembah raja-raja Luxor Mesir, satu mumi  yang dari data-data sejarah terbukti bahwa ia adalah Fir’un yang bernama Muniftah dan yang pernah mengejar Nabi Musa a.s. Selain itu pada tanggal 8 Juli 1908, Eliot Smith mendapat izin dari pemerintah untuk membuka pembalut-pembalut Fir’un tersebut. Apa yang ditemukan adalah salah satu jasad utuh, seperti yang diberitakan oleh Al-Qur’an melalui Nabi yang ummi (tidak pandai membaca membaca dan menulis). [11]
6.      Isyarat-isyarat ilmiah
Di dalam Al-Qur’an banyak ditemukan kalimat-kalimat  yang menunjukan isyarat-isyarat keilmiahan, sebagai contoh   yang terdapat berikut ini:

a.       Cahaya matahari bersumber dari dirinya dan cahaya bulan merupakan pantulan, sebagaiman yang dijelaskan firman Allah:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاء وَالْقَمَرَ نُوراً وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُواْ عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللّهُ ذَلِكَ إِلاَّ بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ  {يونس: ٥}
Artinya:
Dia-lah yang Menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dia-lah yang Menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan demikian itu melainkan dengan benar. Dia Menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.
(Q.S. Yunus [10]: 5).

b.      Kurangnya oksigen pada ketinggian dapat menyesakkan nafas. Hal itu diisyaratkan oleh firman Allah:
فَمَن يُرِدِ اللّهُ أَن يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإِسْلاَمِ وَمَن يُرِدْ أَن يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقاً حَرَجاً كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاء كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ         {الانعام: ١٢٥}
Artinya:
Barangsiapa Dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia akan Membukakan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barangsiapa Dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia Jadikan dadanya sempit dan sesak, seakan-akan dia (sedang) mendaki ke langit. Demikianlah Allah Menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.
(Q.S. Al-An’am [6]: 125)

c.       Perbedaan sidik jari manusia, sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah:
بَلَى قَادِرِينَ عَلَى أَن نُّسَوِّيَ بَنَانَهُ  {القيامة: ٤}-
Artinya:
“(Bahkan) Kami mampu Menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna.” (Q.S. Al-Qiyamah [75]: 4)
d.      Aroma/bau manusia berbada-beda, sebagaimana diisyaratkan firman Allah:
وَلَمَّا فَصَلَتِ الْعِيرُ قَالَ أَبُوهُمْ إِنِّي لَأَجِدُ رِيحَ يُوسُفَ لَوْلاَ أَن تُفَنِّدُونِ {يوسف:٩٤ }
Artinya:
“Dan ketika kafilah itu telah keluar (dari negeri Mesir), ayah mereka berkata, “Sesungguhnya aku mencium bau Yusuf, sekiranya kamu tidak menuduhku lemah akal (tentu kamu membenarkan aku).” (Q.S. Yusuf [12]: 94).
e.       Masa menyusui ideal dan masa kehamilan kehamilan minimal, sebagaimana diisyaratkan firman Allah:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ –{البقرة: ٢٣٣ }
Artinya:
“Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka...” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 233).
f.       Adanya nurani (superego) dan bawah sadar manusia, sebagaimana diisyaratkan firman Allah:

بَلِ الْإِنسَانُ عَلَى نَفْسِهِ بَصِيرَةٌ - وَلَوْ أَلْقَى مَعَاذِيرَهُ
{القيامة:١٤ -١٥ }-
Artinya:
“Bahkan manusia menjadi saksi atas dirinya sendiri,
dan meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.”
(Q.S. Al-Qiyamah [75]: 14-15)
g.      Yang merasakan nyeri adalah kulit:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ بِآيَاتِنَا سَوْفَ نُصْلِيهِمْ نَاراً كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُوداً غَيْرَهَا لِيَذُوقُواْ الْعَذَابَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَزِيزاً حَكِيماً –{النساء:٥٦ }-
Artinya:
“Sungguh, orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami Masukkan ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami Ganti dengan kulit yang lain, agar mereka merasakan azab. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.”  (Q.S An-Nisa’ [4]: 56)




 

BAB III
KESIMPULAN

            Mukjizat adalah suatu keistimewaan atau keluarbiasaan yang dapat mengalahkan dan menghadapi setiap bentuk tantangan yang dihadapkan padanya serta bukti kebenaran dari ajaran-ajaran nabi terdahulu sampai Nabi Muhammad.
            Mu'jizat dapat dibagi menjadi dua bagian, pertama mu'jizat hissiyah (indrawi) yaitu mu'jizat para nabi terdahulu sebelum nabi Muhammad, yang hanya berlaku dengan masa dan zaman ketika mereka ada. Kedua mu'jizat aqliyah (rasional dapat dibuktikan oleh akal sesuai dengan perkembangan  masa yaitu Al-Qur'an.
Kemukjizat Al-Qur’an dapat dilihat dari sisi gaya bahasa, susunan kalimat, kesempurnaan hukum ilahi, ketelitian redaksi, juga ada berita-berita yang  gaib yang diinformasikan, dan  terdapat syarat-syarat ilmiah yang tidak habis dikaji sepanjang masa. Kesemuanya sisi rangkaian kemukjizatan itu merupakan satu kesatuan yang menambahkan   kesempurnaan  Al-Qur’an.










DAFTAR PUSTAKA

Manna Khalil al-Qaththan, Pembahasan ilmu Al-Qur'an 2, Jakarta: Rieneka   Cipta,1995
M.Quraish Shihab, Mu'jizat Al-Qur'an ditinjau aspek kebahasaan isyarah ilmiah dan gaib, cet.IV, Bandung: Mizan, 1998.
---------------------, Membumikan Alqur’an, bandung, Mizan, 1992
Rosihan Anwar, Ulumul Al-Qur’an, Bandung, Pustaka Setia, 2012.
Muhammad Kamil Abdushshamad, Mukjizat Ilmiah dalam Al-Qur’an, Akbar, 2003.
M.Ali Ash-Shabuni, Studi Ilmu Al-Qur'an, Bandung: Pustaka Setia, 1999
 

[1] M.Quraish S, Mu'jizat al-Qur'an  ditinjau aspek kebahasan isyarah ilmiah dan gaib  (Bandung: Mizan, 1998), hal. 23
[2] Manna  K Q, Studi ilmu-ilmu al-Qur'an, (Jakarta: K1, 2002), hal. 371

[3] M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an, bandung, mizan, 2006, Hal. 24-25
[4] M.Quraish S, Mu'jizat…,Hal. 33
[5] M.Quraish S, Mu'jizat…,hal.35
[6] Manna K. Q. Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Hal. 375
[7] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Mizan,1992, Hal. 23
[8] Rosihan Anwar, Ulum Alqur’an, Pustaka Setia, Bandung, 2012, Hal. 149
[9] Rosihan...Hal. 195
[10] Manna K. Q. Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Hal. 376
[11] Quraish Shihab, Membumikan...Hal. 31